Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Alunan Syiar Baim

Alunan Syiar Baim

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Sebuah mushalla (rizakasela.wordpress.com)
Ilustrasi – Sebuah mushalla (rizakasela.wordpress.com)

Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 kali)
Asyhadu alla ilaha illallah (2 kali)
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2 kali)
Hayya ‘alash sholah (2 kali)
Hayya ‘alal falah (2 kali)
Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 kali)
Lailaha ilallah (1 kali)
dakwatuna.com – Adzan pertanda masuknya waktu ashar berkumandang di Mushalla tak berplang nama itu. Merdu, mengalunkan nada yang menejukkan hati ketika mendengarnya. Aku yang duduk tidak jauh dari sang muadzin seketika terperanjat. Sedikit tak percaya bahwa suara itu datang dari salah satu bocah yang menjadi anak didik kami di taman belajar yang baru dua hari ini kami buka, taman belajar Bilqis. Taman belajar yang kami peruntukkan untuk anak-anak sekitar mushalla yang terletak di RT 3 Desa Jampang, Bogor.

Selesai mengumandangkan seruan shalat, sang muadzin pun akhirnya kami minta untuk menjadi imam. Mengingat, meski masih kelas empat sekolah dasar, ia menjadi laki-laki tertua yang ada di antara kami. Tanpa menolak, segera ia tampil ke depan mengambil posisi, menempati sejadah yang memang ditujukan buat pemipin shalat. Shalat ashar pun dimulai. Gerakan dan suaranya mencirikan ia bukan anak yang baru melatih diri untuk shalat. Bacaannya fasih selaras dengan setiap gerakan shalat yang ia lakukan. Merasa tertarik dengan ananda, sehabis shalat saya memanggilnya mendekat. Kutanyakan namanya, Nadelio Ibrahimovic pelan ia menjawab. Asing dan unik, kukira pendengaranku salah. Kok tiba-tiba anak ini menyebut nama pemain bola. Lalu, kuulangi sekali lagi, ternyata jawabannya tetap sama. Hmm, nama yang indah.

Yah, itulah awal mula saya berkenalan dengan Baim, panggilan akrab dari Nadelio Ibrahimovic. Seorang anak laki-laki kelas 4 satu-satunya yang mau datang mengikuti kegiatan taman belajar kami. Anak laki-laki yang terlihat begitu antusias mencari ilmu di saat anak laki-laki seumurannya memilih main layangan di depan mushalla. Baim memang bukan anak yang biasa. Diumurnya yang masih sangat belia, dia berperan dalam menghidupkan mushalla ini. Mushalla yang secara letak sebenarnya bisa dibilang dekat, terlalu amat dekat dengan rumah warga. Tak ada pagar pemisah, depan, belakang dan kanan kiri mushalla adalah rumah warga. Namun sayangnya, dekatnya jarak ternyata tak membuat hati masyarakat turut menjadi dekat. Hanya ada dua orang yang siap menghidupkan mushalla itu, Pak RT dan tentu saja sang pemilik suara merdu, Baim. Bocah yang baru saja memenangkan peragaan busana daerah tingkat desa ini berkisah, bahwa ia amat sering melakukan shalat di mushalla itu hanya berdua dengan pak RT. Bahkan, jika akhirnya Pak RT tidak bisa shalat di mushalla karena suatu keperluan atau sedang tidak di rumah, dialah yang akan shalat sendiri di mushalla tersebut.

Pernah suatu ketika saat jam belajar di mushalla usai, saya dan teman-teman sesama pendiri, memilih mengunjungi salah satu rumah warga untuk bersilaturahmi. Sehingga jadwal pulang ke asrama yang biasanya jam 5 sore justru molor mendekati magrib. Saya yang kebetulan lupa mengambil payung yang saya bawa ke mushalla, sepulang silaturahmi terpaksa kembali ke mushalla untuk mengambil payung tersebut. Lalu, masyaAllah. Suara shalawat terdengar sayup di kejauhan. Semakin mendekati mushalla terdengar jelas itu suara sang muadzin. Menunggu waktu maghrib datang, ia ternyata tak perlu seperti anak-anak lainnya yang merengek belum mau pulang padahal ibu sudah mengomel menyuruh pulang. Ia, justru sudah terlihat segar karena sudah mandi dan sekarang duduk ditemani seorang adik kecil menyenandungkan shalawat buat Rasulullah. Perbuatan yang sekali lagi, membuatku terperangah. Berucap rasa syukur berkali-kali.

Baim telah membuktikan bahwa ia tak perlu menunggu orang dewasa untuk menghidupkan mushalla. Dia juga membuktikan bahwa tak perlu lingkungan religius untuk membuatnya beribadah, dekat pada Sang Pencipta. Bagi Baim, ia hanya butuh semangat yang lebih besar untuk berjalan ke mushalla. Tak perlu teman, baginya Allah-lah teman terbaik dalam perjalanan kehidupannya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Sekarang sedang mengabdi di Kabupaten Sambas, Kalbar sebagai relawan pendidikan di Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Pendidikan Terakhir S1 Bimbingan Konseling, Universitas Negeri Makassar.

Lihat Juga

Syiar Qurban, Syiar Hak dan Kasih Sayang

Figure
Organization