Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Proxy War

Proxy War

Ilustrasi. (zamanpress)
Ilustrasi. (zamanpress)

dakwatuna.com –War begin when you will, but they do not end when you please

Niccolo Machiavelli (History of Florence, 1521-1524)

Secara konsep, kedamaian adalah prioritas yang mesti disampaikan oleh seorang muslim kepada semua manusia karena muslim atau islam juga mengandung kata as-silmi dan as-salâm. Karena muslim adalah sumber kedamaian. Ini menjadi kata pertama yang diucapkan sebagai tanda berakhirnya shalat. Menandakan bahwa seorang muslim telah siap menebar as-salâm begitu ia telah menyelesaikan shalatnya. Maka sangat benar jika kemudian Rasulullah menegaskan, “Seorang muslim adalah bila orang muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya”.

Demikian juga mu’min di dalamnya terkandung arti “aman”. Karena spirit seorang mukmin adalah menjaga dan menebar keamanan. Itulah filosofi yang sangat dalam pada doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

Itulah yang dicontohkan Nabi Ibrahim untuk selalu menebar dan mengharapkan keamanan di negeri manapun dipijakkan kaki. Dan iringan doa ini dilengkapi perlindungan diri dan keluarga dari gangguan berhala yang progresif. Berhala yang dipersonifikasikan Alquran seperti manusia yang bergerak “رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ”. Kata (إِنَّهُنَّ) dan (أَضْلَلْنَ) kurang dilazim dipakai untuk kata ganti benda yang tidak bergerak. Di sini dipakai untuk menggantikan kata (إِنَّهاَ) dan (أَضَلَّ).Wallahu a’lam, ini menandakan bahwa keberadaan berhala akan terus terjadi dan berkembang sesuai zamannya. Memang benar, di zaman modern berhala berbentuk patung yang disembah sudah tak seperti dahulu, tapi berhala-berhala dalam bentuk lain makin menjamur di mana-mana. Maka standar keamanan yang diminta Nabi Ibrahim dan seharusnya kita juga memintanya kepada Allah, adalah agar negeri ini benar-benar aman bagi akidah kita dan anak keturunan kita. Agar Allah jauhkan kita dari bersentuhan dengan berbagai macam berhala. Berhala ketergantungan dengan pihak asing, berhala mencintai jabatan, berhala ketundukan pada mafia-mafia hedonis dan matrealis.

Dan bisa jadi dalam merealisasikan keamanan tadi kita “terpaksa” masuk ring dan terlibat dalam pergulatan politik dan pemikiran. Hal yang sama pun dilakukan oleh Bangsa Palestina yang sudah tentu mendamba keamanan di negerinya. Tapi realisasi keamanan tersebut tak bisa secara gratis dinikmati. Karena ada pihak lain juga yang menginginkan keamanan meski dalam dimensi dan sudut pandang lain.

Pada prakteknya, kedzaliman yang dialami bangsa Palestina dari penjajahan dan pendudukan ilegal Zionis Israel, tidak berarti hanya melibatkan dua pihak yang saling kontra ini. Tapi telah meluas dan menjalar ke berbagai wilayah di belahan bumi ini, tergantung pendekatan dan sudut pandang konflik yang terjadi.

Secara ideologis, jelas zona kekerasan di Palestina meluas dan akan melibatkan umat Islam di seluruh dunia, meski sebagian ada yang memungkirinya. Secara emosional kebangsaan, Orang-orang Arab juga melihat kasus ini bentuk penistaan pada suku bangsa mereka, meskipun –sekali lagi- pendekatan bangsa-bangsa Arab juga tidak sama. Dan yang lebih luas, dengan pendekatan humanisme maka akan memposisikan masalah ini sebagai masalah pembebasan bangsa Palestina dari segala bentuk penindasan dan kedzaliman serta penjajahan Zionis Israel.

Zona peperangan yang luas ini menyebabkan banyak pihak yang terlibat. Kondisi ini mengingatkan kita pada suasana mencekam perang dingin yang terjadi pasca perang dunia kesatu dan kedua. Perang dingin antara kubu Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Dunia berada pada posisi aman yang semu, dingin seolah tak terjadi apa-apa padahal bagai sekam yang membara tapi terpendam di dalam. Kedua kubu berlomba melakukan perang dengan strategi lain. Yaitu dengan mengembangkan nuklir yang dirasa lebih efisien, karena selain lebih memberikan efek teror, bagian kecil nuklir juga lebih efisien daripada sejumlah besar senjata konvensional. Efek teror ini memicu kedua negara superpower  di atas – AS dan Soviet – untuk sama-sama mengembangkan nuklir. Balance of Power yang diciptakan oleh Perang Dingin bergeser menjadi Balance of Terror yang didukung oleh perlombaan senjata.

Perlombaan senjata inilah yang merupakan strategi deterrence yang digunakan kedua negara. AS berusaha meningkatkan senjata yang dimiliki karena percaya hal ini dapat menghindarkan keinginan dan kemampuan lawan untuk menyerang AS. Menurut Alexander L. George dan Richard Smoke, deterrence dapat diartikan sebagai serangkaian persuasi yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pihak kedua untuk agar pihak pertama melakukan keinginan pihak kedua. Ini yang pernah kita bahas pada tulisan sebelumnya (PSY WAR). Bahwa kepentingan menunjukkan kekuatan menyerang merupakan salah satu pertahanan terbaik.

Ketegangan perang dingin ini diwarnai dengan Proxy War. Kedua belah pihak yang bertikai menggunakan pihak ketiga sebagai wilayah pertempuran. Dan bentuk-bentuk proxy war ini juga berkembang, tidak lagi menggunakan senjata konvensional, tidak juga selalu menggunakan kekuatan militer. Namun, sudah berkembang masuk ke berbagai sektor lain, utamanya ekonomi dan politik serta keamanan.

Maka kedzaliman yang dialami Bangsa Palestina pada dasarnya secara internal berbasis ideologi. Maka, sejatinya instrumen militer yang dimiliki Zionis Israel hanya satu dari sekian instruman perang yang dilancarkan. Selebihnya, mereka menempuh jalur propaganda melalui lobi-lobi di tingkat internasional atau bahkan masuk ke wilayah negara-negara maju dan adidaya, Amerika Serikat di antaranya.

Maka dalam konteks proxy war yang terjadi, sebenarnya siapa memanfaatkan siapa?

Dan sudah menjadi maklum jika selama ini AS selalu berada di belakang Israel. Keputusan apapun di tingkat intrenasional selalu di tentang dengan veto AS.

Teori perang yang dilakukan Israel kira-kira alurnya seperti ini

  1. Untuk kontak fisik (senjata) dilakukan di luar wilayah pendudukan mereka. Dan sejauh ini, Gaza yang menjadi “korban”nya.
  2. Secara ideologis mereka lebih memusatkan pertempuran sesungguhnya di al-Quds (Jerussalem), terutama di wilayah Masjid al-Aqsha. Karena, Israel tanpa Jerussalem dan masjid al-Aqsha takkan berarti apa-apa.
  3. Propaganda besar-besaran sudah dirancang matang dan sebagian sudah dieksekusi, sebagai contoh Doktrin Solomon Temple yang setiap saat dipropagandakan secara masif dan persuasif, yang diikuti perampasan asset fisik berupa tanah atau perusakan fisik situs-situs yang terdapat di wilayah Masjid al-Aqsha.
  4. Perang jauh “proxy war” juga dilakukan oleh Zionis Israel. Wilayahnya adalah jantung negara superpower saat ini, Amerika Serikat. Mereka menyadari, keputusan apapun dari Gedung Putih adalah penaklukan terhadap dunia tanpa ada yang berkutik untuk berani mencoba melawannya.
  5. Dan kebijakan AS sendiri terpengaruh pola pikir “pengecut” sehingga mereka menyebar kekuatan militer ke banyak wilayah di penjuru bumi ini. Karena mereka juga melakukan politik perang yang sama, menjadikan tempat lain yang jauh dari jantung kekuasaan sebagai tempat perang. Jika AS sebagai ladang proxy warkasus Palestina. Maka AS mengambil tempat di Afghanistan, Pakistan dan Iraq. Sebagai sampel wilayah-wilayah bergolak secara fisik tentara-tentara AS terlibat kontak senjata di tempat-tempat tersebut. Sementara di wilayah damai yang berpotensi, hitunglah pangkalan-pangkalan militer AS yang tersebar! Hitung pula pengaruh-pengaruh hegemomi kapitalis oleh serangan ekonomi ke berbagai wilayah di dunia!

Terlalu rumit membicarakan kezhaliman dan dehumanisasi yang terjadi di Palestina. Karena Israel telah memasang perangkap dan menyebarkan jaringan ke banyak pihak untuk ditarik dalam konflik yang diciptakan untuk memberi kesan bahwa ini adalah konflik setara antara dua pihak, Palestina dan Israel. Tanpa ada propaganda siapa yang dijajah dan siapa menjajah. Siapa yang mendzalimi dan didzalimi? Siapa yang melakukan kekerasan dan siapa korbannya.

Sedang AS yang menjadi salah satu wilayah perang jauh ini, saat ini juga memasang perangkap global dengan framing anti terorisme dengan alasan keamanan (security reason). Perang melawan terorisme (War on Terrorism) dilakukan AS dengan berbagai cara, termasuk Pre-Emptive Strike. Yaitu dengan menyerang pihak yang dicurigai mampu mengancam keamanan negaranya dengan terlebih dahulu menyerang negara tersebut, sebelum negara tersebut mampu mencapai wilayah mereka.

Dalam buku World PoliticsPre-emptive Strike disebut juga sebagaiPre-emptive War dalam konteks Perang Dingin. Pre-emptive Warmerupakan “a quick first-strike attack that seeks to defeat an adversary before it can organize a retaliatory response” (sebuah serangan [serangan cepat] yang bertujuan untuk mengalahkan musuh sebelum dapat mereka mengatur/menyiapkan respon balasan). Salah satu bentuk Pre-emptive War yang dilakukan AS hingga kini ialah upaya mereka untuk memerangi Taliban dan al-Qaida yang mereka anggap berpotensi untuk mengancam keamanan nasional (national security) mereka.

Dengan propaganda besar ini AS berhasil mempopularkan global warmelawan terorisme. Sayangnya framing terorisme ini berhasil memerangkap sejumlah besar bangsa-bangsa di dunia sehingga rasa takut dan cemas berhasil disebar ke seluruh wilayah di berbagai penjuru dunia. Dan saat isu terorisme di angkat maka dengan sendirinya umat Islam berada pada list nomer satu. Karena memang demikian dipersepsikan secara global. Dan secara prioritas penghuni nomer satu dari list tersebut adalah mereka yang melakukan perlawanan terhadap kedzhaliman sekalipun.

Itulah tafsiran lain doa Nabi Ibrahim versi global war AS yang mempropagandakan antiterorisme dengan alasan national securitykemudian international security. Maka bagi kita umat Islam di Indonesia, tafsiran doa Nabi Ibrahim di atas adalah dengan menjaga keutuhan bangsa dalam frame NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), menjauhkan dari berhala-berhala progresif yang memaksa kita tunduk pada mereka. Termasuk di antaranya latah dalam memerangi terorisme.

Jangan pernah mau wilayah kita dijadikan ladang pertempuran dan percobaan strategi proxy war. Saatnya kurangi segala bentuk ketergantungan dengan kekuatan dan kepentingan pihak asing untuk menguatkan ketahanan nasional, membangun kembali kewibawaan dan prestasi. Saatnya menguatkan barisan internal dengan mengurangi ketegangan yang timbul akibat mengerucutnya berbagai perbedaan pendapat.

Dan karena perang itu sudah benar-benar mulai saat Anda baru menginginkan atau akan melakukannya. Tapi lawan takkan pernah berpikir mengakhirinya meski Anda memohonnya, sampai Anda benar-benar tunduk dan takluk pada semua keinginannya. Seperti tutur Machiavelli di awal tulisan ini.

Sebagai bangsa berdaulat, juga sebagai umat Islam, kita tidak dianjurkan untuk mencari musuh atau bermusuhan dengan siapapun. Karena kedamaian dan keamanan adalah dua hal yang dilakukan pertama kali setelah seorang muslim shalat. Ia melesat ke berbagai penjuru bumi untuk tebar rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn).

Namun, seorang mukmin juga bukan seorang pengecut. Maka jika dalam kondisi tertentu terpaksa lawan melakukan serangan dan mempropagandakan perang, tak pantas untuk melarikan diri atau mundur sejengkal pun.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”. (QS. Al-Anfal: 15)

Maka, saatnya kuatkan pilar-pilar soliditas internal untuk kuatkan ketahanan sebagai basic menyiptakan keamanan nasional dan regional serta internasional: tsabat (teguh), perbanyak zikir, taat pada Allah dan Rasul-Nya, mengurangi dan meminimalisir pertikaian dan berbantahan dengan sesame saudara, serta selalu bersabar dalam kondisi apapun.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfal: 45-46)

HasbunalLâhu wa ni’ma al-wakîl.

 

 

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Ketua PPMI Mesir, 2002-2003. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya Islam MUI Pusat (2011-Sekarang). Ketua Asia Pacific Community for Palestine, di Jakarta (2011-Sekarang). Dosen Sekolah Tinggi I�dad Muallimin An-Nuaimy, Jakarta (2011-Sekarang), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) (2013-Sekarang), Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta (2011-2013)

Lihat Juga

Iran Sebut 50 Ribu Pasukan AS Berada dalam Jangkauan Serangnya

Figure
Organization