Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Posisi Mahasiswa Dalam Sepak Bola: Kiper?

Posisi Mahasiswa Dalam Sepak Bola: Kiper?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Twitter)
Ilustrasi. (Twitter)

Karena mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan…” (Soe Hok Gie)

dakwatuna.com – Belakangan ini, dunia pergerakan mahasiswa sedang dipanaskan oleh tweet dari seorang mantan aktivis kampus, Ridwansyah Yusuf, katanya “ke mana ya para mahasiswa?”. Beliau beranggapan pergerakan mahasiswa zaman sekarang sudah tak tampak, bahkan untuk sekedar mengkritik dan mengingatkan pemimpin bangsa. Mahasiswa secara umum masuk ke zona nyaman, yang berdampak tak peduli sekitar.

Untuk mengikuti isu yang sedang hangat di permukaan, pada hari Selasa, 17 Maret 2015, bertempat di Aula Asrama Rumah Kepemimpinan PPSDMS Nurul Fikri regional 4 Surabaya, 35 orang mahasiswa yang berasal dari kampus ITS dan Unair mengadakan diskusi tentang pergerakan mahasiswa. Diskusi pada malam hari itu mengundang mantan Presiden BEM ITS, Mukhlis Ndoyo Said, dan mantan Presiden BEM Unair, Bintang Gumilang. Tujuannya adalah untuk mengembalikan ruh pergerakan mahasiswa yang rasanya telah masuk ke dalam zona nyaman seperti yang di katakan oleh Ridwansyah Yusuf dalam tweetnya.

Diskusi diawali dengan pengingatan sejarah panjang pergerakan mahasiswa Indonesia oleh Bintang Gumilang. Sejarah mengatakan bahwa awal mula pergerakan Indonesia adalah ketika Organisasi Budi Utomo terbentuk pada tahun 1908, padahal beberapa sejarawan mengatakan kalau pergerakan Indonesia sudah dimulai sejak 1902, di mana ketika itu Sarekat Dagang Islam terbentuk dan menjadi organisasi yang menaungi kepentingan orang-orang pribumi. Kemudian gerakan kemerdekaan terus berkembang, mulai dari Sumpah Pemuda tahun 1928 hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Pasca kemerdekaan kebutuhan Indonesia mulai kompleks, akhirnya bermunculan banyak gerakan-gerakan mahasiswa dalam bentuk organisasi yang secara umum sama-sama memperjuangkan kesejahteraan rakyat, beberapa contohnya adalah HMI, GMNI, PMII, dll. Namun pada periode selanjutnya, yaitu Orde Baru, gerakan mahasiswa mulai surut. Organisasi-organisasi mahasiswa yang dulu banyak bersuara lantang untuk mengingatkan pemerintah dan memperjuangkan kepentingan rakyat mulai dibatasi gerakannya bahkan sampai benar-benar mati akibat kebijakan pemerintah pada waktu itu memberlakukan NKK/BKK. Setelah NKK/BKK diubah menjadi PUOK oleh pemerintahan Orde Baru, gerakan mahasiswa mulai bermunculan lagi sampai pada puncaknya tahun 1998, mahasiswa berperan besar dalam menggulingkan pemerintahan korup Orde Baru.

Pada intinya, Bintang Gumilang menjelaskan bahwa pergerakan mahasiswa mulai tahun 1900 – 1998 sangat terkait dengan urusan sosial & politik, dan urusan sosial & politik sangat dekat dengan urusan kenegaraan. Mahasiswa sebagai kaum intelektual yang  memiliki bekal keilmuan yang cukup memiliki peran penting untuk menentukan arah kebijakan pemerintah Indonesia. Urusan negara ini menjadi tanggung jawab mahasiswa juga sebagai generasi yang nantinya akan menggantikan pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang. Sehingga kita sebagai mahasiswa harus peka terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa kita, merapatkan barisan untuk mengingatkan pemimpin-pemimpin bangsa yang sedang membawa Indonesia kepada jurang kehancuran, bukannya asyik terbahak-bahak menonton secara langsung acara lawak di tv. Pesan dari Bintang Gumilang “teruslah bergerak sampai selesai perjuangan ini..

Memiliki keyakinan bahwa “karena buku yang kita baca, dan tulisan yang kita tulis, maka senantiasa kita akan menjadi orang besar”, Mukhlis Ndoyo Said mengingatkan kita bahwa menjadi mahasiswa harus memiliki keinginan untuk menjadi orang besar. Posisi –posisi pemimpin bangsa ini banyak diisi oleh para mantan mahasiswa. Mereka memiliki pemikiran besar yang diasah sejak masih duduk di bangku kuliah. Disesuaikan dengan basic keilmuan mereka di kampus, maka mimpi-mimpi para pemimpin bangsa sekarang memiliki dasar teori yang kuat dan menjadi sangat mungkin untuk direalisasikan.

Pasca reformasi, Mukhlis Ndoyo S beranggapan banyak gejala-gejala sosial yang terjadi sangat berpengaruh kepada model pergerakan mahasiswa masa kini. Perjuangan mahasiswa bukan lagi menuntut kemerdekaan sebenarnya atau sekuat tenaga menggulingkan pemerintahan yang diktator. Sebagai seorang aktivis yang cerdas, kita harus mampu memanfaatkan gejala-gejala sosial yang terjadi untuk tetap menjadi mahasiswa yang peka terhadap permasalahan bangsanya. Beberapa gejala sosial pasca reformasi yang terjadi antara lain:

Pemerintahan yang terbuka. Tidak seperti Orde Baru, hasil dari tiap kebijakan yang dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini harus diketahui oleh rakyat asal muasal kenapa kebijakan itu diterapkan. Sehingga sekarang ini rakyat Indonesia tahu kapan pemimpinnya mengadakan rapat, bagaimana kondisi jalannya rapat, dan apa hasil dari rapat tersebut.

Informasi yang terbuka melalui media, atau dalam hal ini dapat dikatakan media telah menjadi Guardian Value. Benar salahnya suatu tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, anggota dewan, polisi, atau bahkan anak kecil sekalipun bisa ditentukan dari apa yang dikatakan media. Bisa saja seseorang yang sedang menolong orang kecelakaan, menjadi tersangka publik karena media mengatakan dialah yang bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Atau sebaliknya, koruptor yang sudah jelas-jelas mengambil uang rakyat untuk kepentingan pribadi, bisa menjadi malaikat suci yang tidak memiliki dosa jika media mengatakan demikian. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai mahasiswa bisa memanfaatkan media tersebut. Tak heran jika orang bijak berkata “jika kau ingin menguasai dunia, maka kuasailah media..”. Untuk bisa mengubah nilai-nilai kebiasaan yang padahal tidak benar menjadi kebenaran yang dibiasakan, salah satu caranya adalah mahasiswa harus mampu memiliki hubungan yang baik dengan media, sehingga nilai-nilai yang disampaikan oleh media adalah sebuah kebenaran.

Mahasiswa sudah tidak menjadi aktor gerakan massa, terbukti banyak gerakan-gerakan unjuk rasa yang diinisiasi oleh masyarakat sipil. Contohnya beberapa waktu lalu, ratusan nelayan berdemo menentang kebijakan pemerintah terkait perikanan dan kelautan yang mereka anggap menyusahkan nelayan. Artinya sekarang mahasiswa tidak boleh beranggapan bahwa mereka adalah aktor utama penggerak massa, kita harus memanfaatkan gejala sosial ini untuk dapat berkolaborasi dengan masyarakat dalam mengawal kebijakan pemerintahan.

Jika dahulu arah pembangunan dan pengembangan negara Indonesia hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa, sekarang publik pun banyak berpartisipasi pada pembangunan sosial dan horizontal. Sudah tidak terhitung gerakan-gerakan sosial masyarakat yang berjuang untuk memajukan kehidupan bangsa dari desa-desa. Hal-hal sederhana yang dapat bermanfaat dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sudah banyak macamnya. Karena itu kita sebagai mahasiswa juga harus bergerak secara horizontal, turun langsung untuk merasakan penderitaan rakyat.

Akhirnya dari gejala sosial yang terjadi sekarang, Mukhlis memberikan rekomendasi yang dapat dilakukan oleh mahasiswa sekarang. Kembalilah menulis dan membaca untuk memperkuat idealisme kita sebagai mahasiswa. Analisa akar masalah suatu permasalahan sehingga kita tahu kenapa harus bergerak. Kuasai media sebagai penyeimbang wacana publik. Bergeraklah sesuai dengan rumpun keilmuan kita di kampus, karena itu akan lebih mudah dan indah. Terjun langsung ke masyarakat untuk merasakan penderitaan rakyat. “orang yang hidup untuk diri sendiri akan mati sebagai orang yang kerdil, orang yang hidup untuk orang lain akan mati sebagai orang besar, tinggal kita memilih mati sebagai yang mana?” ujar Mukhlis Ndoyo S.

Kembali kepada bahasan di awal, ke mana mahasiswa sekarang ketika Indonesia di ambang kehancuran karena kebijakan pemerintahnya sendiri. Pertama kali dalam sejarah Rupiah menyentuh angka 13.000 per satu US Dollar, dan pemerintah hanya tenang-tenang saja melihat hal tersebut. Parahnya mahasiswa juga sedang asyik jalan-jalan di mall, membeli produk yang sedang tren. Ibarat permainan sepak bola, gerakan mahasiswa dari dulu hingga sekarang memiliki posisi masing-masing. Mahasiswa tahun 1970an bagaikan seorang striker, mereka mampu menjadi garda terdepan dalam menyerang gawang lawan, terbukti dengan peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) di Jakarta yang pada waktu itu mahasiswa bersama rakyat Indonesia menolak kebijakan pemerintah menerima Jepang sebagai investor otomotive di Indonesia, walaupun pada akhirnya kerja sama tersebut tetap terjalin, namun akibat gerakan mahasiswa pada saat itu, pemerintah sempat menghentikan sementara kerja sama dan membutuhkan waktu lebih lama untuk membicarakannya lagi. Mahasiswa angkatan 1998 layaknya seorang gelandang, walaupun mereka berhasil menggulingkan pemerintahan korup Orde Baru, namun itu tidak dilakukan murni berasal dari mahasiswa. Mereka harus bekerja sama untuk memasukan bola ke gawang dengan banyak pihak yang berkepentingan, contohnya seperti ABRI, tokoh Amien Rais, dan lawan-lawan politik Golkar pada waktu itu. Lalu apakah sekarang ini, mahasiswa generasi tahun 2015 hanya berposisi sebagai kiper yang menunggu datangnya serangan dari lawan?

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa.

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization