Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / PKS ataupun PDIP, Sebenarnya Kita Tuh Bersaudara!

PKS ataupun PDIP, Sebenarnya Kita Tuh Bersaudara!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ammarraji.wordpress.com)
Ilustrasi. (ammarraji.wordpress.com)

dakwatuna.com – “Jenuh mungkin, menjalani hari-hari di antara kita dalam perseteruan tiada ujung. Dalam pertemuan di dunia imajinasi ini, baiklah kita sejenak saja untuk menjadi sahabat, saudaraku.”

“Aku pun merasakan hal serupa, seolah-olah di antara kita selama ini, satu sama lain hanya ingin saling menjatuhkan dan menjalin permusuhan. Aku tak menyangka kita akan bertemu dalam dunia lain yang berbeda dengan apa yang biasa kita jalani.”

“Hari-hari yang kita jalani, disibukkan dengan saling menghina, mencaci dan mencari-cari aib di antara kita. Begitu mudahnya kita mengedepankan prasangka negatif. Aku sendiri disibukkan dengan semua itu, bahkan menikmatinya, tanpa terpikir untuk melakukan hal yang lebih berfaedah.”

“Aku juga demikian sahabatku. Bahkan tak hanya itu, aku ngebom basis-basis masamu. Di setiap tempat di mana ada calegmu, aku garap habis-habisan. Aku seenaknya merusak bendera dan atribut yang baru saja engkau pasang. Seringkali aku juga mengeroyokmu dalam duel maut pilkada. Aku sangat puas memblow-up kasus korupsi yang membelitmu, bahkan sampai aku lupa siapa yang lebih korup di antara kita.”

“Status dan komen-komen yang aku tulis, dipenuhi dengan olok-olok dan bully-membully. Setiap ada informasi buruk tentangmu, tanpa pikir panjang aku tergesa-gesa menyebarkannya. Aku sangat bersemangat men-share dan menyebarluaskan kejelekanmu. Tanpa beban, begitu mudahnya aku mengeluarkan komen-komen negatif. Aku merasa semua yang kulakukan itu adalah upaya membela kebenaran, semua itu adalah amal shalih, bagian dari dakwah yang suci dan mulia ini.”

“Padahal semua olok-olokmu terhadapku tidak membuat aku menjadi baik. Jangan berharap olok-olokmu membuat aku insyaf. Setajam apapun lisanmu mengulitiku habis-habisan, justru semakin membuat aku antipati terhadapmu. Juga membuat aku semakin membenci dan menjauh dari dakwah yang kau bawa. Bukan saja aku membuat-buat fitnah dan berbagai stigma negatif tentangmu, tetapi perilakumu juga ikut menjustifikasinya.”

“Maafkan aku saudaraku, sampai-sampai aku hampir terlupa tentang luasnya hakikat dakwah ini, tentang kesabaran, dan tentang kelembutannya. Seharusnya bukan hanya membalas keburukan dengan keburukan, membalas umpatan dengan cacian. Ia membutuhkan kebesaran jiwa, kelapangan hati, sikap yang penuh hikmah, serta sikap bijak menghadapi hal-hal yang menyakitkan sekalipun. Ada saatnya kekerasan ditaklukkan dengan kelembutan, dan sepahit apapun yang menghadang semestinya dihadapi dengan cara yang terbaik dan santun. Ucapan jahil hendaknya berbalas dengan kata-kata yang mengandung keselamatan. Akan tetapi semua itu bagiku sendiri tak semudah yang kukatakan.”

“Engkau tidak menolongku, tidak menyelamatkanku, bahkan seruanmu menjadikan aku kian jauh. Permusuhan di antara kita, bukan saja membuat aku kian jauh dan antipati terhadapmu, tetapi juga kian mendekatkanku pada kalangan sekuleris, liberalis, serta justru malah menarikku lebih dekat kepada aliran-aliran sempalan yang kau anggap sesat itu. Bukankah ini kontraproduktif dengan dakwah yang kau usung? Apakah engkau ingin membuatku semakin terjerumus dengan dakwahmu? Bagaimana engkau mengaku sebagai pembawa rahmat bagi segenap alam?”

“Begitulah saudaraku, memang ada pihak lain yang menghendaki permusuhan di antara kita, menanam dendam di antara kita, menyetting kita dalam situasi tidak bersahabat, dalam suasana hubungan yang panas, menjadi dua front yang berhadap-hadapan, dan kita sama-sama terjebak di dalamnya. Ada-ada saja informasi buruk tentangmu, padahal sebenarnya ia bersumber dari website tidak resmi, yang di belakangnya ada tangan-tangan tak tampak, dengan membawa kepentingan mereka. Mereka memanfaatkan permusuhan di antara kita, mengadu domba kita, agar kita berpecah belah dan lemah, kemudian mereka memanfaatkannya untuk memuluskan agenda-agenda mereka, mengukuhkan kekuasaan dan tiran atas dunia ini. Dakwah yang tulus dan santun bertransformasi menjadi bully-membully.”

“Sikap abaiku terhadap dakwah ini, memang dimanfaatkan betul oleh mereka. Tetapi keteguhan dan komitmenmu terhadap dakwah ini, toh sama juga ditunggangi mereka, menjadi bumerang dan blunder bagi dakwah itu sendiri, dan kau tidak menyadari itu. Hingga makin hari dakwah ini makin terseok-seok dan kian terpojok.”

“Beginilah saudaraku, fitnah akhir zaman ini, bukan saja kedewasaan dan kewaspadaanku tak memadai, tetapi fitnah ini demikian pelik dan penuh tipu daya. Pandanganku tak seluas aral yang kuhadapi, cara berpikirku tak sepanjang tantangan yang menghadang. Aku sebenarnya hanyalah hamba-hamba yang lemah, berbuat sebatas kekurangan dan keterbatasanku.”

“Dan akibatnya para tiran dunia itu sekarang sedang berpesta pora, mereka sedang tertawa terbahak-bahak, puas dengan keberhasilannya, membuat kita sibuk berseteru satu sama lain. Padahal sebenarnya bukan engkau yang semestinya menjadi musuhku, saudaraku. Seharusnya aku menyadari, musuh kita yang sebenarnya adalah para tiran-tiran itu, mereka memperdaya kita, mempermainkan, memecundangi dan menipu kita mentah-mentah, dunia ini terseok-seok dan terinjak-injak dalam cengkeraman kekuasaan mereka.”

“Tak sepenuhnya benar saudaraku, siapapun mereka, atheis, zionis, atau kolonialisme global sekalipun, mereka adalah sama-sama anak cucu dari bapak moyang kita Adam. Menjadi tugas kita untuk mengentaskan mereka dari kezhaliman yang mereka perbuat, serta membebaskan mereka dari Iblis, musuh kita yang sebenar-benarnya.”

“Benar saudaraku, Tak semestinya kita bergembira dengan musibah yang menimpa di antara kita, tak sepantasnya kita menari-nari di atas penderitaan orang lain. Selayaknya kita menolong mereka, bukan membiarkan mereka terjerumus.”

“Seharusnya kita bukan hanya menolong mereka yang terzhalimi, tetapi juga menolong mereka yang berbuat zhalim, mengentaskan mereka dari kezhalimannya. Sepahit apapun kezhaliman yang dihadapi sebenarnya adalah makin luasnya ladang amal yang terbentang. Kesabaran menjadi lebih bernilai karenanya. Kalau hanya olokan dan cacian, sebenarnya ia tak seberapa, bukankah orang yang mengolok-olok belum tentu lebih baik dari yang diolok-olok?”

“Baiklah, selepas pertemuan ini kita bisa menjadi sahabat di dunia yang sebenarnya saudaraku?”

“Belum saudaraku. Kita masih harus terombang-ambing dalam cengkeraman tipu daya dunia. Ia tidak akan membiarkan kita lepas begitu saja. Jalan untuk membebaskan diri kita darinya mungkin masih panjang, masih harus menempuh perjuangan yang melelahkan. Artinya, kita masih akan saling bermusuhan satu sama lain, kita masih akan saling berseteru. Dan para tiran itu terus saja kukuh mencengkeramkan kekuasaannya atas dunia.”

“Sebelum zaman edan ini sirna, orang khianat masih akan dimuliakan, orang amanah masih akan dihinakan, kita masih dikuasai keserakahan dan kesombongan, dunia ini penuh dengan ketimpangan dan ketidakadilan, dan aku menjadi bagian darinya.”

“Menjalani pusaran fitnah zaman akhir, kedustaannya, kebenaran tampak sebagai kebatilan, dan sebaliknya, kebatilan menjadi pujaan. Keadilan sebatas kerinduan, fitnah-fitnah masih akan terus menimpa.”

“Terkadang aku cukup puas mendapatkan duri dan tulang yang tak seberapa dari fitnah dunia ini. Sementara perbendaharaan dunia yang sebenarnya tak seberapa kunikmati.”

“Aku juga cukup gembira menikmati sedikit umpan, sementara aku sebenarnya kehilangan jauh lebih besar dari yang aku dapatkan.”

“Menikmati sedikit upah yang aku dapatkan, tak sebanding dengan sakit yang aku rasakan saat para tiran dunia itu membutuhkan tumbal bagi kekuasaan mereka, saat aku dijadikan kambing hitam yang dikorbankan, aku bisa dicampakkan begitu saja.”

“Seringkali kita hanyalah orang kecil yang diperalat oleh tipu daya dunia, kita tak berdaya menghadapi semua belitan fitnah itu. Kita hanya bisa berbuat sebatas kemampuan kita. Bukankah kita punya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang berjanji akan membuka pintu pertolongan-Nya. Pada suatu saat nanti pintu terbuka, terwujud kedamaian yang sebenarnya.”

“Namun sayang sekali, sebelum semua itu terwujud, aku masih akan terus menzhalimimu, menimpakan ketimpangan dan ketidakadilan atasmu, selagi aku mampu melakukannya.”

“Aku juga masih akan terus mengolok-olokmu, mencacimu, dan menghina keburukan yang kau perbuat, selama aku bisa melakukannya. Dengan itu aku mengobati sedikit rasa sakit akibat kedzaliman yang kau timpakan.”

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang petani di kaki Gunung Ungaran. Mengikuti kegiatan di Muhammadiyah dan halaqah. Meski minim mendapatkan pendidikan formal, pelajaran hidup banyak didapat dari lorong-lorong rumah sakit.

Lihat Juga

PKS Gencar Bantu Korban Gempa dan Tsunami Sulteng

Figure
Organization