Topic
Home / Berita / Perjalanan / Baranusa: Sejarah dan Tradisi Islam yang Tersembunyi

Baranusa: Sejarah dan Tradisi Islam yang Tersembunyi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Masjid Jami Baranusa, terlihat dari Pelabuhan Baranusa. (darso arif)
Masjid Jami Baranusa, terlihat dari Pelabuhan Baranusa. (darso arif)

dakwatuna.com – Di Kabupaten Alor, NTT, ada Suku Baranusa yang memiliki akar sejarah Islam setua sejarah Islam di Nusantara. “Baranusa adalah muslim”, begitu orang Baranusa mengidentikkan dirinya. Sayangnya, belum ada yang serius mengungkapkan akar sejarah ini sehingga sumbangsih orang Baranusa pada dinamisasi Islam di Nusantara tidak pernah terungkap.

Secara umum orang mengatahui bahwa Muslim di NTT adalah minoritas, yakni hanya 10 persen dari hampir lima juta penduduknya. Di NTT juga, secara umum orang biasa mengklasifikasi agama dari suku bangsanya. Umpamanya, orang Flores, Belu dan Kefa (dua yang terakhir ini berada di Pulau Timor) umumnya bergama Katholik. Sedangkan orang Alor, Timor, Sumba, Rote dan Sabu umumnya beragama Protestan.

Meski begitu, bukan berarti Islam tidak memiliki akar sejarah yang kuat di NTT. Setidaknya, ada beberapa suku bangsa di NTT yang memiliki akar sejarah Islam setua Islam di Nusantara. Salah satu diantaranya adalah Suku Baranusa di bagian Barat Pulau Pantar, yang merupakan bagian dari Kabupaten Alor. Sayangnya, belum banyak yang berminat untuk mengkaji dan mengungkapkan akar sejarah Islam pada Suku Baranusa ini.

Di Pulau Pantar, Suku Baranusa berada pada lima dari delapan desa yang berada di Kecamatan Pantai Barat, yakni Desa Baranusa (ibukota Kecamatan Pantar Barat), Desa Baraler, Desa Blangmerang, Desa Illu dan Desa Piring Sina. Desa terkakhir ini adalah sebuah pulau kecil tersendiri bernama Pulau Paru di mulut Selat Baranusa. Tak kurang dari lima ribu jiwa Orang Baranusa mendiami kelima desa itu.

Rumah sederhana keluarga keturunan Raja Baranusa. Bukan Istana bukan Keraton. (darso arif)
Rumah sederhana keluarga keturunan Raja Baranusa. Bukan Istana bukan Keraton. (darso arif)

Sama seperti di wilayah lain dari Nusantara ini, jauh sebelum kemerdekaan, Suku Baranusa berdiri sendiri sebagai sebuah kerajaan, yang juga bernama Kerjaan Baranusa. Hanya saja, kerajaan-kerajaan di NTT, ternasuk Baranusa, tumbuh dan berkembang dalam kesatuan-kesatuan wilayah atau klan yang kecil, tidak seperti kerajaan-kerajaan di wilayah lain. Sehingga pengertian ‘kerjaan’ di NTT agak berbeda dengan pengertian ‘kerajaan’ di wilayah lain. Di era modern ini, wilayah kerajaan-kerajaan di NTT dahulu itu hanya mencakup satu atau dua kecamatan. Uniknya masing-masing kerajaan kecil itu memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu dan lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada Suku Baranusa. Pada era modern ini, bekas wilayah Kerajaan Baranusa hanya mencakup lima dari delapan desa pada Kecamatan Pantar Barat. Bahasa Orang Baranusa yang hanya lima desa itu berbeda dengan bahasa masyarakat pada tiga desa lainnya walapun mereka berada dalam satu kecamatan. Bahasa dan budaya ini makin berbeda lagi jika sudah berbeda kecamatan, apalah lagi berbeda kabupaten. Oleh karena itu, Provinsi NTT sesungguhnya tidak ada satu budaya atau bahasa yang dominan yang bisa dijadikan sebagai identitas provinsi itu.

Jejak Ternate dan Buton

Dalam sebuah literatur disebutkan, seorang penjelajah asal Portugis pada tahun 1522 dalam perjalanan pulangnya ke Eropa dari Maluku, dia singgah di Pulau Pantar. Di sini, penjelajah yang bernama Ferdinand Magellan ini melihat suatu komunitas Islam yang tinggal di kampung bernama Maloku, Baranusa. Maloku adalah tempat tinggal pertama para da’i asal Maluku yang diutus Kesultanan Ternate untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Baranusa. Salah seorang diantara para da’i itu bernama Mukhtar Likur. Hingga sekarang keturunan Mukhtar Likur masih bisa kita jumpai di Baranusa.

Sumur Wai Butu. Sebuah bantuan Kesultanan Buton untuk Baranusa. (darso arif)
Sumur Wai Butu. Sebuah bantuan Kesultanan Buton untuk Baranusa. (darso arif)

Seperti tersebut dalam sejarah, bahwa Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku Utara sebagai ‘Negara Islam’ telah eksis pada awal abad ke-15. Sebagai negara maritim, kedua kesultananan ini mengembangkan pengaruhnya, baik secara militer maupun budaya ke berbagai daerah di sekitar wilayah mereka. Baranusa yang berada di bagian utara Pulau Pantar dengan pelabuhannya yang nyaman sebagai tempat pendaratan, tak lepas dari incaran pengembangan pengaruh Ternate atau Tidore. Belakangan, Ternate lebih besar pengaruhnya di Baranusa. Karena itu, Ternate merasa perlu mengirim dai-nya ke Baranusa untuk mengembangkan Islam di sana.

Di Baranusa, ternyata para dai dari Ternate ini tidak sekedar mengajarkan Islam tapi juga mengembangkan sistem politik yang ada di Kesultanan Ternate. Ini bisa dilihat dari catatan berdirinya Kerajaan Baranusa berdiri pada tahun 1520. Raja pertama Baranusa diketahui bernama Boli Tonda yang memerintah hingga tahun 1578. Sistem pemerintahan yang dikembangkan Boli Tonda diyakini mirip dengan sistem yang ada pada Kesultanan Ternate. Bahkan, nama Boli Tonda sendiri sangat berbau Ternate.

Pengaruh Kesultanan Ternate pada Baranusa masih terasa hingga sekarang. Manuskrip Alqur’an kuno yang tersimpan di Baranusa dan diyakini tertua di Indonesia itu terbaca jejak Ternate di situ. Rangkaian kegiatan ritual dalam masjid, termasuk asosories yang digunakan dalam masjid dan upacara-upacara keagamaan lainnya terlihat warna Ternate.

Seni budaya yang berkembang dalam masyarakat Baranusa juga masih kental dengan nuansa Ternate, yang juga punya basis yang sama dengan kesenian Melayu. Alat musik Gambus, misalnya. Gambus Baranusa berbeda dengan gambus yang populer di daerah lain. Jika di daerah lain alat musuk gambus memiliki perut yang lebar, maka gambus khas Baranusa memiliki perut yang ramping dan lebih panjang. Bentuk gambus yang sama hanya ada di Ternate dan Tidore. Selain bentuk gambus, cara memainkan dan syair yang mengiringi permainan gambus pada masyarakat Baranusa juga tak jauh beda dengan apa yang dimainkan oleh masyarakat Ternate. Selain Gambus, tradisi Hadrah juga tumbuh pad masyarakat Baranusa. Jika kita cermati, seni handrah di Baranusa punya banyak kemiripan dengan seni hadrah di Ternate.

Masih soal seni. Masyarakat Baranusa adalah “penjaga” seni musik Melayu di NTT. Jauh sebelum musik dan lagu Melayu bermetamorfosis seperti sekarang ini, lagu Melayu telah lama hidup dalam masyarakat Baranusa. Sebelaum tahun 2000, lagu Melayu masih asing di telinga masyarakat lokal NTT dibanding musik pop. Karena dalam masyarakat yang mayoritas Kristen dan Katholik tentu saja musik atau lagu yang sewarna dengan lagu gereja lebih populer. Dalam situasi seperti itulah, orang Baranusa mempertahankan identitasnya.

Selain Ternate dan Tidore, Kesultanan Buton juga ikut mempengaruhi eksistensi masyarakat Baranusa. Kalu Ternate lebih berpengaruh pada sistem politik dan tradisi Islam, maka Buton lebih pada tradisi kemaritiman. Cara menangkap ikan, perahu dan kemampuan menjelajahi samudra yang dimiliki orang Baranusa berada di atas kemampuan masyarakat NTT pada umumnya. Selain pada ketrampilan melaut, pengaruh Buton juga terlihat pada tradisi tenun dan cara berbusana orang Baranusa. Jika melihat lebih detail, corak tenun dan berbusana orang Baranusa lebih dekat dengan warna dan tradisi orang Buton. Jejak Kesultanan Buton di Baranusa juga bisa dilihat dari peninggalan sumur Wai Wutu di Desa Piring Sina. Sumur tua yang masih tetap dimanfaatkan oleh masyarakat Baranusa hingga saat ini merupakan bantuan Kesultanan Buton. Oleh karena itu, masyarakat Baranusa menamai sumur itu dengan Wai Butu, air (orang) Buton.

Nihil Sejarah

Usia Kerajaan Baranusa ternyata berumur cukup panjang. Kerajaan kecil ini tetap eksis sampai berdirinya Indonesia modern. Secara turun temurun Raja Boli Tonda dan anak cucunya memerintah Baranusa dengan identitas Islamnya. Selain Raja Boli Tonda, Raja Baranusa yang pertama, Raja Baranusa lainnya terkenal adalah Aku Boli. Ia dinobatkan pada tahun 1848 dan memerintah selama 26 tahun. Aku Boli adalah Raja Baranusa perrtama yang mendapat pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Pemeritahannya berakhir pada tahun 1848. Kemudian anak Aku Boli, yakni Raja Baso Aku mengambil alih kekuasaan hingga tahun tahun 1848 hingga 1874.

Makam Raja Aku Boli. Raja Baranusa yang diakui Belanda. (darso arif)
Makam Raja Aku Boli. Raja Baranusa yang diakui Belanda. (darso arif)

Baranusa adalah jejak sebuah kerajaan kecil. Sedangkan orang-orang Baranusa hari ini hanyalah mereka yang mendiam lima desa dalam sebuah kecamatan. Baranusa hari ini, alamnya seperti umumnya NTT, curah hujan yang kurang dan sumber air yang sedikit. Sebagian masyarakat Baranusa hari ini adalah petani yang memilih berladang sebagai sistem pertanian mereka. Menebang, membakar baru menanam. Begitu pola petani Baranusa berladang. Jika kesuburan tanah mulai berkurang dalam 2-3 tahun, patani akan mencari lahan baru untuk ladang mereka. Dari ladang-ladang orang Baranusa tumbuh kelapa, mangga, nangka, asam, jambu mente dan umbi-umbian.

Baranusa sampai akhir masa raja-raja hanyalah sebuah kerajan kecil. Wilayah kekuasaannya tidak lebih dari sebuah kecamatan. Kerajaan Baranusa tidak memiliki istana atau keraton, sehingga kediaman keturunan rajanya hanyalah sebuah rumah sederhana. Kerajaan Baranusa tidak mewarisi benda pusaka atau harta karun, sehingga jejak kerajaannya hampir punah sudah. Raja-raja Baranusa tidak meninggalkan silsilah orang hebat dan kesombongan feodalisme, sehingga hari ini keturunan Raja Baranusa hayalah ‘orang biasa’ yang hidup sederhana seperti orang kebanyakan. Kerajaan Baranusa juga tidak meninggalkan catatan patriotisme atau romantisme asmara, sehingga nama Baranusa nihil dalam catatan sejarah lokal apalagi nasional. Baranusa hari ini hanya cukup jadi kebanggaan Orang Baranusa sendiri, karenanya mereka menyebut daerah mereka sebagai “Lewo ro Piring Sina, Tanah ro Mako Jawa” (negeri seperti piring Cina, tanah-nya seperti mangkok Jawa). Cukuplah bagi orang-orang Baranusa di manapun mereka berada untuk memelihara Islam di kampung halaman dan hati nurani mereka. (usb/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 3.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Papela, Kec. Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi. Pernah di redaksi Majalah Warnasari (Pos Kota Group) dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization