Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Dua Puluh Ribu Perak

Dua Puluh Ribu Perak

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (kaskus.co.id)
ilustrasi (kaskus.co.id)

dakwatuna.com – Langit mendung dan hitam. Pagi hari itu hujan lebat. Jalanan kampung penuh dengan genangan air. Warna aspal hitam dalam sekejap berubah menjadi empang. Tapi tak mengurungkan niatku untuk mencari pekerjaan. Kendaraan jarang sekali hilir mudik karena cuaca yang kurang mendukung. Jangankan hujan, cuaca cerah pun Angkutan Pedesaan bisa sejam sekali datangnya. Kadang-kadang setelah lama menunggu, mobil angkutannya sudah berjejal penuh dengan muatan. Maklum rumahku terletak jauh dari kota.

Ano, tukang becak yang telah kupesan dari kemarin sore datang tergopoh-gopoh memakai jas hujan plastik seadanya. Ke sepuluh jemari tangannya lumpuh setelah kecelakaan terjatuh dari pohon albasia lima belas tahun silam. Jemarinya tak bisa memegang dengan sempurna. Tapi, dia tak putus asa. Tiap hari mengayuh becak untuk menghidupi kelima anak dan istrinya.

‘’Sep, udah siap?’’

‘’Udah.’’

Aku langsung naik becak. Dia langsung menutupi bagian depan becak dengan plastik putih seadanya untuk menahan air hujan. Roda becak dikayuh perlahan. Ano mencari jalan yang bisa dilalui. Setelah melewati kampung Kedung Kendal kurang lebih 10 menit dari rumahku, ada truk besar dari arah berlawanan. Roda depannya menginjak lubang jalan yang penuh dengan air hujan. Kontan air genangan menciprat baju dan mukaku.

‘’Sialan!’’ teriakku.

Becak mencoba ke arah bahu jalan kiri yang terlihat lebih rata dan,

‘’Aduuuh!!’’ aku teriak lagi.

Kali ini becak hilang kendali, roda kiri masuk lubang agak dalam dan becak terbalik ke arah kiri. Aku di dalam kesusahan sambil memegang kepala terbentur besi tangkai atapnya.

‘’Sep….Sep…nggak apa-apa?’’

‘’Nggak apa-apa. Tapi baju saya kotor. Pulang aja kalau gini!’’

Akhirnya aku balik lagi ke rumah karena baju kotor dan kepala terbentur di becak.

*****

Dengan bermodalkan nekad, saya pergi ke Pangandaran. Di sana ada orang tua dan paman. Ayahku menjadi nelayan setelah dua tahun menganggur jadi pelaut karena ada insiden di kapalnya. Temen-temen kerja di kapal melakukan pengrusakan meminta kenaikan gaji. Padahal ayahku tak terlibat. Perusahaan Jepang tak mau tahu pokoknya semua Anak Buah Kapal (ABK) harus pulang kampung. Ayahku salah seorang menjadi korban penon-aktifan. Tak masalah. Uang yang terkumpul didepositonya diambil dan dibelikan dua perahu beserta perlengkapan mencari ikan.

Orang tuaku tinggal di rumah sederhana. Berlantaikan ubin. Ada kursi sofa jelek yang sudah bolong dan satu tempat tidur. Ketika aku datang terlihat dia sedang sibuk merajut jaring ikan yang sudah rusak.

‘’Assalaamu alaikum.’’

‘’Waalaikum salam!’’ jawabnya.

Kucium tangannya dan aku masuk ke dalam rumah. Adik-adikku yang masih kecil sibuk bermain dengan teman sebayanya. Ayahku masuk rumah. Ibuku menawarkan aku makan.

‘’Sep, nanti dini hari mau ikut ke laut mencari ikan?’’ ajak ayahku.

‘’Ayo.’’

‘’Jangan! Nanti kamu masuk angin. Ombaknya besar.’’ celetuk ibuku.

Makanan telah tersaji di meja. Ikan bakar dan sambal alakadarnya. Kami makan lahap. Tak lama datang pamanku bersama keponakannya. Dia menanyakan kalau sekarang kerja di mana. Aku menceritakan lamaran sudah dikirim ke mana-mana. Pernah wawancara tapi gagal. Daripada nganggur di kampung lebih baik mencoba untuk melamar menjadi tenaga kerja sukarelawan (Sukwan).

‘’Berarti kamu nggak dibayar?’’ tanya pamanku

‘’Iya, nggak apa-apa. Biarpun nggak dibayar, asal dapat pengalaman.’’ sahutku.

‘’Ya sudah, besok saya kenalkan sama dokternya. Kebetulan dia akrab.’’

Esoknya, aku dan paman ke rumah dinas dokter Hidayat. Rumah dinasnya memang bersampingan dengan Puskesmas Pangandaran. Kondisi rumah itu sudah tua. Mungkin dibangun di tahun 70-an. Dia sedang duduk di bangku samping rumahnya. Setelah pamanku mengutarakan maksud kedatangan kami, dia sangat senang dan setuju kalau aku menjadi tenaga Sukwan.

‘’Besok Asep mulai masuk kerja ya.’’ dr.Hidayat menandaskan.

‘’Terima kasih dok.’’

Sebenarnya di daerahku juga ada Puskesmas Banjarsari. Tapi, Pangandaran lebih luas tempatnya dan aku bisa berkesempatan untuk berbahasa Inggris dengan turis kalau ada yang dirawat. Memang orientasiku dari awal ingin bekerja ke luar negeri. Jadi, Bahasa Inggris itu merupakan pokok pangkal yang harus dikuasai. Sejak usia 16 tahun aku mulai memberanikan diri untuk langsung berkomunikasi dengan para pelancong di Pangandaran. Kebetulan pamanku seorang wiraswasta pengontrak hotel kecil. Jadi kalau libur sekolah aku yang menjadi resepsionis atau kadang menawarkan kamar dan tiket travel ke turis.

Aku diberikan tugas di bagian Balai Pengobatan. Kesempatan praktek memeriksa pasen, mendiagnosa penyakit-penyakit ringan, serta memberikan langsung obat-obatan. Tak heran jika banyak pasien yang berdatangan merasa puas dan cocok dengan pelayanan pengobatanku.

‘’Obat yang pernah Asep kasihkan, sangat mujarab. Batuk saya hilang.’’ testimoni seorang pasien.

Banyak juga wisatawan asing yang datang untuk berobat. Kebetulan dokternya kurang fasih berbahasa Inggris.

‘’Aa Asep….A Asep….! Dipanggil dokter ke rumah dinasnya. Ada pasien bule.’’ Ocih memberitahuku.

‘’Tolong Sep terjemahkan!’’ dokter menyuruhku.

Kutanya keluhan bule dan kuterangkan kepada dokter. Dokter memberikan obat. Bule berterima kasih. Dokter setengah baya itu tertawa sambil mengucapkan terima kasih.

‘’Ha ha ha ha untung ada kamu. Saya nggak terlalu pintar ngomong Bahasa Inggris. Paling bisa bilang No smoking!’’ guyonannya.

Aku balik ke tempat perawatan. Banyak teman-teman sukwan sedang berkumpul. Dokter datang di tengah kerumunan teman-temanku.

‘’Wah, si Asep jago Bahasa Inggris!’’ (sambil mengacungkan jempol).

*****

Kinerjaku cukup bagus. Disamping mahir berbahasa Inggris, aku juga bisa dibilang pandai di dalam komputer. Terkadang petugas administrasi meminta tolong aku untuk membuat sebuah tabel dan mengerjakan sebagian tugas-tugasnya. Aku pun tak pelit berbagi ilmu pengetahuan tentang komputer dengannya.

Sampai suatu saat, dokter Hidayat memanggilku.

‘’Sep! Ini kunci rumah dinas. Tolong dijagain dan dibersihin. Tiap bulan nanti saya kasih bayaran.’’

‘’Makasih dok atas kepercayaannya.’’

Aku termasuk perawat yang mendapat kepercayaan untuk menjaga rumah dinas dokter. Dia jarang tinggal di rumah dinas, karena sudah mempunyai rumah sendiri di Desa Babakan kurang lebih 3 Km dari Pangandaran. Setiap hari kusapu dan kupel rumahnya. Di sore hari dia datang untuk praktek. Aku sering bertanya tentang masalah penyakit berikut obat-obatan apa yang ampuh. Dia juga senang berbagi ilmu.

‘’Sep, jangan sungkan-sungkan. Itu buku-buku di lemari baca saja!’’

*****

Suatu hari aku dan teman-teman dipanggil satu persatu ke ruang Tata Usaha (TU). Kulihat beberapa amplop di atas meja. Seorang petugas TU memberikan amplop itu.

‘’Jangan dilihat isinya. Ini sebagai tanda kasih sayang dari kami.’’

‘’Terima kasih pak.’’

Dengan girang aku menerima gaji pertamaku. Harapanku pasti uang ini jumlahnya lumayan. Karena Pangandaran kota wisata, mungkin honor sekitar dua ratus ribuan. Pas dibuka uang sebesar dua puluh ribu perak. Aku sadari memang menjadi tenaga sukwan itu tak menuntut untuk dibayar. Adapun dikasih uang seadanya kuterima dengan senyuman.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Tips Membangun Kepercayaan Anak dengan Ibu Bekerja Melalui Ramadhan

Figure
Organization