dakwatuna.com – Jakarta. Keberadaan bisnis MMM (Mavrodi Mondial Moneybox) atau di Indonesia dikenal dengan Manusia Membantu Manusia menuai polemik.
Bagaimana tidak, bisnis ini menjanjikan keuntungan hingga 30 persen tiap bulan tanpa harus melakukan apa-apa. Anggota tinggal menyetor sejumlah uang dan dalam satu bulan dijamin ada dana tambahan 30 persen dari yang disetor.
Menyikapi bisnis inventasi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun angkat bicara.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Maruf Amin menilai apapun jenis skema investasi yang berkaitan dengan pencucian uang atau biasa disebut judi tergolong haram. Meski dalam prinsipnya bisnis tersebut bersifat tolong menolong sesama manusia. Namun demikian Maruf tidak menyebut secara tegas bisnis MMM itu haram di Indonesia.
“Tolong menolong dalam prinsipnya Islam memang diperbolehkan, namun lembaga tersebut harus clear dari resmi pemerintah,” ucap Maruf Amin dikutip dari merdeka.com, Senin (13/4/15).
Maruf menyarankan, skema investasi yang dilakukan MMM Indonesia sebaiknya diketahui dahulu secara benar dan detail oleh pemerintah, jangan disebarluaskan dahulu kepada masyarakat. Sehingga tidak menimbulkan tanda tanya apakah investasi ini merugikan atau menguntungkan.
“Percuma kalau prinsip MMM Indonesia itu tolong menolong, tapi tidak direspon pemerintah,” jelas dia.
Maruf melalui MUI sepenuhnya menyerahkan permasalahan ini kepada lembaga pemerintah. Pasalnya sebagai lembaga islam tidak bisa ikut berwenang dalam kasus ini.
“Intinya kalau mengambil keuntungan dalam bisnis ya boleh saja, asal lembaga MMM Indonesia ini tercatat di pemerintah. Lalu kami bisa memberikan produk mereka dengan label syariah (karena prinsip tolong menolong),” tutupnya.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa kegiatan menggerakkan dana masyarakat oleh Mavrodi Mondial Moneybox (MMM) dengan nama lain Manusia Membantu Manusia adalah layanan yang tidak memiliki izin resmi.
“Jadi, siapa yang memberi izin tidak jelas, kemudian setelah dianalisis dari data terbatas, ada beberapa temuan. Pertama adalah imbal hasil di luar batas kewajaran, lalu tidak berizin, tidak ada badan hukum dan domisilinya, juga penanggung jawab organisasi tidak jelas,” ungkap Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti di Gedung OJK, Jakarta, Kamis (9/4/15) dikutip dari viva.co.id
Kusumaningtuti juga menjelaskan, keuntungan yang diperoleh oleh peserta digantungkan kepada keikutsertaan peserta baru. Ketika tidak ada lagi peserta yang bergabung, kemungkinan peserta lama yang akan rugi. (sbb/dakwatuna)
Redaktur: Saiful Bahri
Beri Nilai: