Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Menjaga Eksistensi Gerakan

Menjaga Eksistensi Gerakan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

pesona mahasiswadakwatuna.com – “Sejak dulu hingga kini, pemuda merupakan pilar kebangkitan, dalam setiap kebangkitan pemuda-lah rahasia kekuatannya, dalam setiap pemikiran pemuda-lah pengibar panji-panjinya.” Hasan Al-Banna

Gerakan pemuda dan mahasiswa telah lama menjadi medium perlawanan dan pembebasan di berbagai belahan dunia. Banyak contoh-contoh gerakan revolusi di dunia yang dimotori oleh gerakan pemuda. Gerakan pemuda adalah fenomena sosial yang berangkat dari kegelisahan, lalu bertemu nurani yang berpihak kepada kebenaran. Keberadaannya merupakan keharusan sejarah peradaban manusia.

Di Indonesia, sejarah mencatatkan kiprah pemuda begitu bersinar dan membanggakan, baik itu dalam sejarah perjuangan kemerdekaan hingga pengisian kemerdekaan. Sejarah ini pulalah yang di kehidupan selanjutnya menjadi catatan-catatan yang menggugah sekaligus romantika yang inspiratif.

Entitas generasi muda merupakan parameter masa depan suatu bangsa. Keberadaanya akan benar-benar berarti ketika terwujud dalam kerja-kerja gerakan. Pemuda, dalam hal ini mahasiswa memiliki aspek potensi sebagai pelaku perubahan. Aspek tersebut menurut Indra Kusumah dalam “Risalah Pergerakan Mahasiswa” meliputi: aspek spiritualitas, ia memberi secara ikhlas berjuang dengan hati nurani; kemudian inteletualitas, ia memiliki daya analitis yang tajam serta kompetensi keilmuannya; emosional, ia berani dan berkobaran semangat; dan aspek fiskal, berkenaan dengan kekuatan fisik dan psikologis. Potensi-potensi tersebut akan tetap eksis jika termanifestasikan dalam kerja gerakan, namun akan hilang dan digantikan jika tidak terjaga dan berlalu begitu saja.

Eksistensi gerakan diartikan sebagai keberadaan yang diakui secara nyata dalam kehidupan masyarakat dan dunia gerakan. Keberadaan ini menyangkut kerja-kerja gerakan dan agenda-agenda yang bersentuhan dengan masyarakat. Dalam prinsip ekstraparlementer, Gerakan mahasiswa adalah penghantar arus antara elit dengan alit, ia “penerjemah” arus bawah untuk dimengerti arus atas. Dari rakyat ke penguasa. Eksistensi akan tetap terjaga ketika GM tetap menjadi penghantar arus yang efektif antara rakyat dengan penguasa, sekaligus mampu menerjemahkan tuntutan zaman yang tengah mengalami pergeseran ini.

Reposisi

Zaman yang berubah menutut reposisi dan reorientasi gerakan. Kerja-kerja gerakan tidak lagi bersifat spontanitas yang berjangka pendek. Situasi sosial politik juga tidak lagi seperti tragedi tirani yang sudah-sudah. Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap dukungan publik dan orientasi gerakan. Jika kita mengingat-ingat sejarah lampau, maka gerakan akan – meminjam istilah Arief Budiman – terjangkiti penyakit pahlawan. Gerakan akan hanyut dalam romantisme sejarah. Pada akhirnya ia akan hilang dari peredaran. Sikap kepahlawanan memang harus tetap ada, tapi bukan berarti mengidentifikasikan dirinya sebagai pahlawan, pahlawan sejati tidak akan pernah mengatakan dirinya sebagai pahlawan – begitu yang pernah saya baca dari bukunya Anis Matta.

Reposisi di sini bermakna mengatur kembali posisi gerakan, ia harus sesuai dengan ruh zaman. Gerakan mesti dibangkitkan kembali dengan beragam kerja-kerja kultural, ditopang oleh sikap rekonsiliasi untuk melihat realitas. Gerakan sejatinya adalah pengusung gagasan dan eksekutor narasi.

Kultur dan kemenangan

Merekonstruksi budaya internal baru dalam gerakan adalah bentuk kesigapan gerakan dalam menjawab tuntutan zamannya. Kontruksi tersebut berkenaan dengan kerja-kerja kultural seperti yang telah disebutkan di atas.

Pertama, kultur kaderisasi, kultur ini berkaitan dengan budaya rekruitmen dan pembinaan personil sebagai kekuatan dan penerus agenda gerakan. Dalam konteks organisasi internal dan eksternal kampus, untuk menjaga kesinambungan gerakan dan memperkuat posisi organisasi, mengkader adalah penopang utama. Sebaiknya tugas ini tidak dimonopoli oleh bidang tertentu secara total, setiap bidang bahkan personil yang telah memahami alur kaderisasi berkewajiban untuk mengkader dan menciptakan personil-personil baru.

Kedua, kultur literasi. Saat ini, gerakan mahasiswa tampil di hadapan publik sebagai gerakan korektif, masih terjebak dalam agenda-agenda protes yang terkadang tidak berkedalaman. Aktivis gerakan layaknya “gelandangan” intelektual yang miskin bacaan, tulisan, apalagi gagasan. Model gerakan tersebut sangat bertolak belakang dengan model gerakan para pendahulu, kita lihat kembali, bagaimana gerakan intelektual seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Natsir, Agus Salim dan sebagainya dalam membangun narasi gerakan, narasi yang hingga hari ini tetap ada.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Pramoedya Ananta Toer.

Pada intinya, aktivitas menulis adalah upaya untuk menjaga esksistensi gerakan itu sendiri. Ia tetap ada karena adanya tuntutan untuk menggagas hal baru dalam tulisannya.

Ketiga, kultur eksekusi. Sebuah ide hingga Grand design gerakan sering berhenti pada tataran konsep. Bukan karena tidak aplikatif, tapi sulitnya untuk diterjemahkan dalam tataran teknis. Ia terkurung menjadi retorika-retorika yang indah, artikulasi bahasa yang menggugah, tapi tidak bisa dieksekusi. Tidak adanya kerja nyata gerakan merupakan bentuk kesemuan organisasi. Lambatlaun ia akan hilang dalam ketidakberjasaan.

Membangun budaya eksekusi sebetulnya berkenaan dengan agenda yang mampu secara jamaah untuk dilakukan. Berangkat dari grand design sederhana, tapi dapat dilakukan dengan perencanaan yang jelas dan terukur. Semuanya berkaitan dengan target, pelaku, konsep, aliansi/relasi, dana, serta indikator keberhasilan.

Gerakan yang ilmiah – terstruktur, sistematis, dan masiv – akan terhindar dari kemandekan ide dan daya eksekusi.

Keempat, kultur kompetensi. Sebagai gerakan yang berbasis mahasiswa. Sejatinya gerakan mereorientasi diri dengan membentuk penggawa yang bebasis skill dan keilmuan sesuai dengan studi yang ditempuh. Diskusi-diskusi tidak hanya berkenaan dengan situasi politik, namun perlu adanya kelompok diskusi berbasis studi. Karena era sekarang menuntut profesionalitas dan kemampuan enterpreneurship. Kultur kompetensi ini secara tidak langsung juga akan mempersiapkan kader-kader gerakan untuk berdiaspora (menyebar) ke ruang-ruang publik yang lebih luas.

Kelima, kultur rekonsiliasi. Membuka diri dan tidak saklek pada tradisi lama. Inklusifitas yang berkarakter. Tidak buta dan menerima hal baru. Kematian organisasi gerakan terkadang karenan ketidakmampuannya dalam menerima kenyataan zaman. Idealis, tapi tak mampu menafsirkan kehendak realitas. Untuk tetap eksis, ia mesti fleksibel tapi punya prinsip, bukan justru mati karena pragmatisme.

Tsun Zi – seorang ahli filsafat perang- mengatakan, “Kenali dirimu, kenali lawanmu, kenali medan, kenali cuaca, seratus kali perperangan, kemenangan ada dipihakmu”. Jika kita tafsirkan bahwa kemenangangan itu adalah eksistensi gerakan, sedangan lawan, medan dan cuaca adalah realitas objek. Maka, mengenalinya adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan untuk menjaga eksistensi gerakan.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Gubernur Mahasiswa FKIP Unila 2013-2014, Kepala Kebijakan Publik PD KAMMI BandarLampung, tertarik dengan dunia gerakan, kepenulisan, dan pendidikan. Saat ini, selain aktif di organisasi, ia juga aktif sebagai staf pendidik di salah satu sekolah islam terpadu di Bandar Lampung.

Lihat Juga

Cegah Sekulerisme, KAMMI Pangkalan Bun Adakan Training Kepemimpinan

Figure
Organization