Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ikhwan yang Memenangkan Hatiku

Ikhwan yang Memenangkan Hatiku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sebeningembun-azzahra.blogspot.com)
Ilustrasi. (sebeningembun-azzahra.blogspot.com)

dakwatuna.com – Ini gejolak batinku, antara harus menerima atau tidak. Di mana aku harus mengikuti kemauan orang tua dengan perasaanku selama ini. Aku khawatir salah di dalam memilih jalanku. Sebab aku sadar ini bukan hanya menentukan tentang hidupku di esok hari, seminggu, sebulan atau bahkan setahun. Tapi ini akan berdampak pada masa depanku kelak.

Aku bingung, tidak tahu mesti berbuat apa. Menghindar bukanlah pilihan yang tepat, malah aku merasa akan terkesan menjadi anak yang pembangkang ketika aku harus terus seperti ini.

Iya aku harus bisa menemukan solusi untuk masalahku ini. Jika tidak ingin dijodohkan dengan laki laki itu, maka harus ada laki laki lain yang menjadi pilihanku. Tak masalah dengan status sosialnya, entah mapan atau tidak, masih mahasiswa ataupun sudah selesai bagiku itu tidak menjadi soal, yang jelas dia adalah seorang Ikhwan yang jiwa tarbiyah telah melekat di dalam dirinya.

Kecemasan terus menghampiriku semenjak aku menyelesaikan studiku di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar beberapa bulan yang lalu. Karena telah selesai kuliah, ini menjadi alasan sehingga salah seorang laki-laki di tempat tinggalku di kampung memberanikan diri untuk menyampaikan pinanganya untukku kepada kedua orang tuaku. Ayah tidak memberikan jawaban sebab menunggu kepastian dariku.

Rasanya berat juga, ketika Ayah harus terus mengulur jawaban sementara laki-laki itu adalah orang yang dikenal oleh keluargaku. Aku juga mengenalnya, kami pernah satu SMA waktu di kampung saat SMA Negeri 1 Wotu Kab. Luwu Timur.

Semenjak kelulusan aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku melanjutkan kuliah di Makassar di UNM (dulunya IKIP), sementara dia kabarnya diterima di salah satu perguruan tinggi di Singapura melalui program beasiswa. Aku juga masih sering melihat dia eksis di media sosial, bahkan kami pernah chatting, namun itu hanya satu kali lantaran aku tidak terlalu meladeninya.

Bagiku untuk saat ini sosok laki laki yang aku harapkan adalah dia tertarbiyah seperti diriku. Setidaknya dengan itu bisa sedikit memberikan aku jaminan bahwa dia memiliki budi dan pekerti yang baik. Akhlak yang terbina, dan kepribadian yang dia miliki bisa terus membimbingku ke jalan yang benar. Walau terkadang hatiku sering mendapat bisikan bahwa tarbiyah itu bukan jaminan, tapi itu sudah lebih dari cukup dibanding dengan yang tidak sama sekali.

Aku masih berprasangka, atau mungkin hanya aku saja yang terlalu berlebihan. Ketika suatu saat nanti yang menjadi pendampingku adalah orang yang tidak tertarbiyah. Bisa-bisa hal itu malah mengubah hidupku yang selama ini sudah begitu indah aku jalani. Aku juga takut hal itu malah menghambat dakwahku sebagaimana yang banyak aku pelajari dan lakukan di kampus bersama rekan-rekan sesama aktivis mahasiswa. Atau malah bisa membuat aku jauh dari dakwah, atau justru membuat aku futur dan melupakan-Mu ya Allah, naudzubillah, semoga saja hal itu tidak terjadi.

Aku masih ingat sosok laki-laki (Ikhwan) yang mungkin bisa membawa aku keluar dari masalah ini. Iya, aku pernah melihatnya. Dia tempo hari memimpin aksi demonstrasi sekaligus penggalangan dana untuk Palestina di Fly Over Makassar. Waktu itu di selang jeda sambil memegang kardus untuk menunggu pengendara mengeluarkan isi kantong mereka aku sengaja mengamatinya. Dia berteriak dan berusaha membujuk pengendara yang lewat dan berhenti di persimpangan lampu merah untuk bersimpati dengan aksi kami.

***

Aku baru ingat dengan Mira mahasiswa jurusan Manajemen, dia juga menjadi pengurus KAMMI di kampus yang sama dengan si Ikhwan itu, semoga saja di tahu banyak tentang dia. Aku hanya butuh kontak dan sedikit keterangan tentang identitas dirinya di kampus hijau itu.

Kini aku baru sadar ternyata no kontak si Ikhwan itu yang diberikan oleh Mira sudah beberapa kali masuk pesan di dalam ponselku,baik berupa sms info kegiatan maupun berupa sms taujih. Aku sedikit bingun darimana dia bisa mendapatkan kontak yang aku miliki. Tapi biarlah bagiku tidak menjadi soal, mungkin saja dia pernah menjadi panitia dari seuatu event yang pernah aku ikuti dan dia bertugas untuk melakukan SMS broadcast. Melalalui percakapan yang pernah berlangsung dengan si Ikhwan itu aku bisa sedikit menilai dan tahu tentang sosok dirinya.

Aku beranikan diri untuk sekedar mengirimkan sms kosong, sambil menunggu tanggapan darinya. Naas, pesan yang aku kirim tidak menuai respon. Aku coba sedikit memberanikan diri untuk memulai percakapan dengannya.

“afwan”

Sepatah kata yang aku coba sampaikan dengan sedikit menahan rasa malu, dan perasaan lainnya yang silih berganti seolah berkecamuk di dalam hatiku.

“ia”

Jawabnya singkat, bahkan kata itu tidak asing lagi aku dapatkan masuk di dalam ponselku darinya. Hampir setiap pembicaraan dengannya ia hanya menjawab “ia”, “tidak”, atau berupa kalimat singkat lainnya jika membutuhkan penjelasan. Hal ini begitu kontras aku temukan terhadap segelintir orang yang mengaku sebagai aktivis islam tapi masih sering mengambil cela atau kesempatan di setiap momen yang ada. Jika memiliki ruang untuk berkomunikasi dengan lawan jenis sesama aktivis kadang itu dijadikan kesempatan untuk membicarakan hal-hal yang bukan lagi di dalam ranah kerja mereka sebagai kader dakwah. Atau bahkan malah sering membuat-buat momen hanya bisa sekedar berkomunikasi dengan orang tertentu. Mungkin karena ditaksir, menjadi primadona, atau hanya sekedar mengagumi, bahkan mungkin sudah menetapkan pilihan.

Batinku kembali berkecamuk, diselimuti perasaan khawatir, was-was akankah tindakan yang aku lakukan ini salah. Mungkinkah aku ini terlalu lancang, ataupun terbuka untuk pembicaraan pribadi seperti ini. Ataukah malah aku telah melewati jalur yang salah.

Pikiranku yang lain kembali menimpali, mencoba menenagkan batinku yang tak lagi karuan. Seolah dia hadir penuh dengan solusi. “Yah, yang aku lakukan ini semoga saja benar”, gumanku di dalam hati. Sebab aku tidak memiliki maksud yang lain selain dari niat awalku, tentang pilihan besar itu, aku akan mengambilnya, tentang keputusan untuk membangun sebuah kehidupan baru bersama orang yang aku harapakan dan kriteria yang aku inginkan darinya.

Apalagi ini bukan luapan emosi sejenak semata. Sebuah perasaan yang kadang hadir dan menghampiri sebagian dari aktivis islam. Sebuah perasaan dari naluri dan fitrah mereka selayaknya manusia normal. Sikap mengagumi, atau kadang menetapkan pilihan, atau malah perasaan itu hanya tersimpan rapat di dalam hati. Atau justru ada juga yang berani manyampaikan kecendrungan yang ia miliki terhadapa seseorang ke rekannya sesama aktivis entah ada maksud dan tujuan apa. Tapi mungki semua itulah yang aku maksud sebagai luapan emosi sejenak, sebuah kalimat retoris yang tidak dibarengi dengan tindakan nyata.

Bagiku jika ada sosok laki-laki seperti itu, apalagi seorang aktivis barangkali dia hanyalah seorang pecundang. Bagaimana mungkin kalimat sederhana dengan mudahnya dia ucapkan tentang hatinya terhadapa seseorang tapi hal itu tidak dia buktikan dengan tindakan yang nyata. Tapi kemungkinan karena dia belum konsisten, sehingga takut ketika naluri dan perasaannya itu suatu saat berubah.

Tapi dengan kondisi perasaanku saat ini aku tidak mesti lagi harus khawatir ketika mendapat label ini atau itu, lantaran mencoba melakukan perbincangan pribadi dengan lawan jenis. Sebab aku sudah mematangkan niat itu, apalagi hanya untuk sekedar bercanda atau mencoba untuk menyenangkan hati semata, tentu tidak seperti itu. Tinggal menunggu respon darinya, orang yang aku rasa bisa mengemban amanah yang akan aku titipkan padanya, walaupun aku juga belum mengutarakan maksud itu.

Mengingat si Ikhwan itu adalah ketua KAMMI di kampus, dari info yang aku dapat dari Mira seorang akhwat yang menurut aku dia adalah aktivis tulen. Dengan tanggun jawab itu, setidaknya bisa sedikit menjawab harapanku selama ini. Sebab porsi sebagai ketua KAMMI di kampus dari yang aku tahu, itu hanya dititipakan kepada orang-orang tertentu. Selain karena memang memiliki loyalitas yang tinggi, kepekaan, leadership, tentu juga karena pertimbangan akhlak dan prilakunya.

Pembicaraanku berhenti hanya sampai di situ dengan si Ikhwan malam itu. Prilakunya yang tidak suka berbasa-basi menjadikan aku kaku hingga tak bisa lagi merangkai kata untuk aku sampaikan. Niatku terhenti malam itu hanya sekedar untuk menyampaikan satu buah kalimat singkat. Mungkin di lain waktu, aku harus bisa mencari momen untuk merasa siap menyampaikan itu padanya dan dia juga bisa memberikan respon yang positif.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Amal Spesial, Manajemen Hati

Figure
Organization