Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Menghadapi Sekulerisasi Senyap

Menghadapi Sekulerisasi Senyap

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (binapersatuan.com)
Ilustrasi (binapersatuan.com)

dakwatuna.com – Ruangan itu begitu dingin menusuk di waktu malam, sangat gerah di kala siang, pengap dan penuh sesak di setiap waktunya. Tapi hanya jiwa yang tertempalah yang bisa tetap menikmatinya dan bahkan menjadikan ruangan itu untuk berkarya. Di sudut ruangan itulah sesosok alim itu menulis. Suatu hari ia dikeluarkan dari ruangan itu, suatu ketika pula ia kembali dimasukkan. Kejadian itu terus menerus beberapa kali terulang. Hingga pada akhirnya sebuah karya telah selesai di tuliskannya selama ia mendekam dalam ruangan yang tidak mengenakkan itu. Karya yang kelak akan menjadi obat bagi the sickman from europe yang luluh lantah pasca perang dunia I itu, negeri yang sempat kehilangan sentuhan cahaya Islam. Ia dilahirkan di waktu yang tepat, di era kemunduran Dinasti Turki Ustmani yang kelak menjadi negara sekuler. Namun, karyanya setebal enam ribu halaman itu telah membuat benih-benih cahaya Islam kembali tumbuh. Ia tumbuh karena dibaca dan dipelajari oleh generasi-generasi sesudahnya. Generasi yang kelak meneruskan perjuangannya.

“Badiuzzaman Said Nursi, kitab “Risalah Nur”-mu dan pemikiran-pemikiranmu telah melanjutkan perjuanganmu, Erdogan telah membacannya dan ia melakukannya saat ini.”

Keputusan Abdul Hamid II untuk membuat sistem pendidikan ala eropa saat itu telah mengubah paradigma keilmuan kaum pembelajar Turki. Produk-produk sistem pendidikan itulah yang suatu hari kelak menggulingkan kekuasaan Ustmani. Produk sekuler ini tentu bukanlah rencana sultan, ia hanya ingin kejayaan Turki kembali. Namun apa mau dikata, Gerakan kaum muda Turki sekuler yang justru menjadi boomerang.

Peristiwa ini adalah peristiwa termasyur dalam sejarah kemenangan sekulerisme, ia merasuk dengan senyap tanpa disadari ia telah berada di urat leher. Dan.. Sreeek.

Di Indonesia

Kejadian di Turki tentu berbeda dengan di Indonesia. Pergolakan ideologisnya tidak memberikan ruang khusus bagi pengusung sekulerisme. Indonesia, sejak lahir menjadi bangsa yang menghadirkan Tuhan dalam setiap kehidupannya. Meskipun masih dalam koridor kultural dan ruang-ruang publik yang tidak sentimental, tapi kemajemukan dan keragaman menjadikan bangsa ini memilih moderat sebagai ideologi alternatifnya.

Dalam konteks pendidikan, paradigma antara Islam dan sendi-sendi kehidupan adalah produk dari pendidikan itu sendiri. Sekolah-sekolah dan ruang pembelajaran lainnya adalah kunci untuk menghegemoni pemikiran. Upaya mendidik bukan sekedar transfer ilmu, tapi juga sebagai medium dalam membentuk cara berpikir.

Di Indonesia, pendidikan di tingkat dasar dan tinggi memiliki keragaman yang khas dalam bentuk kependidikannya, ada sekolah yang berbasis pesantren, ada yang umum, ada yang semi pesantren semisal Islam terpadu dan tsanawiyah/aliyah. Pun juga dengan pendidikan tinggi berbasis Islam dan umum. Melihat realitas ini, tentu kita akan mendapati fakta-fakta mengenai produk yang akan dihasilkan. Sekolah yang berbasis Islam akan lebih memiliki kekentalan ideologis ketimbang yang berbasis umum, karena sekolah umum hanya membelajarkan Islam lewat pendidikan agama Islam. Realitas inilah yang membedakan antara kondisi pendidikan Indonesia dengan Turki era Mustafa kemal.

Lalu bagaimana dengan kasus Indonesia? Sekuleriasi bersifat senyap. Ia hadir tapi tak disadari – khusus di sekolah umum. Pembelajaran di kelas berjalan ilmiah dan sistematis, guru-guru pandai dalam berteori dan mengelola kelas. Tetapi apa yang terjadi di dalam kelas adalah sebuah ironi. Ketika menyampaikan materi semisal tentang pencipataan alam semesta, penciptaan manusia, atau ketatanegaraan – guru-guru kita saklek dengan teori-teori barat yang ada di buku. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa teori-teori tersebut telah dijelaskan dalam Alquran. Kondisi semacam inilah yang kemudian menghasilkan produk pendidikan yang “kering” ruh ilahiyah, pendidikan justru menjauhkan siswa dari ilah-nya. Keilmiahan yang tidak bergandengan dengan keilahiyahan ini pada akhirnya mengantarkan pada kesesatan dalam memandang ilmu dan agama. Seolah agama adalah anitesa dari ilmu pengetahuan.

Selain persoalan di atas, sekulerisasi senyap ini juga merasuk pada level individu, pendidikan kita belum mampu menjamin individu-individu tersebut untuk berkarakter Islami. Kendati sudah dicanangkan pendidikan karakter oleh pemerintah jauh sabanhari – apalagi saat ini muncul konsep revolusi mental – namun tetap “kering” dalam realisasinya. Arus didikan di sekolah bahkan harus berjibaku menghadapi gencarnya tayangan media yang tidak mendidik. Lambat laun akan membentuk karakter individu yang ditransformasi dari trend media sekuler sekaligus liberal.

Menyikapi kondisi

Dari realitas inilah, dalam Risale-i Nur (Risalah Nur), Said Nursi membingkai gagasan pendidikan Islam untuk menyikapi kondisi semacam ini. Pendidikan Islam, menurut Said Nursi, agar tetap kokoh harus ditopang dengan dua aliran ilmu, yaitu ilmu religius dan ilmu modern. Ia menawarkan pendekatan pendidikan dengan menggabungkan dua sayap keilmuan itu secara integral. Bukan terpisah.

Konsep integralitas antara wahyu dan akal inilah yang diformulasikan untuk memperkuat aspek aqidah dalam diri umat Islam. Kondisi ini mengindikasikan salah satu kelemahan umat Islam saat ini dalam memandang keilmuan (antara ilmu agama dan sains) dan metodologi pendidikan (antara wahyu dan akal).

Realisasi pemikiran ini terletak pada sistem mendidik, tentunya guru adalah pelaku utama. Dalam konsep Islam, Guru adalah Dai. Untuk menjadi penyampai risalah, maka hal utama bagi guru ialah sifat Rabbani. Setelah sifat ini menginternalisasi dalam diri seorang guru, maka tuntutan lainnya yaitu wawasan kelimuan dan keIslaman yang mapan. Formulasi transfer ilmu berbasis agama-sains dan wahyu-akal adalah kunci untuk menghasilkan produk pendidikan yang ideal dengan zaman. sehingga tidak tergoncang oleh gelombang sekulerisasi, matrealistik, hedonistik, dan rasionalistik.

Paradigma ini adalah upaya “Islamisasi ilmu” – meminjam istilah Sayyidi Nuquib – sebagai cara untuk menjadikan Islam hadir dalam ruang-ruang pendidikan kita. Ia hadir menyatu dengan ilmu-ilmu lainnya, Sains dan sebagainya, dengan menjadikan Alquran sebagai rujukan dalam menjelaskan ilmu. Semoga dengan begitu pendidikan kita tidak hanya akan menghasilkan para ahli di bidangnya, namun juga menghasilkan generasi yang Rabbani.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Gubernur Mahasiswa FKIP Unila 2013-2014, Kepala Kebijakan Publik PD KAMMI BandarLampung, tertarik dengan dunia gerakan, kepenulisan, dan pendidikan. Saat ini, selain aktif di organisasi, ia juga aktif sebagai staf pendidik di salah satu sekolah islam terpadu di Bandar Lampung.

Lihat Juga

Benarkah Erdogan Telah Berhasil ‘Menjinakkan’ Militer Turki?

Figure
Organization