Konsepsi Pendukung dalam Syiah; Dari Klasik hingga Kontemporer (Bagian ke-1)

Ilustrasi. (inet)

1. Konsepsi Syiah Tentang Alquran

Pendahuluan

dakwatuna.com – Dua hal yang selalu terkait erat dengan Nusush Islamiyyah (Teks-teks Islam; Alquran dan as-Sunnah) adalah, pertama: masalah Tsubūt (Otentisitas-Validitas Transmisi), dan kedua Dilālah (makna, signifikansi, pemahaman).

Seluruh umat Islam secara aklamasi mempercayai bahwa Alquran dan Hadis mutawatir memiliki kedudukan qath’i as-Tsubūt (pasti), namun dilālahnya sebagian qath’i dan sebagian besar lainnya dzanni (tidak pasti). Adapun Hadis ahad seluruhnya berkedudukan dzanni ats-tsubūt. Namun dalam sisi dilālah sebagian qath’i dan sebagian lain dzanni.

Dalam hal tsubut, mayoritas umat Islam sebagaimana diakui pula oleh al-Mufid[1], sangat berseberangan dengan haluan ekstrim dari kalangan Syiah khususnya Syiah Dua Belas Imam, dan dengan haluan sekuler kiri ekstrim semisal Nasr Hamid Abu Zayd, yang dalam kajiannya: “Mafhūm al-Nash; Dirāsah fī Ulūm Alquran” –sebagaimana dibuktikan oleh pengkritiknya- Nasr menganggap kedudukan Alquran sebagai muntaj tsaqāfi (produk budaya manusia)[2].

Sedangkan dalam hal dilālah (signifikansi, makna dan pemahaman), mayoritas umat Islam berbenturan secara radikal dengan haluan al-bāthiniyah al-ghanūsiah (gnostik), pendukung aliran tafsir hermeneutika, penafsiran melalui pelacakan akar kata (filologi), kajian sosial, sosiologi, antropologi, dan perkembangan sejarah melalui pendekatan dialektika materialisme-historis sebagai satu-satunya perangkat penafsiran. Semua aliran ini menolak secara total kaidah-kaidah penafsiran yang telah diletakkan oleh para mufassir (ahli tafsir) terdahulu.

Berbicara tentang studi Alquran dalam wacana pemikiran Syiah Dua Belas Imam, seperti yang telah kita singgung di muka, secara sepontanitas mengarahkan perhatian kita kepada permasalahan otentisitas (validitas transmisi) Alquran itu sendiri, karena dalam perspektif Syiah Dua Belas Imam masalah ini merupakan masalah prinsipil yang hingga kini masih belum tuntas; dimana polemik antara haluan ekstrim dan moderat dalam tubuh Syiah sendiri belum kunjung usai.

Sebagian besar fuqaha Syiah Dua Belas Imam kontemporer yang terkemuka sering kali mengklaim bahwa isu tentang gugatan atas keotentikan Alquran yang sering dimunculkan saat ini lebih cenderung mengada-ada dan hanya merupakan upaya memojokkan Syiah tanpa landasan ilmiah yang matang. Dengan maktab mereka menyatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh beberapa ulama Syiah tentang adanya tahrīf Alquran (perubahan dalam Alquran), hanyalah merupakan riwayat-riwayat yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran sama sekali. Toh, nyatanya riwayat-riwayat semisal itu (tentang perubahan Alquran ini) banyak diriwayatkan pula oleh ulama’ Ahli Sunnah[3]. Namun demikian jawaban-jawaban seperti ini, tidak lebih dari upaya simplifikasi (penyederhanaan) masalah, karena wacana ini telah diangkat oleh para ulama’ Syiah Dua Belas Imam terkemuka semenjak awal kodifikasi Hadis dalam versi mereka, yaitu masa al-Kulayni dalam “al-Kāfi”-nya (satu dari empat buku Hadis Syiah Dua Belas Imam yang paling otentik, setaraf Shahih Bukhari di antara kutub al-sittah (enam buku referensi Hadis) dalam referensi Ahli Sunnah). Bahkan, sebelum itu guru al-Kulayni sendiri yaitu ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi (wafat 285 H), dan sebelumnya lagi Salim bin Qoys yang wafat tahun 90 H, melalui kitabnya Kitāb Salīm ibn Qays telah melontarkan wacana ini walaupun baru berupa isyarat.

Untuk itu pembahasan tentang otentisitas Alquran ini merupakan tema kajian sentral dalam literatur ilmu-ilmu Alquran versi Syiah Dua Belas Imam seperti yang akan kita bahas dalam uraian berikut.

  1. Latar Belakang Mencuatnya Wacana Ini

Tapi pertanyaan yang dengan sendirinya mengemuka adalah mengapa wacana yang lebih dekat dengan “Penggugatan atas keotentikan al-Quran” ini bisa muncul setelah umat Islam secara aklamasi atau konsensus (ijma’) meyakini bahwa Alquran yang telah dikumpulkan dalam mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar lalu disatukan bacaannya oleh Khalifah Utsman bin Affan adalah Alquran yang benar-benar otentik serta dapat menyatukan umat yang pada awalnya dikhwatirkan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam?

Tidak terlalu mudah memang melacak jawaban dari permasalahan ini. Namun, jika kita menemukan anak kunci yang menjadi rahasia terbukanya pintu dalam memahami  Syiah Dua Belas Imam yaitu masalah “Imamah” tepatnya “Keyakinan bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk dengan tegas Imam Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau melalui teks dan wasiat, lalu Imam Ali mewasiatkannya kepada putranya secara berturut-turut hingga 12 Imam”, maka wacana “perubahan al-Qu”an” inipun bisa dipastikan erat kaitannya dengan upaya untuk memperkuat basis ideologi “Imamah” ini.

Jelasnya, setelah ideologi Imamah ini telah eksis, ulama’ Syiah Dua Belas Imam tidak memiliki dukungan kuat dari ayat-ayat al-Quran, dukungan terkuat justru datang dari Hadis dan yang terkuat dari Hadis-Hadis yang ada adalah Hadis tentang “Ghadir Khum”[4]. Namun demikian sumber-sumber argumentasi ini tidak dianggap cukup, karena betapapun kuatnya Hadis tetap saja tidak cukup kokoh untuk mendukung sebuah prinsip-prinsip akidah yang sangat agung seperti Imamah ini, yang menurut mereka merupakan salah satu rukun Iman. Demikian pula dengan pengggunaan takwil dari beberapa ayat Alquran dalam hal ini masih dianggap kurang cukup kuat untuk maksud tersebut.

Dari sini dan karena dorongan inilah Syiah Dua Belas Imam mengatakan bahwa sebenarnya banyak ayat yang secara jelas dan tegas menyebutkan dan menguraikan kemestian Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Saw tanpa jeda waktu, dengan menyebut nama Imam Ali secara langsung dan bukan melalui isyarat atau melalui penyebutan sifat. Masalahnya, ayat yang lebih dikenal dengan sebutan ayat “al-Wilayah” dan ayat-ayat lainnya yang cukup banyak, menurut mereka, sengaja dihapuskan oleh lawan politik Syiah Dua Belas Imam (Ahli Sunnah) untuk menghapuskan jejak adanya hak Imam Ali sebagai khalifah, sekaligus dijadikan momen untuk menjastifikasi kebenaran aliran politiknya. Dari sinilah muncul isu yang penulis sebut sebagai “Gugatan atas otentisitas  al-Quran” atau sering disebut dengan istilah tahrīf al-Quran.

Asumsi ini, juga asumsi tentang konsep Imamah dalam artian nash dan wasiat sebagaimana didukung kuat oleh Dr. Musa al-Musawi[5] mengkristal pada masa yang ia istilahkan dengan fase pergumulan pertama antara Syiah dan Tasayyu’ yang disebut dengan masa al-Ghaibah al-Kubrā. Karena pada masa ini gerakan tasayyu’ memposisikan diri sebagai gerakan oposisi yang berusaha menumbangkan khilafah Bani Umawiyah. Olehnya dibutuhkan basis ideologi untuk memperkuat posisi mereka[6].

  1. Wacana Tahrīf Alquran dalam Tren Klasik

Tapi pertanyaan yang kemudian muncul setelah ini adalah, benarkah wacana penggugatan atas otentisitas Alquran dalam perspektif Syiah Dua Belas Imam benar-benar ada, atau hanya diada-adakan untuk maksud penyudutan? Sekalipun benar-benar ada, bukankah argumentasi yang dijadikan sandaran hanyalah berupa Hadis-Hadis lemah (ahādis dhaīfah) atau aneh (ahādis syādzah) yang tidak layak untuk dijadikan sandaran sebuah hukum, apalagi sebuah prinsip akidah, seperti yang diklaim oleh sebagian ulama-ulama’ ternama Syiah Dua Belas Imam kontemporer? Artinya, walaupun riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Alquran telah mengalami perubahan ada dalam literatur ulama’ Syiah Dua Belas Imam, namun demikian riwayat-riwayat tersebut merupakan riwayat yang lemah yang tidak bisa dijadikan landasan atau argumentasi bagi sebuah pernyataan, sehingga tidakkah dapat disimpulkan bahwa wacana Tahrīf Alquran ini sama dengan tidak ada atau tidak berarti apa-apa?

Masalah-masalah inilah yang akan kita jadikan fokus pembahasan dalam tulisan ini.

Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa wacana otentisitas Alquran dalam wacana pemikiran Syiah Dua Belas Imam telah bergulir sejak lama, sejak Salim bin Qoys yang meninggal pada tahun 90 H. Jauh sebelum lahirnya al-Kulayni yang meninggal pada abad keempat, tepatnya pada tahun 329 H.  Dalam hal ini Salim meriwayatkan:

Bahwa setelah wafatnya Rasulullah Saw, Imam Ali menyendiri di rumahnya untuk mengumpulkan Alquran. Ayat-ayat yang dikumpulkannya mencapai 18.000 ayat, yang mencakup di dalamnya: al-Muhkam, al-mutasyabih, al-nasikh dan al-mansukh. Lalu Alquran yang telah dikumpulkan tersebut dibawa oleh Imam Ali ke Masjid Nabawi pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, namun para Sahabat terutama Umar bin Khattab menolaknya dengan alasan bahwa Alquran yang telah dikumpulkan oleh Zayd bin Tsabits sudah cukup[7].

Walau apa yang dikumpulkan oleh Imam Ali pasca-Saqīfah (suksesi sepeninggal Rasulullah Saw) memuat cakupan-cakupan yang luas seperti tertulis di atas, hanya saja angka sebesar 18.000 merupakan angka sepektakuler yang mengesankan terjadinya pengurangan terhadap Alquran yang ada saat ini. Di samping itu riwayat tentang penolakan Umar bin Khattab terhadap al-Quran yang telah dikumpulkan oleh Imam Ali, mengesankan seolah apa yang telah dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit belum cukup sempurna, karena belum memuat seluruh apa yang dimuat dalam al-Quran Imam Ali.

Setelah Salim bin Qoys –pada masa yang oleh Ihsan Ilahi Zhahir[8] diistilakan dengan gelombang pertama- dukungan terhadap gugutan atas keotentikan Alquran diteruskan oleh Ali Ibrahim al-Qummi -guru al-Kulayni- (wafat 285 H), lalu oleh muridnya al-Kulayni (wafat 329 H).

Al-Kulayni meriwayatkan sebuah Hadis dalam bukunya “al-Kāfī” bab “al-Nawādzir” dan bab yang secara bombastis menunjukkan dukungannya secara pasti terhadap kebenaran ide perubahan Alquran ini yaitu bab “annahu lā yajma’ Alquran illā al-Aimmah”.

Salah satu riwayat yang dinukil oleh al-Kulayni adalah riwayat Hisyam ibn Salim dari Abu Abdillah Ja’far al-Shadiq sebagai berikut:

“Bahwa Alquran yang diturunkan Allah melewati Malaikat Jibril As kepada Muhammad Saw adalah sebanyak 17.000 ayat”[9].

Itu artinya jika jumlah ayat-ayat Alquran yang ada sekarang berjumlah kurang lebih 6.236 ayat, ini berarti bahwa menurut tokoh Syiah ini telah terjadi pengurangan ayat-ayat Alquran kurang lebih sebanyak 8.764 ayat.

Setelah gelombang pertama ini, muncul gerakan reformasi yang mencoba menghadang gerakang pertama (Gerakan Tahrif). Gerakan reformasi ini dimotori oleh empat tokoh terkemuka Syiah Dua Belas Imam. Mereka adalah: Muhammad ibn Babaweih al-Qummi yang lebih dikenal dengan sebutan as-Shaduq, wafat tahun 381 H. Dalam rangka mendukung ide reformasinya ia mengatakan:

Kepercayaan kami dalam masalah Alquran adalah bahwa apa yang termaktub antara dua kulit (sampul) kitab adalah seperti Alquran yang kini ada di tangan umat Islam, tidak lebih dari itu; dimana keseluruhan suratnya berjumlah 114 Surat. Hanya saja menurut kami, Surat al-Dluha dan Surat al-insyirah merupakan satu Surat. Maka barangsiapa menisbatkan kepada kami bahwa kami mengatakan lebih dari itu, ketahuilah bahwa ia termasuk golongan para pembohong[10]

Gerakan reformasi kemudian dilanjutkan oleh as-Sayyid Syarif al-Murtadla, wafat tahun 436 H. Menurutnya:

Alquran merupakan mukjizat kenabian dan sumber ilmu-ilmu syari’ah serta hukum-hukum agama. Para ulama’ telah banyak mencurahkan perhatian yang cukup besar terhadap pemeliharaannya, sehingga mereka mengetahui segala macam perbedaan sekecil-kecilnya yang berkenaan dengan i’rabqirāat, huruf beserta ayat-ayatnya. Maka bagaimana mungkin Alquran yang mendapatkan perhatian seperti itu bisa berubah atau terkurangi? Sesungguhnya Alquran yang telah terkumpul pada masa Rasulullah Saw adalah apa yang terkumpul sekarang ini[11].

At-Thusi[12] yang wafat pada tahun 460 H kemudian mengambil bendera estafeta reformasi ini. Dalam at-Thibyan fī Tafsir Alquran ia menegaskan ide reformasinya sebagai berikut:

Adapun perdebatan mengenai penambahan atau pengurangan al-Quran, merupakan perdebatan yang tidak layak untuk diangkat karena wacana penambahan terhadap al-Quran telah disepakati kebatilannya, demikian pula dengan pengurangan. Nampaknya mayoritas umat Islampun sependapat dengan ide ini. Pendapat inilah yang sesungguhnya lebih dekat kepada kebenaran dari sudut pandang madzhab kita. Memang banyak riwayat tentang adanya pengurangan di dalam al-Quran, namun kedudukan riwayat-riwayat ini hanya berupa Hadis ahad, yang tidak harus diterima secara teori maupun praktik. Olehnya riwayat-riwayat seperti ini, lebih baik kita tinggalkan, toh memungkinkan bagi kita untuk mentakwilkannya agar sesuai dengan riwayat-riwayat lain yang memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada Alquran yang ada sekarang ini …[13].

Lalu terakhir, gerakan reformasi ini dilanjutkan oleh Abu Ali al-Fadhl ibn Hasan at-Thabarsi[14], wafat tahun 548 H. Dalam hal ini ia menegaskan:

Tentang wacana penambahan Alquran, seluruh ulama’ telah sepakat atas kekeliruan pendapat ini. Adapun tentang pengurangan, sejumlah ulama’ kita dan kelompok tekstual (ikhbāriyyun), berpendapat bahwa telah terjadi perubahan dan pengurangan dalam al-Quran. Padahal, yang benar menurut pendapat madzhab kita adalah yang sebaliknya, dan pendapat inilah yang didukung oleh al-Murtadla dalam bukunya “Jawāb al-masāil al-Tharablisiyyah.

Namun setelah itu gerakan tahrīf kembali mengemuka ke pentas yang dimotori oleh al-Kasyani. Dalam tafsir as-Shāfi-nya ia menjelaskan:

Hal yang dapat kami simpulkan dari riwayat-riwayat Ahlu Bait yang jumlahnya cukup banyak adalah bahwa Alquran yang ada sekarang ini tidak lengkap sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad Saw, karena sebagaian isinya ada yang bertentangan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, sebagian ada yang telah diubah, bahkan sebagian besarnya telah dihapus yaitu –antara lain- lafadz Ali di berbagai tempat, lafadz Alu Muhammad yang semestinya tertulis berulang-kali, serta nama-nama para munafiq yang semestinya diletakkan pada tempatnya dan masih banyak lagi yang lainnya. Di samping itu susunan yang ada juga sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya”[15].

Gerakan tahrīf ini kemudian diikuti oleh al-Bahrani[16] yang secara tegas membuat sebuah bab khusus dalam bukunya “al-Burhān fī tafsir al-Quran”, yaitu bab: Anna Alquran lam Yajma’hu kamā Unzila illā al-Aimmah[17]. Dari judul bab yang ia buat ini dapat disimpulkan dengan mudah bahwa al-Bahrani merupakan pendukung kuat wacana Tahrīf Alquran.

Secara lebih tegas, lebih transparan dan provokatif wacana Tahrīf ini setelah itu diwacanakan oleh ulama’ Syiah yang dikenal berhaluan ekstrim yaitu Sayyed Ni’matullah al-Jazairi[18]. Menurutnya, Alquran yang asli yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saat ini tengah dibawa oleh Imam Mahdi (imam ke dua belas) dan pada masa turunnya sang Imam ke bumi nanti akan membawa Alquran yang asli, untuk menggantikan Alquran yang ada saat ini.

Masih menurutnya, telah diriwayatkan di dalam beberapa Hadis bahwa para Imam As. memerintahkan para pengikutnya agar membaca Alquran yang ada saat ini guna  mengerjakan shalat atau ibadah lainnya serta melaksanakan hukum-hukum yang ada di dalamnya, hingga masa munculnya Imam Mahdi (Shāhib az-Zamān). Setelah itu Beliau akan mengangkat semua Alquran yang beredar di tangan manusia ke langit serta mengeluarkan Alquran yang telah dikumpulkan oleh Amir al-Mukminin. Pada saat itu Alquran ini akan dibaca dan diterapkan seluruh hukum-hukumnya[19].

Wacana tahrīf ini terus bergulir terutama di tangan ulama’ Syiah berhaluan paling ekstrim Muhamamd Baqir al-Majlisi. Dalam kitabnya “Bihār al-Anwār al-Jāmi’ li Durari Akhbār al-Aimmati al-Athhār” ia menulis bab khusus yang juga sangat provokatif yaitu “Bab Ta’lif Alquran wa annahu ‘alā Ghairi mā anzalallāh Azza wa Jalla”.

Lalu bola wacana ini selanjutnya digelindingkan oleh Ahmad ibn Ali Thalib at-Thabarsi dalam bukunya “‘al-Ihtijāj” begitu juga al-Mufid dalam bukunya “Awāil Maqālāt”.

Menurut Taqi an-Nuri Thabarsi, masih banyak nama-nama ulama Syiah ternama yang turut mendukung wacana ini, di antaranya adalah as-Sayyid Muhsin al-Kadzimi dalam bukunya “Syarh al-Wāfiyah”, Muhammad bin al-Hasan as-Shaffar dalam bukunya “Bashāir ad-Darajāt”, Muhammad bin Ibrahim an-Nukmani pengarang buku “al-Ghaibah” dalam buku tafsirnya “as-Shaghir”, Sa’ad bin Abdullah al-Qummi dalam bukunya “Nāsikh Alquran wa mansūkhuhu”, as-Sayyid Ali bin Ahmad al-Kufi dalam bukunya “al-Bida’u al-Muhdatsah”, Muhammad bin Masud al-Ayasyi, Furat bin Ibrahim al-Kufi, Muhammad bin al-Abbas al-Mahiyar, juga Muhammad bin Muhammad a-Nukman (al-Mufid) dalam “al-Masāil as-Suruwiyah” dan bukunya “al-Maqālāt”. Termasuk pendukung wacana ini juga Fadl bin Syadzan dalam bukunya “al-Īdhāh”, demikian pula Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani pengarang buku “Tafsir Nahju al-Bayān ‘an Kasyfi ma’āni Alquran”, Muhammad bin Kholid penulis buku “Kitab at-Tanzil min Alquran wa at-Tahrīf”, Muhammad bin al-Hasan as-Shairafi dalam bukunya “at-Tahrīf wa at-Tabdīl”, Hasan bin Sulaiman al-Hilly dalam “Mukhtashar al-Bashāir” yang dinamakan “At-tanzīl wa at-tahrīf”. Demikian pula Muhammad bin al-Abbas al-Mahiyar, al-Fadhil Yahya, dalam bukunya “al-Imamah”, Abu al-Hasan as-Syarif pengarang kitab “al-Jawāhir” dalam tafsirnya “Mirāt al-Anwār”[20].

Dari paparan di atas tidak mengherankan jika al-Mufid berkesimpulan bahwa Hadis-Hadis yang berkenaan dengan masalah tahrīf Alquran berjumlah sangat banyak sekali, sehingga mereka menyimpulkan bahwa masalah tahrīf ini sudah menjadi kesepakatan para ulama’ Syiah Dua Belas Imam. Dalam hal ini ia menjelaskan:

Sesungguhnya informasi (Hadis) yang datang dari para Imam melalui jalur Ahli Bait berkaitan dengan perbedaan Alquran dan perubahan yang telah dilakukan sebagian orang-orang dzalim baik berupa pengurangan ataupun penambahan telah ada dalam jumlah yang cukup banyak. Telah ada kesepakatan di kalangan Syiah Dua Belas Imam bahwa para pemimpin sesat telah mengubah Alquran dari apa yang sebenarnya diturunkan oleh Allah, serta apa yang telah digariskan oleh Sunnah baginda Nabi Muhammad Saw. Sementara Muktazilah dan Khawarij serta Zaidiyah dan para Ahli Hadis tidak sepakat dengan pendapat Syiah Dua Belas ini”[21]

Sementara al-Majlisi yang memang terkenal berhaluan ekstrim –sebagaimana telah disebut di muka- malah beranggapan bahwa riwayat-riwayat mengenai tahrīf ini telah mencapai derajat mutawatir. Menurutnya, penolakan terhadap riwayat dalam bab ini bisa berakibat runtuhnya landasan legalitas riwayat secara menyeluruh. Dalam hal ini ia menjelaskan:

Menurut saya, riwayat-riwayat yang berkenaan dengan bab ini (tahrīf al-Quran) berkedudukan mutawatir secara makna. Sementara pengurangan terhadap keseluruhan (riwayat-riwayat yang berkenaan dengan bab ini) mengakibatkan hilangnya legalitas keseluruhan riwayat sebagai sandaran (hukum) …[22].

Pendapat serupa juga disuarakan oleh Muhammad Shaleh al-Mazandarani. Dalam bukunya “Syarh Jāmi’ al-Kāfī” ia berpendapat bahwa:

Masalah pengurangan dan perubahan sebagian isi Alquran telah diriwayatkan melalui jalur kita secara otentik, sebagaimana yang dapat dilihat dan disimpulkan oleh mereka yang meneliti buku-buku Hadis dari awal hingga akhir.[23]

Dengan ungkapan yang lebih transparan dan vulgar Hisyam al-Bahrani dalam Muqaddimah “al-Burhān fī Tafsīr al-Quran” menegaskan bahwa wacana tahrīf Alquran ini telah menjadi aksioma dalam pemikiran Syiah Dua Belas Imam:

Menurut hemat saya: Jelasnya kebenaran pendapat ini, tentunya setelah meneliti seluruh riwayat dan atsar, dapat disimpulakan bahwa masalah perubahan Alquran ini merupakan aksiomatika madzhab Syiah Dua Belas Imam, dan ini merupakan argumentasi (bukti) terbesar dari ketidaksahan (kebatilan) perampasan khilafah.[24].

Setelah menelurusi pendapat para ulama’ Syi’ah di atas, pertanyaannya: Bagaimana dengan pendapat keempat ulama ternama Syiah Dua Belas Imam yang berseberangan dengan mayoritas pendapat mereka? Dapatkah kita nyatakan bahwa taqiyyah merupakan rahasia di balik pendapat mereka yang berseberangan dengan mayoritas tersebut sebagaimana diungkap oleh Ihsan Ilahi Dzahir?. Sebab al-Babawe al-Qummi yang telah menafikan adanya tahrīf dalam bukunya I’tiqādāt-nya ternyata mendukung wacana tahrīf ini juga dalam buku lainnya yaitu “Tsawāb al-Amal”?

Dr. Al-Qoffari menolak tesa ini, karena menurutnya buku Tsawāb al-A’mal tidak secara langsung diriwayatkan oleh as-Shaduq akan tetapi melewati perantara, sehingga dimungkinkan adanya infiltrasi (penyelundupan) ide ke dalam buku ini.

Demikian pula dengan Thusi. Sebagaimana diriwayatkan oleh sebagian buku tarajim, ia dinyatakan turut mendukung ide tahrīf di atas. Nuri Thabarsi, pengarang buku “Fashlu al-Khitāb fī Tahrīf Kitāb Rabb al-Arbāb” yang sangat menghebohkan itu juga menyatakan bahwa tulisan Thusi seringkali menggunakan trik-trik al-mudārāt dan al-mumāsyāt[25] dalam rangka menghadapi lawan polemiknya. Akan tetapi Dr. Al-Qoffari sekali lagi menolak prediksi—prediksi di atas. Sebab, menurutnya, setelah Thusi mengetengahkan riwayat-riwayat di atas langsung menjelaskan bahwa riwayat-riwayat di atas seluruhnya lemah, olehnya tidak dapat dipakai sebagai sandaran. Di sisi lain Thusi menjelaskan bahwa riwayat-riwayat tentang keharusan menjalankan isi Alquran dan kewajiban merujuk semua persengketaan kepadanya, sangat banyak dan kuat.

Namun demikian, apapun yang kita simpulkan dari pendapat empat ulama’ Syiah ternama tersebut, yang jelas secara mayoritas tren klasik dari ulama’ Syiah Dua Belas Imam masih berhaluan ekstrim. Mereka tidak saja melontarkan gagasan bahwa Alquran telah mengalami perubahan (penambahan maupun pengurangan), lebih dari itu mereka menyatakan bahwa masalah ini telah menjadi aksioma madzhab, atau telah menjadi konsensus ulama’ karena riwayat-riwayat yang mendukung kebenaran wacana ini –menurut mereka- telah sampai kepada derajat mutawatir. Selain itu mereka juga menentang dengan kuat munculnya gagasan reformasi. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa gagasan para reformis tersebut tidak lebih dari sekadar suara sumbang di tengah arus mayoritas.

  1. Wacana Tahrīf Alquran dalam Tren Kontemporer

Dalam menyikapi wacana ini para ulama’ Syiah Dua Belas Imam kontemporer setidaknya terbagi menjadi tiga kategori:

Pertama: Sebagian mendukung wacana tahrīf Alquran ini secara terang-terangan, provokatif dan bersikeras. Dikatakan demikian karena pelopor kategori ini Husein Ibn Muhammad at-Taqi an-Nuri at-Thabarsi (1254 H – 1320 H) telah menyusun buku berjudul “Fasl al-Khitāb fī Tahrīf Kitāb Rabb al-Arbāb[26] yang terkumpul di dalamnya lebih dari dua ribu riwayat yang mendukung kebenaran wacana tahrīf tersebut, hingga ia berkesimpulan bahwa jumlah riwayat-riwayat tersebut telah memadai untuk disimpulkan sebagai mutawatir. Bahkan saat para pengkritiknya menyusun kitab kritikannya “Risālatu Hifdzi al-Kitāb as-Syarīf ‘an Syubhat al-Qawl bi at-Tahrīf” yang disusun oleh Sayyid Muhammad Husein as-Syahrastani dan kitab “Kasyfu al-Irtiyāb fī Adam Tahrīf al-Kitāb” yang disusun oleh Mahmud At-Thahrani, penulis buku Fasl al-Khitab menjawabnya dengan buku lain berjudul “Ar-Radd alā Kasyf al-Irtiyāb”.

Setelah terbitnya buku ini serta polemik yang berkepanjangan sekitar buku tersebut, mayoritas tren kontemporer lebih bercorak moderat, yang dalam kenyataannya tercermin dalam dua kubu:

Kubu pertama adalah yang secara mutlak mengingkari adanya wacana Tahrīf dalam pemikiran ulama’ Syiah Dua Belas Imam, seperti yang tercermin dalam pendapat Syarafuddin al-Musawi, pengarang buku “al-Murājaāt” (Buku yang dinilai oleh Dr. Ali Salus sebagai dialog fiktif), juga dalam pendapat Luthfullah as-Shafi dalam buku tanggapan terhadap Muhibuddin Khotib dalam “Al-Khutūth al-Arīdlah” berjudul Ma’a al-Khatīb fī Khutūtihi al-Arīdhāh [27], al-Amini dalam “al-Ghadīrnya”[28], serta Muhammad Jawad al-Mughniyah dalam bukunya “as-Syiah fī al-Mizān” bab: Itsnā Asyariyah wa Ahl al-Bayt.[29]. Saat menjelaskan prinsip-prinsip akidah Syiah Dua Belas Imam Muhammad Jawab al-Mughniyah menjelaskan bahwa Alquran yang sesungguhnya adalah Alquran yang ada di tangan umat Islam sekarang tanpa ada tambahan ataupun pengurangan.

Kubu kedua, mengakui adanya riwayat-riwayat seputar Tahrīf ini, namun mereka mencari pembenaran di balik munculnya riwayat-riwayat tersebut. Kubu ini menurut Dr. Al-Qoffari terbagi ke dalam beberapa kategori:

Pertama: Menyatakan bahwa semua riwayat tersebut memang ada, akan tetapi termasuk kategori riwayat yang lemah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum dan amal. Kubu ini dipelopori oleh Muhammad Husein Ali al-Kasyif al-Ghita’ dalam “Ashlu as-Syiah wa Ushūluha[30].

Kedua: Bahwa yang dimaksud dengan Tahrīf di sini adalah tafsir sesuai dengan apa yang diturunkan (tanzīl), lawan dari Ta’wil atau al-Bathin. Kubu ini dipelopori oleh Muhammad Husien al-Thabathaba’i dalam tafsirnya “al-Mīzān fī Tafsīr al-Quran[31].

Ketiga: Bahwa apa yang telah disampaikan oleh sebagian ulama’ Syiah Dua Belas Imam tentang tahrīf Alquran ini merupakan ijtihad pribadi yang ternyata terbukti salah, karena setelah mereka melakukan penelitian kembali, terbukti bahwa pendapat yang benar adalah tidak adanya tahrif. Mereka ini kemudian condong dan sepakat dengan pendapat ini.

Khotimah

Secara global, mayoritas tren kontemporer dalam memandang wacana tahrīf ini lebih berhaluan moderat. Adanya pergeseran ini barangkali disebabkan oleh karena masalah ini sangat sensitif, ditambah dengan lemahnya argumentasinya, serta kokohnya argumentasi penjagaan Alquran dari perubahan.

Tren kontemporer juga dibuat benar-benar kerepotan menjawab usaha Taqi Nuri at-Thabarsi yang telah mengumpulkan riwayat-riawayat tahrīf yang berserakan yang berjumlah lebih dari 2000 riwayat. Riwayat-riwayat ini –menurut Muhibbudin al-Khotib- semestinya hanya boleh bergulir di kalangan elit intelektual Syiah saja, namun pada saat wacana ini diangkat oleh Nuri Thabarsi dalam sebuah buku, cukup menggemparkan umat Islam sehingga Syiah menjadi sasaran pentakfiran dari umat Islam dari berbagai kelompok di penjuru dunia.

Meskipun telah ada pergeseran, menurut hemat penulis wacana tahrīf ini tetap tidak akan mudah dihapus di dalam keyakinan pengikut Syiah Dua Belas Imam karena dua sebab:

Pertama: Ternyata angan-angan akan datangnya Mahdī al-Muntadzar yang akan membawa cahaya keadilan dan kebenaran, di antaranya akan membawa Alquran yang asli, telah terkristal dan terakumulasi ke dalam sebuah teologi yang sangat kuat dan mendalam.

Kedua: Para penolak ide tahrīf (dari kalangan Syiah sebagaimana telah disebutkan di muka) masih dimungkinkan tetap menggunakan trik-trik taqiyyah dalam menghadapi lawan polemiknya. Alasannya, ternyata ide-ide tentang penolakan wacana tahrīf tersebut hanya disosialisasikan melewati buku “promosi” atau “propaganda” yang sengaja ditulis untuk kalangan Ahlu Sunnah atau dalam rangka menjawab tuduhan-tuduhan Sunni yang cukup menyudutkan tentang masalah ini, dan jarang didapatkan di dalam buku-buku pegangan utama mereka.

Keluar dari polemik tentang taqiyyah dan dan kejujuran, menurut hemat penulis, ada baiknya tetap ada upaya untuk memperkuat dan mendukung gerakan moderasi dalam tubuh Syiah Dua Belas Imam ini, hingga akhirnya gerakan ini mampu memenangkan perang wacana internal Syi’ah dan menjadi gerakan maintrem. Hal ini untuk mencapai dua tujuan:

Pertama: Dapat memperdekat jarak antara dua madzhab besar ini disebabkan oleh adanya pergeseran prinsip-prinsip asal dari tubuh Syiah Dua Belas Imam yang di antaranya adalah wacana tahrīf Alquran ini. Di lain sisi membantu kita dalam mengentaskan Syiah Dua Belas Imam dari pergeseran pemikiran yang oleh Dr. Musa al-Musawi disebut sebagai proses infiltrasi ajaran-ajaran luar ke dalam prinsip-prinsip ajaran Syiah Dua Belas Imam, sekaligus menjadi bukti dan tolak ukur keberhasilan dakwah Ahli Sunnah.

Kedua: Semakin memperkuat kebenaran dan kekokohan basis pemikiran Sunni yang ternyata jauh dari ketersangkutpautan dengan segala macam pemikiran yang kontroversial.

Meski demikian, di sisi lain perlu tetap waspada karena terkadang lontaran wacana seperti ini hanya digunakan oleh pendukung Syiah Dua Belas Imam sebagai pintu masuk dan bagian dari setrategi dakwah. Tujuannya, untuk menyatakan bahwa antara Sunnah dan Syiah tidak ada perbedaan, sehingga pemilihan antara keduanya tidak ubahnya seperti pilihan antara madzhab fikih (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi …), atau antara organisasi-organisasi yang sama-sama berhaluan Ahlu Sunnah.  Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

[1] Muhammad ibn Muhammad ibn al-Nu’man, dia dijuluki dengan muhaqqiq dari kalangan Syiah Imamiyyah. Menurut para penulis tarajim (biografi), sempat berinteraksi dengan Imam al-Muntazhar, memiliki karya lebih dari dua ratus buku, banyak menghujat salaf. Wafat pada tahun 423 H (lihat Khair al-Din al-Zarekly, al-A’lam Biographical Dictionary (Beirut: Dar al-Il’m li al-Malayin, t.t), hlm. 8/21

[2] M. Imarah, al-Tafsīr al-Markisi li al-Islām, (Beirut: Dar al-Syuruq), hlm. 49, dan Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nash; Dirāsah fī Ulūm Alquran, hlm. 27-28

[3] Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghita’, Ashlu al-Syiah wa Ushuluha, (Beirut: Muassasah al-‘Alami, t.t), hlm. 67; al-Thabathaba’i dalam catatannya atas buku “Anwar al-Nu’maniyyah”, (Vol. 2), hlm. 359

[4] Sebuah peristiwa yang diklaim Syiah Imamiyyah sebagai upacara pelantikan resmi terhadap Imam ‘Ali, walau penyerahannya dilakukan setelah wafatnya Baginda Nabi Saw.

[5] Termasuk salah satu tokoh revolusi yang berseberangan haluan dengan Khomeini, kini tinggal di Amerika.

[6] Dr. Musa al-Musawi, Syiah wa Tashhih; al-Shira’ bayna al-Syiah wa al-Tasyayyu’, (Kairo: al-Zahra’ li al-I’lam al-‘Arabi, 1989), Cet. Kedua, hlm. 56.

[7] al-Qaffari, Ushūl Madzhab al-Syiah al-Imamiyah al-Itsnā Asyariyyah, (t.k: t.p, t.t), hlm. (1/337)

[8] Ulama’ Pakistan, alumnus Universitas Madinah Munawwarah, intens mengkaji tentang Syiah, dan sekte-sekte dalam Islam. Bukunya yang terkenal di antaranya: as-Syiah wa at-Tasyayyu’ … Firaq wa Tarikh, as-Syiah wa as-Sunnah, as-Syiah wa Alquran dan as-Syiah wa ahl al-Bayt, Baina as-Syiah wa Ahl as-Sunnah, at-Tasawwuf … al-Mansya’ wa al-Mashdar, al-Ismailiyyah …Tārīkh wa ‘Aqaid. Meninggal di tangan salah seorang pendukung Syiah di Pakistan saat beliau mengajar di depan muridnya.

[9] Al-Kulaini, Ushūl al-Kāfī, Kitab: Fadhl al-Qura’an, bab: al-Nawadzir, Vol. 2/134, juga bab: annahu la yajma’ Alquran illa al-Aimmah, Vol. 1/178

[10] Muhammad ibn Babaweih al-Qummi, I’tiqadat, hlm. 110-113

[11] Lihat Muqaddimah Majma’ al-Bayan, hlm. 15

[12] Muhammad ibn al-Husain ibn Ali al-Thusi, salah satu tokoh dari ketiga tokoh pengumpul Kutub al-Arba’ah, yaitu Tahdzib al-Ahkam, dan al-Istibshar, wafat tahun 460 H. (Lihat Lisan al-Mīzān, Ibnu Hajar: Vol. 5/135)

[13] At-Tibyan fī Tafsīr Alquran, hlm. 1/3

[14] Al-Fadhl ibn al-Hasan ibn al-Fadhl al-Thabarsi, seorang tokoh Syiah Imamiyyah dalam bidang tafsir, karya monumentalnya adalah Majma’ al-Bayān  fī Tafsīr Alquran, wafat di Sibizwari lalu dipindah ke al-Masyhad, pada tahun 548 H. (al-A’lam; Vol. 5/148)

[15] Tafsīr al-Shafi, hlm. 40-55

[16] Hasyim ibn Sulaiman ibn Isma’il al-Husaini al-Bahrani, tokoh Syiah dalam bidang tafsir, di antara karya monumentalnya adalah al-Burhān fī Tafsīr Alquran, namun menurut penulis buku “Raudhat”, buku ini dan karya-karya lainnya hanya merupakan kompilasi. Namun demikian dia tidak mengetahui dengan pasti apakah bentuk tulisan seperti ini disebabkan oleh kelemahan atau karena wara’. Wafat pada tahun 110 H/1696 M. (al-A’lam: hlm. 8/66)

[17] Al-Burhān fī Tafsīr Alquran, bab Anna Alquran lam Yajma’hu kamā Unzila illā al-Aimmah, hlm. 1/15

[18] Ni’matullah ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Husein al-Husaini al-Jazairi, seorang sastrawan, dan fakih. Dinisbatkan kepada al-Jazair, sebuah kampung di Basrah. Karya menumentalnya adalah “al-Anwar an-Nu’mātniyyah fī Ma’rifat Nasy’at al-Insāniyyah”.

[19] Al-Anwār an-Nu’māniyyah, hlm. 2/257-258

[20] Muhammad Habib, Fasl al-Khitab fī Itsbat Tahrīf Kitāb Rabbi al-Arbāb; Ardl wa Naqd, (t.p, Cet. II, 2007), hlm. 129-137

[21] Awāil Maqālāt, hlm. 13

[22] Al-Majlisi, Mir’āt al-Uqūl, hlm. 2/536

[23] Dalam Syarh Jāmi’ al-Kāfī, (Teheran: Maktabah Islamiyah, t.t), hlm. 11/76

[24] Muqaddimah al-Burhān fī Tafsīr Alquran, hlm. 1/15

[25] Mumāsyāt dan Mudārāt adalah sebuah sikap pura-pura menerima apa yang disampaikan oleh lawan dialognya, padahal  sebenarnya ia tidak sepakat dengan pendapat tersebut. Atau menerima pendapat lawan dialog, namun di tempat lain ia menulis atau mengkampanyekan pendapat lain yang bertentangan dengan apa yang ia sepakati saat berdialog dengan lawan.

[26] Selesai dikarang pada tanggal 28 Jumadi al-Tsani 1292 H, dan dicetak pada tahun 1298 H.

[27] Ma’a al-Khatīb fī Khutūtihi al-Arīdhāh, hlm. 78-80

[28] Al-Ghadīr, hlm. 3/94-95

[29] Al-Syiah fī al-Mīzān, bab: Itsnā Asyariyyah wa ahl al-Bayt, hlm. 435

[30] Ashlu as-Syiah wa Ushūluha, hlm. 63-64

[31] Al-Mīzān fī Tafsīr Alquran, hlm. 12: 108

 

Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...