Topic
Home / Berita / Internasional / Asia / Sepatu Istimewa untuk Bertemu Ibunda

Sepatu Istimewa untuk Bertemu Ibunda

Huzaifah, bertahun-tahun terpisah dengan ibunya karena konflik di Suriah (bbc.co.uk)
Huzaifah, bertahun-tahun terpisah dengan ibunya karena konflik di Suriah (bbc.co.uk)

dakwatuna.com – Suriah. Pada 2009, dua tahun sebelum revolusi Suriah dimulai, seorang pemuda bernama Huzaifah melihat sepasang sepatu di sebuah pusat perbelanjaan di Aleppo. Dia membelinya, namun memutuskan hanya akan memakainya saat melihat ibunya lagi.

Konflik Suriah sejatinya bukan konsep baru bagi keluarga Huzaifah. Tiga puluh tahun lalu, Fadwa melarikan diri dari negara itu tanpa membawa apapun kecuali Huzaifah yang terbungkus selimut dan masih berusia beberapa bulan.

Anak itu lahir di Aleppo pada November 1979 – sebuah kota yang berada di ambang perang saudara. Hafez al-Assad, Presiden Suriah saat itu, telah berkuasa selama hampir satu dekade dan menindas lawannya dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Pasukan pemerintah memblokade kota-kota di sekitarnya dan mulai menggeledah keberadaan para pembangkang dari rumah ke rumah.

Salah seorang aktivis oposisi yang ditangkap adalah ayah Huzaifah, yang pada waktu itu adalah seorang mahasiswa berusia 20 tahun dari Universitas Aleppo. Sesaat setelah mendengar penangkapan suaminya, Fadwa melarikan diri dengan Huzaifah yang berada dalam pangkuannya ke Yordania dengan menggunakan bis.

Pengungsian

Huzaifah tumbuh dan dibesarkan di sejumlah tempat pengasingan, pertama di Yordania, kemudian di Arab Saudi, lalu Abu Dhabi. Namun, Suriah selalu hidup dalam benaknya, melalui makanan, lagu-lagu khas, dan cerita-cerita yang dikisahkan ibu dan ayah tirinya. Ya, Fadwa menikah lagi setelah menyadari bahwa ayah Huzaifah pasti sudah meninggal.

Namun, ketika ia berusia 18 tahun, Huzaifah memutuskan untuk kembali ke Aleppo. Dia ingin belajar, dan keluarga tidak mampu membayar biaya hidup di Abu Dhabi. Fadwa takut memikirkan anaknya kembali ke Suriah dan berusaha untuk menghentikannya, tapi Huzaifah berkeras kembali ke negaranya.

Dia kemudian terdaftar di Universitas Aleppo. Meskipun sejumlah petugas keamanan melecehkannya – karena mengenali dia sebagai putra dari laki-laki yang telah mereka tangkap 20 tahun yang lalu – ia lulus dan mendapat pekerjaan di perusahaan jaringan ponsel nasional SyriaTel sebagai staf penjualan.

Fadwa masih mengkhawatirkan anak sulungnya. Namun, seiring dengan kepindahannya dari Abu Dhabi ke Inggris, karier Huzaifah terus berkembang. Ia menjadi manajer penjualan regional, membeli mobil, dan menikah. Sampai suatu hari kemudian ia menginjak salah satu toko di Aleppo dan melihat sepasang sepatu.

Sepatu spesial yang dibeli untuk bertemu ibunda (bbc.co.uk)
Sepatu spesial yang dibeli untuk bertemu ibunda (bbc.co.uk)

“Saya membeli pakaian untuk bekerja. Saya harus terlihat pintar,” kata Huzaifah.

“Saya menemukan sepasang sepatu di sana dan saya menyukainya. Lalu, saya mengatakan kepada istri saya bahwa saya akan menjaga sepatu itu di lemari saya sampai saya melihat ibu saya. Saya bersumpah kepada Allah. Kau tahu, itu seperti sebuah harapan?”

Protes

Dua tahun kemudian, pada Maret 2011, Fadwa sedang duduk-duduk di rumahnya di Rotherham, Inggris, dan menyaksikan tayangan televisi tentang protes di jalan-jalan Suriah melawan rezim Bashar al-Assad. Ia belum pernah melihat perselisihan terbuka lagi di Suria semenjak peristiwa pemberontakan dan pembantaian awal 1980-an. Fadwa mengkhawatirkan anaknya – dan ia benar.

“Saya bergabung dengan protes terhadap Assad sejak hari pertama,” kata Huthaifah.

“Ketika orang-orang masih berpikir … bahwa hal itu akan sia-sia, saya percaya bahwa ada sesuatu yang terjadi, sesuatu terhadap Assad. Jadi saya bergabung dengan mereka.”

“Pada awal revolusi, dari dalam hati saya, saya mendukung mereka. Saya akan meminta kebebasan bersama-sama dengan orang-orang lainnya. Kemudian kita menyadari bahwa ada puluhan intel di mana-mana dalam aksi protes tersebut. Mereka meneriakkan kebebasan, tapi mereka hanya menyebutkan nama-nama dan mengambil foto. Saya masih akan ikut protes, tapi saya menutupi wajah saya, saya bersembunyi dalam mobil saya.”

“Ketika orang-orang mulai datang ke Aleppo dari desa-desa yang telah hancur oleh rezim, kami membantu keluarga-keluarga itu dengan menyediakan akomodasi, membawa makanan. Kami mengumpulkan uang dari teman-teman kami secara rahasia, membeli pakaian, selimut. Segala sesuatu dilakukan secara rahasia. Setiap saat saya merasa takut. ”

Pada musim semi 2012, aksi protes itu berubah menjadi perang saudara yang mengerikan. Huzaifah melihat demonstran ditembak di jalan oleh penembak jitu. Dia melihat mayat yang dibuang di luar sebuah barak tentara Suriah.

“Setiap hari kami berjalan dan melihat banyak orang mati di samping tumpukan sampah.”

Ketika tentara Suriah menangkap salah satu teman baiknya, Mazen al-Rihawi, ketakutan Huzaifah semakin nyata.

“Mereka membawanya ke Jawwiyah [tempat tentara pendukung Assad yang paling ditakuti] dan mereka membunuhnya di sana, dan mereka melemparkan tubuhnya di jalan. Dia adalah orang yang sangat baik. ”

Mengungsi

Pada musim panas 2012, Huzaifah mendapat telepon yang memerintahkannya untuk melapor ke markas keamanan militer di Aleppo. Pada malam yang sama, ia diperingatkan oleh temannya, “Jangan pergi. Mereka tahu Anda membantu para dokter yang mengobati para pengunjuk rasa yang terluka. Anda harus keluar dari Suriah.”

Huzaifah membawa istri dan anaknya ke sebuah rumah kecil yang ia bangun di wilayah pedesaan yang berjarak beberapa kilometer dari Aleppo.

“Kami aman di sana. Saya baru saja selesai membangun rumah dan tidak ada yang tahu tentang hal itu.” Dari tabungannya, Huzaifah membeli jeriken-jeriken berisi bensin di pasar gelap.

Zaid, putra Huzaifah, yang belakangan dibawa mengungsi ke Belanda (bbc.co.uk)
Zaid, putra Huzaifah, yang belakangan dibawa mengungsi ke Belanda (bbc.co.uk)

Lima belas hari kemudian ia pergi ke Turki dengan istri dan ibu mertua, serta Zaid, bayi laki-lakinya. Tak ketinggalan pula sepatu kesayangannya.

Huzaifah berangkat ke Eropa, sementara keluarganya tinggal di sebuah rumah kontrakan di Mersin, Turki. Perjalanan ini sudah menghabiskan tabungannya untuk membayar makelar korup melalui Mesir, Ghana, dan Togo, kembali ke Turki melalui Mesir, dan kemudian ia bersembunyi selama berhari-hari di dalam truk, sampai ia tiba di Belanda.

Sepatu itu tidak dipakai olehnya dan tetap ada di dalam tas. Akhirnya, pada tahun 2013, ia diberikan suaka. Ia mendapat ijin tinggal selama beberapa bulan dari pemerintah Belanda. Huzaifah kemudian mengajukan visa untuk mengunjungi ibunya di Inggris. Pada Juli 2014, Huzaifah terbang ke bandara Manchester.

Memakai Sepatu

Di Bandara, Fadwa dan sanak saudara menunggu. Sesaat setelah melewati keamanan, Huzaifah pergi ke kamar mandi untuk memakai sepatu miliknya.

“Sepatu itu ada dalam koper saya, jadi saya membukanya dan mengeluarkan sepatu itu. Saya menyimpannya di kamar mandi, dan saya berjalan keluar untuk melihat ibu saya. Itu adalah salah satu momen terbaik dalam hidup saya. Setelah sekian lama, saya bisa melihat keluarga saya lagi. ”

Huzaifah tinggal bersama keluarganya di Inggris selama dua minggu sebelum ia kembali ke Belanda. Dia sekarang telah membawa istri dan anaknya keluar dari Turki dan belajar bahasa Belanda. Dia melanjutkan sekolahnya untuk meraih gelar master dan bekerja untuk membangun kehidupan baru di Belanda.

Dia tidak pernah bisa mengetahui apapun tentang ayahnya ketika ia berada di Suriah. Namun pada 2014, Huzaifah menemukan dokumen, nama ayahnya ada di antara daftar ratusan, mungkin ribuan orang, yang dibantai dalam sel pada tanggal 27 Juni 1980 atau sehari setelah gagalnya upaya pembunuhan Presiden Suriah Hafez al-Assad, ayahanda Bashar al-Assad.

Huzaifah masih menyimpan sepatunya dalam sebuah tas di lemari dan hanya memakainya pada kesempatan-kesempatan yang sangat istimewa. “Istri saya mengira saya gila, saya tahu,” katanya. “Tapi dia juga memahami bahwa sepatu ini sangat berarti bagi saya.” (bbc/rem/dakwatuna)

Redaktur: Rio Erismen

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumnus Universitas Al-Azhar Cairo dan Institut Riset dan Studi Arab Cairo.

Lihat Juga

Berkat Turki, Anak-Anak Suriah Ini Kembali Nikmati Bangku Sekolah

Figure
Organization