Topic
Home / Berita / Perjalanan / The Journey Pangandaran-Qatar: Pananjung

The Journey Pangandaran-Qatar: Pananjung

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Doha Qatar (biggsity.com)
Doha Qatar (biggsity.com)

dakwatuna.com – Suara angin malam berkesiur menghentak-hentakan bilik-bilik rumah semi permanen perkampungan nelayan. Udara yang dingin terasa menggigit-gigit sendi. Bulan enggan menampakan diri bersembunyi di balik awan yang menghitam. Langit legam tak bersahabat. Sesekali saja terlihat bintang bintang yang bertebaran. Warga yang terlelap tidur mendengkur di bawah kemul kain sarung. Dingin sekali. Tak seperti sedia kala. Binatang malam menjadi musik penentram mimpi kaum nelayan berpenghasilan pas-pasan itu.

Ayahku, Basri seorang pelaut kawakan yang sudah pernah menaklukan Samudra Hindia dan Atlantik. Sejatinya, dia bisa melaut lagi bersama kapal Jepang pencari tuna ke perairan Peru. Tapi, nasib berkata lain. Setahun ke belakang teman-teman sekerjanya mengadakan demo di kapal. Mereka menuntut kenaikan gaji dan kesejahteraan. Peralatan kapal dirusak. Kapal Sumimaru porak-poranda. Perusahan Sumimaru mendeportasi orang-orang di kapal. Tak terkecuali orang yang tak terlibat pun ikut dipulangkan.

Kini, bapakku hanya berpasrah diri saja menjadi nelayan bersama kawannya Entuy di kota wisata bekas Kerajaan Galuh Pananjung itu. Konon Pananjung yang mayoritas ditempati Suku Sunda itu dahulu kala dirajai Prabu Anggalarang putra Prabu Haur Kuning- Raja Galuh Pangauban. Berpatihkan Aria Kidang Pananjung dan berpramesuri Dewi Rengganis. Lama-kelamaan beberapa sesepuh menamai tempat itu menjadi Pangandaran yang berasal dari kata pangan (makanan), andaran (pendatang). Jadi, tempat itu sangat cocok untuk para nelayan karena banyak ikan.

Aku sudah enam bulan nganggur. Lulus dari Akademi Perawatan ternama di kota Tasikmalaya. Mencari kerja setelah lulus tak semudah membalikan telapak tangan. Dengan niat mencari pengalaman, aku rela bekerja menjadi tenaga sukarelawan (Sukwan) di Puskesmas Pangandaran yang tak jauh dari rumah semi permanen yang ditempati kami sekeluarga.

Malam itu aku menggeliat membetulkan posisi tubuh di sofa butut yang bolong di mana-mana. Aku terbangunkan dengan suara celurut yang berisik berputar-putar di dekat bilik bambu. Kulihat gurat-gurat dahi ayahku yang semakin terlihat garisnya karena menua. Beralaskan tikar, mereka tidur terlelap di lantai. Sedangkan Entuy sahabat bapakku tidur di pojok sofa. Sarung merah kotak-kotak Cap Mangga membalutinya. Berbaju kaos oblong dia mendengkur. Jam dinding berdentang pukul 03:30 dini hari. Ibuku terbangun sambil memicingkan kedua matanya yang silau terkena cahaya lampu pijar.

‘’Kok terbangun, Sep?’’ Ibuku bertanya.

‘’Nggak enak tidur di sofa ini. Punggung melengkung. Kapan sih bapak bisa berlayar ke luar negeri lagi? Kan kita nggak usah sengsara tinggal di gubuk derita ini.’’ Aku membetulkan kembali bantalnya.

‘’Sabar Sep,,,,namanya kan hidup. Seperti roda. Kadang di atas kadang di bawah.’’ Ibuku membetulkan ikatan rambutnya yang semrawut.

‘’Tapi sampe kapan? Kan kita punya rumah gedong di kampung? Ngapain kita di sini? Nggak ada yang diharapkan, Ning?’’ Mataku menatap langit-langit.

Aku memanggil ibuku dengan Ining. Memang lucu kedengarannya. Alkisah, waktu usia lima tahunan aku dibelikan kaset Tarling. Ada lagu Nok Ning. Sejak saat itulah aku memanggil ibu dengan Ining. Anehnya, ibuku gak pernah marah dengan sebutan Ining itu. Malahan sudah mendarah daging.

‘’Bapakmu itu nggak tinggal diam, Sep! Dia sekarang banting tulang sambil nyari-nyari lowongan ke luar negeri. Beberapa temennya ngasih kabar ada lowongan kerja di Malaysia atau ke Vietnam. Sabar aja. Lagian kan ini gubuk ditempati untuk sementara saja.’’

‘’Lebih baik kita di kampung. Ngurusin sawah dan ladang. Daripada hidup terlunta-lunta seperti ini.’’ Aku merasakan penderitaan keluarga.

‘’Apalagi kalau di kampung, Sep. Bapakmu tambah pening kepalanya. Tetangga-tetangga nggak ada yang peduli lagi semenjak ayahmu nganggur. Dulu waktu lagi jaya-jayanya dia berlayar ke luar negri, uang banyak, penuh kharisma. Tetangga pun berduyun-duyun berdatangan meminta oleh-oleh atau bantuan ini-itulah.’’

‘’Itulah manusia. Di jaman sekarang sangat sukar untuk membedakan mana yang menjadi teman sejati atau teman yang melihat kita karena harta saja. Di mana ada semut di situ ada gula. Ketika gulanya habis, semutnya pada kabur. Manusia pun begitu.’’

‘’Sabarlah Sep. Nggak baik mengutuki orang. Banyak berdoá. Semoga kamu lekas punya pekerjaan yang mapan supaya bisa membantu Bapak.’’ Ibuku menimpali.

‘’Kan udah lebih dari 24 lamaran disebar kemana-mana. Belum ada juga yang nyangkut. Diem aja di kampung malas denger ocehan orang-orang. Lulusan perguruan tinggi kok nganggur?’’ Aku menghela napas panjang.

Obrolan kami disambut meriah nyamuk yang menari-nari bagaikan pesta pora hidangan makanan besar. Tanganku menepis dan menampari nyamuk itu.

‘’Ining hanya bisa mendo’akan saja, Sep. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan kelak.’’ Jawabnya.

‘’Amin. Di jaman sekarang jadi Pegawai Negeri (PNS) sangatlah sukar. Di swasta pun begitu. Beberapa rumah sakit di Jakarta menolak secara halus lamaran. Alasannya belum ada pengalaman lah, nanya siapa yang kenal, kenapa nggak ngelamar di daerah saja dan banyak sekali tektek bengeknya. Salahku dulu pilih kuliah di Kesehatan, Ning! Kenapa nggak masuk ke Akademi Maritim saja dulu? Kan enak bisa jadi pelaut kayak Bapak?‘’ Aku sambil menggaruk-garuk kepala.

‘’Lha, katanya dulu sempat ada kabar, kalau lulusan Kesehatan itu langsung dapat kerja? Malahan langsung ditempatkan?’’

‘’Iya itu sebelum tahun 1990-an. Waktu itu jumlah tenaga kesehatan sangat kurang, sekarang tahun 2001 mah udah bejibun. Di mana-mana ada STIKES. Hampir tiap kabupaten ada. Bayangin aja kalau setiap lulusan 40 orang, ada seratus sekolah. Walhasil udah 4000 lulusan dalam setahun? Sedangkan Rumah Sakit, klinik dan Puskesmas nggak bertambah-tambah? Jadi banyak sekarang tenaga kesehatan yang nganggur. Huh….’’ Aku membuang napas yang terasa sesak.

‘’Emang nggak bisa kalau kamu jadi Pegawai Negeri?’’

‘’Januari kemaren kan udah ikutan. Tapi, nggak jebol. Nunggu pengangkatan di Puskesmas entah kapan diangkatnya. Ada temen, Yuda udah hampir empat taun jadi tenaga Sukwan. Sampai sekarang nggak diangkat-angkat. Mau nunggu hujan emas dari langit? Nunggu diangkat sampe kapan? Kecuali kalau kita punya koneksi.’’

‘’Maksud kamu koneksi itu apa, Sep?’’ Ibuku mengerutkan dahinya.

‘’Maksudnya ada kenalan yang bisa mengangkatku jadi Pegawai Negeri. Kita kan nggak punya sama sekali kenalan?’’

‘’Maksudmu ntar pake duit gitu?’’ Ibuku menebak-nebak.

‘’Ya begitulah, Ning.’’

‘’Astagfirullohal adziim. Kalau urusan sogok-menyogok Ining nggak setuju. Bukankah kamu pernah mengatakan dari guru ngaji kamu tentang ‘Siapa yang menyogok dan disogok itu akan masuk neraka?’’

‘’Iya betul, Ning. Tapi sekarang jaman udah edan. Orang sudah nggak memperdulikan halal dan haram.’’

‘’Ah, tapi janganlah kamu berburuk sangka Sep. Nggak semuanya orang busuk di negeri ini. Pasti ada juga yang baiknya. Kasihan mereka yang bener-bener secara murni masuk pegawai negeri tanpa sogokan. Jangan memukul rata keadaan!’’ Ibuku mencoba menghiburku karena gagal masuk tes PNS.

‘’Itu bukan rahasia umum lagi Ning! Ada temen masuk jadi pegawai negeri setelah nyogok 30 juta.’’

‘’Udahlah Sep, kalau memang dia nyogok berarti rejekinya nggak akan barokah nanti. Karena sebenarnya bukan hak dia.’’

‘’Iya bener.’’

‘’Pak! Bangun. Mau melaut kan?’’ Ibuku mencoba membangunkan ayahku.

‘’Hoaam…..’’ Bapakku menggeliat. ‘’Sep, kamu mau ikut melaut?’’

‘’Ayo. Ingin tau gimana rasanya jadi nelayan.’’ Aku duduk menggelosor ke lantai.

‘’Jangan pergi! Di luar anginnya kencang, takut kamu mabuk laut.’’ Ibu sambil berdiri lalu pergi ke dapur.

Selang beberapa lama, bapakku dan Entuy temen seperjuangannya berkemas. Setelah mencuci muka dan mereguk secangkir kopi, mereka berpamitan dengan menggunakan pakaian butut dan mengenakan tutup kepala. Kedua sahabat itu mendorong gerobak berisi jaring dan mesin perahu. Meski hawa dingin menampar-nampar wajah mereka, tekad mereka bulat antara pulang membawa sesuap rejeki atau kosong membawa timbunan bon hutang yang menggunung di warung. Sosok mereka lenyap ditelan gelapnya malam. Mereka bergegas ke tempat perahu dan menyongsong fajar yang mulai memutih ke arah Pantai Timur. Menggapai seonggok harapan untuk masa depan anak-anaknya. Harapan yang kadang lenyap ditelan badai ombak pantai Selatan yang ganas. Asa yang terkadang pupus terhempas karang Batu Layar. Aku kembali mendengkur bersama adik-adikku di lantai. Selang berapa lama sayup-sayup suara adzan Shubuh berkumandang. (usb/dakwatuna)

***

Doha, 16 Maret 2013.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

[Video] Tiba di Doha, Emir Qatar Disambut Meriah Rakyatnya

Figure
Organization