Topic
Home / Berita / Perjalanan / The Journey Pangandaran-Qatar: Pejalan Tak Berkaki

The Journey Pangandaran-Qatar: Pejalan Tak Berkaki

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Pananjung (bandung.panduanwisata.id)
Pananjung (bandung.panduanwisata.id)

dakwatuna.com – Bola api raksasa menyembul di sebelah timur. Di balik awan yang bergulung-gulung sinarnya mengintip bumi. Suara ombak terdengar menggelegar mengamuk menghempas tepi karang. Seolah sedang meminta korban. Nyi Roro Kidul dipercayai masyarakat pantai Selatan sebagai penguasa lautan. Saban taun harus setor upeti berupa pesta laut dan seba (baca: memberikan dengan khidmat) kepala kerbau jantan ke tengah lautan. Dilanjutkan malam harinya dengan pagelaran Wayang Golek. Pesta yang memakan dana puluhan juta bahkan sampai ratusan juta. Dana yang sangat cukup untuk mendirikan sebuah panti asuhan. Memang sudah turun temurun. Kalau tidak, masyarakat sekitar percaya pasti ada saja mangsa manusia yang berhasil diseret ke tengah lautan. Selang beberapa hari mayatnya mengambang di tepi pantai. Bahkan mayat korban bisa sampai mengembara ke laut Cilacap. Hasil tangkapan mereka akan pailit jika mengabaikan pesta laut. Mitos itu yang menghantui penduduk.

Beberapa para ahli kelautan meyakini bahwa pantai pesisir laut Pangandaran memang terdapat arus balik ditambah posisi geograpis lautnya yang curam. Secara kasat mata, tidak ada campur tangan ghaib jin. Para ulama gencar melakukan dakwah kalau hal pesta tersebut termasuk perbuatan syirik. Tapi tetap saja tak digubris karena itu sudah menjadi budaya. Biarlah opini-opini itu saling bertumburan tanpa ada solusi.

Berseragam baju putih-putih aku melangkah pasti. Kutelusuri gang-gang desa Pananjung. Gang terasa semakin sempit dengan menjamurnya hotel-hotel, restoran dan pusat hiburan karoke. Sepuluh tahun silam, rumah orangtuaku di Pananjung juga terkena gusur tanpa ganti rugi. Karena dijual si pemilik tanah ke orang-orang berduit dari Jakarta. Ibarat wajah yang divermak, Pangandaran berubah total. Dulu penuh dengan perkampungan nelayan. Rumah semi permanen beratapkan daun rumbia. Anak-anak dengan suka cita main di depan rumah, kejar-mengejar ke tepi pantai, sampai menikmati berjejernya perahu yang ditambatkan di pesisir. Kini sebagian pesisir pantai indah itu dinikmati kaum borjuis. Hanya akses gang kecil saja disisakan buat penduduk lokal. Sudah menjadi tradisi kaum pendatang, pengusaha dan para pejabat yang menjadi raja kecil di sini, sedangkan orang lokal masih aja tetap hidup seadanya menjadi nelayan.

Udara sejuk di pagi hari terhirup. Bau ikan laut menjadi cita rasa tersendiri. Cicit murai di atas ranting rambutan, gelatik dan beberapa burung laut melayap menyambut bergulirnya pagi. Tampak aktivitas masyarakat mulai terlihat. Ada beberapa bapak-bapak yang berseragam PNS mengendarai sepeda motor. Tukang becak mengayuh dengan riang karena banyak turis domestik dan asing membanjiri kota wisata nomor satu di Kabupaten Ciamis itu. Siswa SD bergerombol berjalan menuju sekolah yang tidak jauh dari rumah perkampungan mereka.

Setelah berjalan kaki kurang lebih lima belas menitan. Aku menuju ke Puskesmas yang dibangun Belanda itu. Bangunan tua yang belum direnovasi. Kusam dan seram. Sebelah kirinya sebuah rumah tua difungsikan sebagai rumah dinas dokter kepala Puskesmas. Seberang jalan para pedagang kaki lima berjejer. Ada tukang kupat tahu, mie ayam, nasi uduk bahkan kalau sore hari ramai dengan pedagang durian dadakan.

‘’Coba kalau Tornadoku nggak digadaikan! Kan berangkat kerja naek motor. Ini nyeker. Mirip kaum pejalan yang tak berkaki. Bisa jadi siput lama-kelamaan.’’ gumamku.

Lamunanku buyar ketika klakson sepeda motor dibunyikan dari belakangnya.

‘’Sep, apa kabar?’’ Indah menyapa sambil menghentikan Supra X-nya.

‘’Hey, baik. Kemana aja nih?’’ Aku menyunggingkan senyum.

Kedua lesung pipiku memikatnya. Aku berperawakan tinggi 178 cm, berkulit sawo matang, beralis tegas. Sorot mataku tajam. Terkadang teduh juga. Indah berperawakan kecil mungil. Tapi enerjik. Bicaranya selalu diselingi tawa genit. Kulitnya kuning langsat khas mojang Priangan. Pagi itu indah berpakaian seragam PNS berwarna coklat berkerudung putih. Ada bunga berenda dengan manik-manik di kerudungnya. Bros bunga mawar disematkan di bahu kirinya. Baju seragamnya sengaja ngepres badan. Kedua lekukan pinggang Indah menggoda.

‘’Kamu sombong banget Sep. Kemaren aku lewat di depan rumahmu. Ada adik-adikmu, emak bapakmu, kamu juga ada lagi duduk. Kenapa aku nggak ditegur?’’ Indah gadis mungil perawat gigi itu cemberut.

‘’Oh, kirain bukan kamu? Nggak pake kerudung kan kemaren?’’ Aku sambil mengingat-ngingat.

‘’Iya.’’ Mata Indah tak berkedip.

‘’Yakin kemaren pangling banget…..Suwer deh! Serius 100%…Hehehehehe….Itu kamu ya? Asli beda banget….Hihihihi..’’

‘’Beda gimana? Jelek ya??’’ Indah sambil menyeringai.

‘’Iya jelek banget sih….Hahahahaha…..’’ kataku sambil menyeringai.

‘’Huh dasar! Udah ah,,,Aku mau markirin motor dulu.’’

‘’Hey, gitu aja marah…Ntar hilang manisnya.’’ Aku memegangi stang motor menghalanginya.

‘’Ngomong-ngomong, Sep. Mau nggak jadi pacarku?’’ Indah tersenyum.

‘’Apa?? Nggak salah denger nih? Lho kok bisa, kita baru saja beberapa bulan kenal.’’ Aku terheran-heran.

‘’Aku pernah punya pacar berkali-kali, tapi kamu lain deh. Penuh pesona.’’ Indah menatap lekat bola mataku.

‘’Bisa aja kamu ngegombal, In. Baru kali ini aku ditembak cewek seumur hidupku. Kalau aku terima gimana? Kalau aku nolak? ‘’

‘’Kalau kamu nerima, ini sepeda motor buat inventaris. Kasihan tiap hari kamu jalan kaki, Sep. Kalau aku ditolak, aku mau menggantung diri di bawah pohon cikur. Hehehehe….’’ Indah tertawa genit.

‘’Emangnya aku cowok bensin, In? Sorry la yaw…..Hahahahaha. Aku pikir-pikir dulu deh. Pikiran masih ruwet nih.’’ Tukasku.

‘’Ruwet kenapa, Sep? Emangnya mikirin negara kok ruwet? Hihihihi….Jangan banyak mikir deh! Ntar kamu kena darah tinggi.’’

‘’Hush! Enak aja……’’

‘’Udah dulu ya,,,,,Bye Bye…..’’

Indah mencibir sambil menancap gasnya pelan ke tempat parkir yang berada di seberang Timur persis pojokan warung nasi. Aku masuk ke pintu utama Puskesmas. Sebenarnya pikiranku masih galau dengan kondisi yang tak pasti. Sulit mendapatkan secercah harapan selepas Wisuda. Dulu desas-desus di masyarakat ditelanku bulat-bulat. Kalau lulusan Kesehatan itu gampang cari kerja. Kenyataannya ‘No Way!’.

Di depan ruang tunggu ada Ambulance baru sumbangan dari pemerintah Spanyol. Terlihat Mang Dede sang sopir lagi membersihkan kaca mobilnya. Pukul 07:00 pagi semua petugas kesehatan sudah berdatangan dan saling sapa. Beberapa orang yang datang mau berobat sudah duduk berjejer di bangku panjang yang telah disediakan. (usb/dakwatuna)

***

Doha, 17 Maret 2013.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Qatar Kepada AS: Palestina Menanti Solusi Politik Yang Adil

Figure
Organization