Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Sisa-Sisa Tangan Kecil Penanti Rezeki di Jalan Margonda Raya Kota Depok

Sisa-Sisa Tangan Kecil Penanti Rezeki di Jalan Margonda Raya Kota Depok

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Anak-anak (Yudi/Primair)
Ilustrasi – Anak-anak (Yudi/Primair)

dakwatuna.com – Pernahkah anda menyaksikan anak usia 5 s.d. 7 tahun dengan lincahnya memetik senar gitar di atas angkutan umum yang sedang anda tumpangi ? Atau masihkah anda menemukan 2 atau 3 anak seusia sekolah dasar pada jam sekolah malah berkeliaran di sepanjang jalan Margonda Depok?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok tahun 2012 tercatat 49 anak terlantar di kota Depok dengan total jumlah anak jalanannya mencapai 336 orang. Jumlah ini sudah sangat mengkhawatirkan karena selain mengganggu ketertiban umum, adalah bukan kewajibannya anak-anak untuk mencari uang di masa kecilnya. Oleh karena itu pada tahun 2013 sebagai upaya penegakan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pembinaan dan Pengawasan Ketertiban Umum, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Depok melaksanakan penertiban anak jalanan dan pengemis dengan melibatkan Tim Patroli Barat dan Timur Satpol PP Kota Depok (Depok.go.id). Hasilnya sangat signifikan jumlah anak-anak yang berkeliaran di sepanjag jalan Margonda mulai berkurang. Hal ini dapat dibuktikan dengan tereduksinya jumlah anak-anak yang turut serta dalam menjadi pengamen di angkutan umum Depok.

Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 Ayat 1). Berdasarkan undang-undang tersebut, idealnya setiap anak memiliki kesempatan untuk mengecap pendidikan, mendapatkan perlindungan, mengembangkan potensi dan memiliki waktu bermain yang cukup. Akan tetapi tidak semua anak pada kenyataannya yang memiliki kesempatan seperti itu. Masalah ekonomi lagi menyeret mereka untuk ikut berpatisipasi dalam memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus memenuhi kanting mereka untuk sekadar jajan makanan yang tidak mampu dibelikan kedua orang tua mereka.

Beberapa waktu lalu saya sempat melakukan obrolan singkat dengan anak jalanan yang masih berani untuk tetap menjadi pengamen sekalipun Pemda Depok sering melakukan razia terhadap anak jalanan. Saya berusaha mencari motif mereka untuk melakukan hal tersebut. Hasilnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu atas faktor yaitu kesenangan pribadi dan ekonomi keluarga.

Kemauan Diri Sendiri

Noval Sukma (9 th) dan Muhammad Isal (8th) adalah dua dari pengamen jalanan yang mengamen di daerah Detos, ITC, Pasar Minggu, UI, dan di daerah Lenteng Agung. Mereka telah mengamen sekitar dua bulan. Mereka berasal dari daerah Bojong, Citayam. Biasanya keduanya mulai mengamen dari jam 2 siang hingga jam 8 malam. Sangat disayangkan, kedua anak ini tidak lagi mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Isal berhenti sekolah saat kelas V SD. Dulunya ia bersekolah di MI Bojong, karena ketidakmapuan ekonomi, ia harus putus sekolah. Ternyata program pemerintah yang disebut degan BOS belum bisa menjadi solusi terbaik untuk Noval dan isal. Mereka terbengkalai masalah buku dan perengkapan sekolah lainnya.

Noval adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ayah Noval hanyalah seorang pengangguran yang sesekali ikut bekerja sebagai kuli bangunan, sementara ibu Noval tidak bekerja. Hampir sama saja, orang tua Isal juga tidak bekerja. Isal mempunyai kakak namun sang kakak pun juga tidak bekerja. Sementara ia juga masih memiliki 2 orang adik. Bisa dikatakan Noval dan Isal merupakan tulang punggung keluarga mereka. Ketika ditanya apakah ada yang memaksa mereka mengamen, mereka mengaku bahwa itu merupakan kemauan mereka sendiri. Orang tua mereka sebenarnya melarang anak-anak ini mengamen. Mereka juga tidak tega melihat anaknya mereka harus bekerja untuk menghidupi keluarganya. Namun apa hendak dikata, hasil yang didapat dari hasil mengamen cukup menggiurkan mereka. Rerata dari hasil mengamen mereka setiap hari mencapai Rp 50.000,00.

Faktor Ekonomi Keluarga

Chandra adalah seorang pengamen anak berusia 12 tahun. Dia bertempat tinggal di Depok 2, Kota Depok. Ayahnya adalah seorang penjahit dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Dia memiliki 3 orang saudara. 2 diantaranya masih kecil dan 1 orang lagi sudah bekerja. Setiap harinya Candra menyempatkan diri untuk mengamen setelah pulang sekolah. Kegiatan ini sudah dia jalani selama 6 bulan terakhir.

Candra mengamen karena ingin membantu orang tua sekaligus mendapatkan uang jajan sendiri, kalau tidak demikian, dia tidak tahu lagi dengan apa memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga. Saat ditanya tentang pendapat orang tuanya, ia mengaku tidak ada peaksaan dari orang tua terhadap pekerjaannya itu bahkan ia kerap dijemput oleh ayahnya apabila pulang terlalu malam. “Daripada mencopet kak! Lebih baik saya mengamen saja”.

Total pendapatan harian Chanda bisa mencapai Rp90.000,00 dan minimal Rp50.000,00 per hari dengan rute dari ITC ke pasar minggu. Jadi jika diakumulasikan satu bulan saya dapat keuntungan bersih hingga Rp1.500.000,00 jumlah yang mendekati rerata-rata Upah Minimum Kota/kabupaten (UMK) di Jawa Barat yang berjumlah Rp 1.887.619.

Berdasarkan hasil obrolan dengan pengamen anak, tetap saja faktor ekonomi yang menjadi dasar permasalahan. Kalaupun mereka merasa senang jika mendapatkan uang, tetap saja ada keluhan yang mereka miliki. Keluhan mereka beragam, ada yang mengaku kadang merasa lelah karena harus bernyanyi sekian jam, harus terima jika dimarahi supir angkutan umum, kecelakaan saat melompat turun dari angkutan umum, menjadi sakit apabila terlalu lelah, tidak sempat fokus pada tugas sekolah (bagi pengamen yang bersekolah) serta risiko lain yang cukup melelahkan.

Pada kenyataannya tidak semua pengamen mendapatkan pemaksaan dari orang tua untuk pengamen di sepanjang Jalan Margonda Raya Kota Depok. Pekerjaan ini mereka lakukan atas inisiatif dari diri mereka yang didasari oleh kondisi ekonomi kelurga. Mereka adalah anak-anak yang tergiur akan kesempatan mendapatkan uang saku dari warga kota dengan cara mengamen karena menurut mereka banyak orang yang memberikan uang yang mereka butuhkan.

Kita yang sering tersentuh dengan wajah memelas pengamen anak saat meminta upah kala ia selesai menyanyi. Peperangan batin kerap terjadi apabila memilih tidak memberi uang pada mereka. Di sisi lain pembiasaan pemberian uang akan membuat mereka semakin ketagihan dan memilih jalan hidup sebagai pengamen hingga dewasa, padahal apabila potensi yang mereka miliki diasah kelak akan jadi seseorang yang hebat. Jika masih merasa sangat merasa iba pada mereka pilihan untuk memberi makanan ataupun buku pelajaran agar mereka tidak kekurangan gizi dan bisa mendapatkan ilmu yang baik . Tidak ada yang menjamin uang hasil mengamen akan mereka gunakan untuk hal positif.

Begitulah sisa-sisa tangan kecil penanti rezeki di Margonda Depok, jumlah yang tetap bertahan dan menampakkan dirinya memang sedikit. Akan tetapi jika partisipasi kita untuk memberi peluang dengan sekadar memberi recehan Rp 500,00 diteruskan, maka jangan heran apabila nanti jumlahya akan semakin bertambah. Ke depannya pilihan kitalah untuk memaksa mereka tumbuh dan berkembang sesuai haknya dan menghentikan pekerjaan itu atau membiarkan mereka tetap menghibur kita di menumpang angkutan umum. “Permisi kak, kami cuma mau nyanyi bagilah sedikit rezeki untuk kami…”

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswi Program Epidemiologi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fak Kesehatan Masyarakat Perguruan Tinggi Universitas Indonesia. Peserta PPSDMS 7 Regional 1 Jakarta.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization