Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Syiah Dua Belas Imam (Bagian ke-4)

Ilustrasi. (dakwatuna)

d. Syiah Muncul akibat Akumulasi Peristiwa yang Ditimbulkan oleh Peristiwa Karbala dan Berbagai Perkembangan Umat Islam Saat Itu

dakwatuna.com – Di antara pendukung pendapat ini adalah Dr. Kamil Musthafa as-Syibi. Menurutnya meskipun gerakan Syiah politik telah muncul pada masa-masa awal, sebagaimana diungkap oleh beberapa peneliti di atas, namun sebagai gerakan Syiah yang spesifik baru dimulai dari gerakan Tawwabun yang muncul pada tahun 61 H yang pada akhirnya mengalami kegagalan total pada tahun 65 H. Pada saat itu pemimpin gerakan Tawwābūn tersebut dikenal dengan sebutan “syiekh Syī’ah[1].

Pendukung lain pendapat ini adalah orientalis terkenal Brocleman. Dalam bukunya Tārīkh Syu’ūb al-Islāmiyah, ia mengatakan:

Sebenarnya, kematian para syuhada’ yang dimulai dengan syahidnya Husain bin Ali, telah mempercepat pertumbuhan gerakan keagamaan Syī’ah, di mana gerakan ini di kemudian hari menjadi tempat bertemunya semua gerakan perlawanan terhadap bangsa Arab[2].

Adapun Dr. Ali Sami an-Nasysyar, dalam Nasyat al-fikri al-faslasi fī al-Islām, menyimpulkan perkembangan Syiah sebagai berikut:

Dari pembahasan ini dapat kita simpulkan bahwa hingga periode ini, belum muncul term Syiah seperti yang kita kenal sekarang, yaitu sebuah kelompok yang memiliki metodologi dan ajaran khusus. Sejatinya umat Islam saat itu, hanya memiliki julukan “Muslim” saja, tanpa embel-embel Sunni atau Syi’i. Perbedaan pendapat di antara mereka, hanya berkisar seputar siapa yang paling berhak menjadi khalifah, belum muncul pemikiran “wishāyah wa al-imāmah” (wasiat dan imamah) baik dalam pemikiran maupun gerakan politik. Pada saat itu belum terbentuk satu teori politikpun, kecuali dalam pemikiran kelompok khawarij: Satu-satunya kelompok yang berseberangan dengan konsensus umat Islam dalam masalah khilafah …” [3]

Syiah baru terbentuk –lanjut Dr. Sami Nassyar- sebagai gerakan (yang mulai melakukan konsolidasi diri) pasca-terbunuhnya Husein. Dr. Nasysyar menukil pendapat al-Mas’udi dalam Murūj adz-dzahab yang menyatakan bahwa pada tahun 65 H Syiah Kufah mulai bergerak. Mereka kemudian berkumpul dan saling menyesalkan terbunuhnya Husen. Namun demikian mereka tidak bergerak untuk membelanya. Mereka berpandangan bahwa dosa tersebut tidak akan bisa dicuci kecuali dengan cara membunuh sang pembunuhnya atau terbunuh. Mereka kemudian berkumpul di bawah kepemimpinan lima orang, salah satunya adalah: Sulaiman bin Shard al-Khuza’i[4].

Kesimpulan, Analisa dan Komentar

Demikian pendapat para peneliti tentang sejarah kelahiran Syiah dan perkembangannya. Sebenarnya perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka tersebut dilandasi oleh perbedaan dalam mempersepsikan (mendefinisikan) Syiah itu sendiri; Bagi mereka yang memaknai Syiah sebagai cinta Ahli Bait, terutama kepada Imam Ali, cenderung mengatakan bahwa Syiah lahir dan berkembang pada masa kenabian. Adapun mereka yang memaknai Syiah sebagai gerakan dan kekuatan politik yang mendukung Imam Ali untuk memegang tampuk khilafah, cenderung mengatakan bahwa Syiah lahir dan berkembang pada masa khalifah Utsman bin Affan atau pasca-meninggalnya beliau. Sementara yang memaknai Syiah sebagai sebuah kelompok dan kekuatan politik yang memiliki keyakinan dan pemikiran yang spesifik yaitu keutamaan Imam Ali dalam memegang tampuk khilafah yang dinyatakan melalui “nash wa al-washiyyah“, maka munculnya Syiah menurut mereka seiring dengan kemunculan gerakan Sabaiyah. Paling tidak benih-benihnya mulai tersebar mulai saat itu.

Telah kita sebutkan di muka, bahwa pada masa kenabian belum dan tidak terjadi pengkubuan di kalangan umat, bahkan Rasulullah Saw sangat membenci dan memerangi segala bentuk fanatisme serta pengkubuan yang akan berakibat pada perpecahan umat. Yang ada pada masa itu dan apa yang ditanamkan oleh Rasulullah Saw hanya Islam. Tidak ada keutamaan bangsa Arab atas ‘Ajam (Non-Arab) atau ‘Ajam atas Arab, tidak pula bani Hasyim atas bani AdiyAdiy atas Murrah, atau fulan atas fulan dan seterusnya kecuali dengan taqwa. Beberapa pujian yang disampaikan kepada beberapa Sahabat termasuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib hanya merupakan manāqib (pujian atas kelebihan dan keutamaan) yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pengangkatan sebagai Khalifah atau Imam sepeninggal beliau. Termasuk apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam peristiwa Ghadeer Khum, sebagaimana diklaim oleh penulis Syī’ah; karena prinsip dasar sistem pemerintahan dalam Islam tidak didasarkan klan atau keturunan dan nasab, namun lebih didasarkan kepada kualifikasi dan kompetensi.

Walaupun telah terjadi perbedaan pendapat pasca-wafatnya Rasulullah Saw tentang siapa yang berhak memegang tampuk kepemimpinan sepeninggal beliau, namun demikian umat Islam kembali menjadi umat yang satu pasca-dibaiatnya Abu Bakar as-Shiddiq. Pada masa itu juga belum timbul kubu atau kelompok dalam bentuk apapun. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para Sahabat hanya berkisar seputar siapa yang paling layak memegang tampuk pemerintahan setelah wafatnya Rasulullah Saw. Hal seperti ini sangat lumrah terjadi dalam sebuah proses syura terutama dalam menentukan pilihan kepemimpinan pasca-meninggalnya perintis sebuah negara atau lembaga.

Apakah perbedaan pendapat tersebut kemudian melahirkan pengkubuan dan fanatisme, sehingga antara para Sahabat saling membenci dan memusuhi? Jawabnya, tentu saja, tidak. Karena, sejarah menyatakan bahwa pasca-dibaiatnya Abu Bakar Ra mereka bersatu-padu untuk menyebarkan dan memperjuangkan Islam di bawah satu atap yaitu khilafah Islamiyah dan di bawah kepemimpinan para Khulafā’ ar-Rasyidūn.

Fakta lain yang mendustakan klaim terjadinya pengkubuan sepeninggal Rasulullah Saw, adalah: Sejarah telah mencatat bahwa salah satu Sahabat yang lebih condong (simpati) kepada kepemimpinan Ali, sebagaimana disebutkan oleh peneliti dan sejarawan Syiah di muka adalah Zubair bin al-Awwam. Namun, faktanya, Zubair bin Awam di kemudian hari bergabung bahkan menjadi pelopor terbentuknya kubu yang memerangi Imam Ali dalam peristiwa Jamal. Jika saja pengkubuan telah terjadi, tentu saja Zubair tidak akan mau bergabung dalam kubu tersebut.

Fakta lain justru diungkap oleh sejarawan Syiah Ya’qubi. Ia menyebutkan bahwa di antara mereka yang mendukung kepemimpinan Imam Ali adalah Abu Sofyan bin Harb, ayah Mu’awiyah, padahal ia dikenal sebagai penentang utama Nabi Muhammad dan Imam Ali sebelum masuk Islam. Sementara, putranya -Mu’awiyah- menjadi oposisi terkuat pada masa Imam Ali dan menjadi penyebab terjadinya peristiwa as-shiffīn.

Fakta lain yang lebih aneh lagi adalah bahwa Ya’qubi yang dikenal sebagai sejarawan Syiah paling awal (wafat 282 H) itu, begitu pula al-Mas’udi (wafat 346 H), bahkan tidak menyebutkan lafal Syiah sama sekali untuk masa-masa tersebut dalam buku sejarah mereka.

Kondisi ini (kesatuan umat) berlanjut hingga pertengahan kedua pemerintahan Utsman bin Affan; dimana terjadi perselisihan di antara umat seputar cara yang paling tepat dalam mengelola negara. Para penuntut perubahan tidak setuju dengan beberapa kebijakan politik Khalifah Utsman bin Affan, dan inilah yang menjadi pemicu terjadinya pemberontakan terhadap pemerintahannya.

Ya’qubi juga menyebutkan bahwa di antara Sahabat Nabi yang paling keras menentang kebijakan Utsman adalah Abu Dzar al-Ghifari. Di tempat dimana Nabi Saw sering memberikan pengajaran kepada para Sahabat, ia berpidato menyesalkan pilihan umat kepada Utsman, tidak kepada Ali. Tapi di tempat lain, Ya’qubi juga menyebutkan bahwa Abu Dzar sangat menghormati Abu Bakar dan Umar, dan menilai bahwa Utsman telah mengubah sunnah-sunnah yang telah diletakkan oleh keduanya.

Jika saja telah terjadi pengkubuan maka tidak mungkin Abu Dzar sangat menghormati dan memuji Abu Bakar dan Umar. Sebenarnya apa yang dilakukannya tidak lebih dari sekadar upaya menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar serta menjalankan sebaik-baik jihad sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw: “Inna min a’dhami al-jihād kalimatu adlin ‘inda shalthān al-jāir”[5] atau “Afdhalu al-jihad kalimatu haqqin ‘inda shultān al-jāir”[6].

Fakta-fakta sejarah di atas tentu menunjukkan bahwa perselisihan antara para Sahabat pada masa itu, tidak mengakibatkan terbentuknya kelompok atau kubu di antara umat. Di samping itu walaupun perselisihan tersebut pada akhirnya mengakibatkan terbunuhnya khalifah ketiga Utsman bin Affan, namun demikian perselisihan tersebut masih bercorak politis dan tidak bermuatan ideologis.

Syahidnya Utsman bin Affan Ra. menyulut kembali munculnya fitnah dan beragam permasalahan di lingkungan umat Islam, yang disusul dengan munculnya perpecahan pada masa Khalifah Imam Ali dan terbentuknya kelompok dan kubu di tubuh umat yaitu kubu Aisyah, Thalhah dan Zubair Radhiyallahu anhum. Mereka melakukan konsolidasi di Mekkah dan bergerak ke Madinah untuk menuntut darah Utsman, yang pada akhirnya melahirkan peristiwa “Jamal”.

Namun demikian perpecahan yang juga masih bercorak politis bukan ideologis itu dapat diakhiri setelah kekalahan kubu Aisyiah, Talhah dan Zubair, sehingga umat kembali bersatu.

Demikian, hingga terbentuk kubu Muawiyah bin Abi Sofyan di Syam. Dengan alasan yang sama, ia tidak mau berbaiat kepada Imam Ali di Madinah sebelum masalah pembunuhan Utsman diselesaikan. Tuntutan Mu’awiyah ini tidak dapat diterima oleh Imam Ali karena pertimbangan maslahat. Penolakan Imam Ali ini kemudian mengakibatkan terjadinya pertempuran dua kubu tersebut dalam sebuah peristiwa yang dikenal dengan Shiffin.

Pertikaian dua kubu tersebut akhirnya dapat diakhiri dengan kesepakatan dua kubu untuk duduk dalam sebuah perundingan yang dikenal dengan al-Hakamain (perundingan dua kubu). Namun demikian proses perundingan tersebut justru menimbulkan ketidakpuasan dari sebagian pendukung Imam Ali, sehingga memunculkan kelompok atau kubu baru di kalangan umat yang disebut “Khawarij”. Sehingga sampai masa itu terbentuk tiga kubu dalam tubuh umat, yaitu: kubu Imam Ali, kubu Mu’awiyah dan kubu khawarij.

Sebagai kelompok baru yang muncul di tengah umat, khawarij tidak hanya berbeda dengan kubu lain dalam hal pandangan politik, mereka juga memiliki corak pemahaman yang sangat spesifik dengan pemahaman umat dalam memahami nas-nas Islam dan penerapannya dalam realita, terutama dalam memandang pelaku al-kabāir (dosa besar).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kubu Aisyah, Thalhah dan Zubair adalah kubu pertama yang muncul di tengah umat, akibat perbedaan cara pandang terhadap kebijakan politis. Sementara, khawarij adalah kelompok pertama yang memiliki corak pemahaman teologis yang berbeda dari pemahaman umat dalam memahami permasalahan agama. Walaupun pada awalnya muncul akibat masalah politis.

Hingga masa itu belum muncul istilah Syiah kecuali dalam arti bahasa yaitu pengikut dan pendukung. Hal ini dapat kita lihat dalam naskah perjanjian perdamaian dua kubu “al-Hakamain” -kubu Ali dan Muawiyah-, yang masih menggunakan lafal Syiah dalam arti bahasa. Bahkan, Mu’awiyah sendiri, sebagaimana disebutkan oleh Ya’qubi juga menggunakan lafal Syiah dalam makna bahasa untuk menunjukkan pengikutnya; yaitu tatkala Mu’awiyah memberikan instruksi Bisr bin Artha’ah untuk pergi ke Yaman: “Pergilah ke Shan’a, karena di sana kita punya Syiah (pengikut/pendukung)”[7].

Namun pasca-peristiwa perdamaian dua kubu tersebut, para sejarawan yang di antaranya at-Thabari dalam Tarikh-nya[8], Ibnu Katsir dalam Bidāyah wa an-Nihāyah-nya[9], al-Baghdadi dalam al-Farq baina al-Firāq-nya[10], dan al-Asyari dalam Maqālat-nya[11], menyebutkan munculnya konsep al-washiyyah, yang dilontarkan oleh Abdullah bin Saba’, yang kemudian berkembang dan terakumulasi dalam sebuah pemikiran dan gerakan yang disebut: “as-Sabaiyah”.

At-Thabari misalnya, menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’, mengatakan:

Dulu terdapat 1000 Nabi, tiap Nabi memiliki washiy (seorang yang telah diberi wasiatkan untuk menggantikan kedudukannya setelah ia wafat). Seorang yang telah diberi Rasul wasiat untuk menggantikan kepemimpinan beliau setelah wafat adalah Ali bin Abi Thalib”[12].

Pendapat di atas bahkan diamini oleh peneliti dan sejarawan Syiah klasik seperti an-Naubakhti (wafat 300 H) dalam bukunya Firaq as-Syī’ah[13] dan Saad bin Abdullah Abu Kholaf al-Asyari al-Qummi (wafat 301 H) dalam bukunya Kitāb al-Maqālāt wa al-Firaq[14].

Namun demikian Imam Ali dapat menanggulangi menyebar pemikiran tersebut dengan cara mengusir dan mengasingkan Ibnu Saba’ ke Madain, setelah mengurungkan niat untuk membunuhnya, atas saran beberapa Sahabat.

Karena besarnya konsekuensi dari penerimaan pendapat di atas, mayoritas peneliti Syiah kontemporer menolak keras keberadaan sosok Abdullah bin Saba’ ini dan menganggapnya sebagai sosok yang fiktif[15].

Namun demikian, baik Ibnu Saba’ sebagai sosok yang sebenarnya maupun fiktif, yang penting untuk direkam sebagaimana ditulis oleh Dr. Ali Sami Nassar adalah bahwa lembaga Yahudi maupun gerakan al-ghanusiah (gnostik)mendapatkan momentum untuk menyebarkan fitnah di tengah umat agar terjadi perpecahan di antara mereka, sehingga disebarlah di tengah masyarakat Kufah dan Madain saat itu pemikiran yang bisa dinamakan dengan pemikiran Sabaiyah[16] (Sabaean). Artinya, baik Ibnu Saba’ sebagai sosok nyata maupun fiktif, yang jelas pemikiran as-Sabaiyah dalam realitanya mulai menyebar di kalangan umat saat itu.

Namun tidak lama kemudian, Imam Ali terbunuh oleh salah seorang anggota kelompok “al-Khawarij”. Beliau kemudian digantikan oleh putranya, Imam Hasan, melewati sebuah baiat yang demokratis. Namun demikian, perpecahan umat ke dalam dua kubu yaitu kubu Muawiyah dan kubu Hasan di Madinah, membuat beliau sangat prihatin, hingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tampuk kepemimpinan khilafah. Tahun itu dikenal dalam sejarah dengan nama am al-jam’i (Tahun Persatuan).

Tidak lama kemudian, Hasan bin Ali juga terbunuh secara misterius. Pasca-meninggalnya Imam Hasan, sebagian pendukung Imam Ali di Kufah memanggil Imam Husain untuk dibaiat sebagai pemimpin. Namun dalam perjalanan menuju Kufah, Imam Husain dapat dibunuh oleh tentara Yazid (pengganti bapaknya -Mu’awiyah-) di Karbala pada 61 H.

Pasca-meninggalnya Imam Husein bin Ali, para pengikut beliau sangat terpukul dan bersedih. Kesedihan inilah yang kemudian mendorong sebagian pengikutnya, baik secara spontan maupun terencana, untuk membangun sebuah gerakan. Gerakan ini terus berkembang menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah Yazid yang dianggap mereka tidak sah, yang dinamakan gerakan Tawwabun pada tahun 61 H. Namun, gerakan ini akhirnya bubar pada tahun 65 H. setelah mengalami kekalahan secara beruntun. Namun, penulis belum menemukan sumber yang menyatakan bahwa pemikiran as-sabaiyah (an-nash wa al-washiyyah) telah masuk dan mengilfiltrasi gerakan Tawwabun ini.

Setelah kegagalan gerakan Tawwabun, muncul gerakan Mukhtariyah yang diprakarsai oleh al-Mukhtar bin Abi Ubaid (wafat 68 H) dan gerakan Kisaniyah yang dipimpin oleh Abu Amrah as-Saib bin Malik al-Asadi (wafat 67 H), pengawal dan polisi Mukhtar bin Abi Ubaid.

Kedua gerakan ini menemukan sandaran ke Muhammad al-Hanafiyah bin Ali bin Abi Thalib (wafat 81 H), yang lalu membaiat beliau untuk diikuti dan didukung. Hal itu terjadi setelah Imam Ali Zainal Abidin -putra Husein bin Ali- mengundurkan diri dari gelanggang politik untuk menjalani kehidupan sebagai Abid (ahli ibadah). Tokoh yang disebut terakhir itu dijuluki “Zainal Abidin” karena banyak beribadah serta dikenal pula dengan nama as-Sajjad (yang banyak bersujud).

Pernah Mukhtar bin Abi Ubaid, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Mas’udi, mengirim surat kepada Ali Zaina-l-Abidin, untuk dibaiat sebagai Imam. Tapi beliau menolak, bahkan menasihati pamannya Muhammad bin al-Hanafiyyah agar melakukan hal yang sama, namun Muhammad al-Hanafiyyah menolak[17].

Para sejarawan menemukan beberapa naskah yang menunjukkan bahwa paham as-Sabaiyyah yang di antaranya memuat keyakinan tentang al-Washiyah muncul dan berkembang melalui gerakan Kisaniyah.

Ad-Dinawari menyebutkan bahwa Mukhtar mengangkat Abu Amrah menjadi pengawalnya, ia kemudian mengumpulkan hampir seribu orang lalu bergerak mencari siapa saja yang turut serta dalam pembunuhan Husein, kemudian membunuh dan membakar rumah mereka[18].

Sementara, al-Qummi menyebutkan bahwa corak pemikiran dan gerakan Abu Amrah lebih ekstrem dari Mukhtar, termasuk dalam hal pembunuhan terhadap musuh-musuh Husein. Ia juga mengatakan bahwa Mukhtar adalah Washiyyi (orang yang mendapat mandat dari Muhammad bin al-Hanafiyyah). Ia juga mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta semua pengikut Shiffin dan Jamal[19].

Didukung oleh an-Naubakhti, al-Qummi juga mengatakan bahwa Abu Amrah meyakini bahwa Malaikat Jibril dan Mikail membawa wahyu dari Allah kepada Mukhtar[20].

Meskipun seandainya gerakan Mukhtāriyah dan Kisāniyah tidak dianggap sebagai pintu gerbang masuknya pemikiran ekstrem ke dalam tubuh Syiah setelah Sabaiyah, yang pasti, para sejarawan mencatat bahwa pemikiran seperti ini pada masa itu mulai tersebar di Kufah. Pemikiran ekstrem ini terkadang dinisbatkan kepada Mukhtariyah dan terkadang kepada Kisaniyah, meskipun penisbatannya kepada Kisaniyah lebih dekat. Hal itu karena setelah kepergian Mukhtar dan Abu Amrah, pemikiran al-ghanūshiyah/al-bathiniyah (gnostik) mulai mengepung gerakan Syiah di Kufah serta berusaha menancapkan kuku-kukunya dari segala arah, sehingga dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada satu gerakan Syiah pun; (ekstrem, Abbasiyah, Itsna Asyariah, Ismailiyah, dan Qaramithah) yang lolos dari pengaruh pemikiran an-ghanūsiyah (gnostik) tersebut[21].

Secara intelektual munculnya kembali pemikiran an-Washiyyah wa al-imāmah, menurut Dr Emarah, dapat ditemukan secara jelas dalam pemikiran Hisyam bin al-Hakam (wafat tahun 190 H), melalui beberapa karyanya yang di antaranya: “Kitāb al-Imāmah“, “Kitāb ar-Rad ‘alā man qāla biimāmati al-Mafdhūl“, “Kitāb Ikhtilāf an-Nas fī al-imāmah”, “Kitāb al-washiyyah wa ar-raddu ‘alā man ankaraha”, “Kitāb al-hakamain”, “Kitāb ar-raddi ‘alā al-Mu’tazilah fī Thalhah wa Zubair”[22].

Sementara, Syekh Muhibbudin Khotib mengembalikan konstruksi bangunan konsepsi Syiah kepada Abu Ja’far Muhammad bin Nukman (wafat 160 H) yang dikenal di kalangan Ahlu as-sunnah dengan nama Syaitan at-Thaq, dan oleh pengikut Syiah dikenal dengan nama Mukmin at-Thaq, melalui karya-karyanya yang di antaranya: “Kitāb al-Imāmah”, “Kitāb al-Ma’rifah”, “Kitāb ar-Rad ‘alā al-Mu’tazilah fī Imāmah al-Mafdhūl”, dan kitab ”fi amri Thalhah wa az-Zubair wa Aisyah”.

Adapun Dr Al-Qaffari mengembalikan kepada kedua tokoh tersebut, karena keduanya hidup dalam satu masa.

Jadi, jika doktrin as-Sabaiyah (terutama dalam hal an-nash wa al-washiyyah) untuk pertama kalinya mengilfiltrasi gerakan Kisaniyah, maka doktrin tersebut mulai mendapatkan legitimasi secara intelektual dari Hisyam bin Hakam atau Abu Ja’far Muhammad bin Nukman (Syaitan Thaq/Mukmin Thaq), sehingga bisa dikatakan bahwa konstruksi bangunan pemikiran kelompok Syiah yaitu “an-nash wa al-washiyyah” secara intelektual dirancang oleh salah satu atau kedua pemikir syiah tersebut di atas, dan tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Rasulullah Saw. Wallahu a’lam bi ash-shawāb.

Catatan Kaki:

[1] Dr. Kamil Mustafa as-Syibi, As-Shilah baina at-Tasawwuf wa at-Tasyayyu’, (Beirut: Dar al-Andalus, Cet. III, 1982), hlm. 1/22

[2] Brocleman, Tārīkh as-Syu’ub al-Islāmiyah, (t.k:  t.p, t.th) hlm. 128

[3] Dr. Ali Sami an-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī fī al-Islām, (Kairo: Dar al-Ma’arif), hlm. 2/34-45

[4] Dr. Ali Sami an-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī fī al-Islām, hlm. 2/34-45

[5] Sunan at-Tirmidzi, al-Kitab: al-Fitan `’n Rasūlillāh, Bab: mū jāa afdhalu al-jihād kalimatu adlin inda shulthān jāir, No: 2100

[6] Sunan an-Nasai, Kitab: al-Bai’ah, Bab: Fadhlu man takallama inda shultan jāir, No: 4138

[7] Ya’qubi, Tārīkh Ya’qūbi, (Beirut: Daar as-Shodir, t.t.), hlm. 2/197; Ibnu Nadim, Fihris, hlm. 4/173.

[8] At-Thabari, Tārīkh at-Thabari, Muhammad Abu-l-fadl Ibrahim, (Beirut: Dar Suweid, t.t), hlm. 1/2859

[9] Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-nihāyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, Cet. III, 1979),  hlm. 7/168

[10] Al-Baghdadi, al-Farq baina al-firāq, Muhammad Muhyiddin Abdu-l-Hamid (Ed), (Kairo: Mathba’ah al-Madani, t.t), hlm. 144

[11] Al-Asy’ari, Maqālat al-Islāmiyyin wa ikhtilāfi al-mushallīn, (Kairo: Haiah al-Amah liqushur ats-tsaqafah, Cet. IV, 2000)hlm. 1/15

[12] At-Tabari, ibid. hlm. 1/2860

[13] An-Naubakhti, Firaq as-Syiah, ibid, hlm. 22, 23

[14] Al-Qummi, Kitāb al-maqālat wa al-firaq, ibid. hlm. 20

[15] Di antara penulis Syiah yang getol memperjuangkan wacana kefiktifan sosok Abdullah bin Saba’ adalah Murtadla al-Askari, dalam bukunya “Abdullāh bin Saba'” (Tehran: al-Maktabah al-Islamiyah, Cet: I, 1972).

(Namun Sayyid Husen al-Musawi, salah seorang Syiah yang telah melakukan telaah kritis terhadap pemikiran Syiah, buku kesaksiannya: Lillāhi … walittārikh; Kasyfu al-Asrār wa tabriatu al-Aimmati al-Abrār, hlm. 11-15, mencatat sejumlah ulama’ Syiah yang menyatakan bahwa sosok Abdullah bin Saba’ bukanlah fiktif. Di antarannya, al-Kisysyi dalam Makrifah akhbār ar-Rijāl, al-Mamaqani dalam Tanqīh al-Maqāl fī ilmi ar-rijāl, Naubakhti dalam Firaq as-Syiah, Saad bin Abdullah al-Asyari al-Qummi dalam al-maqalat wa al-firaq, Nikmatullah al-Jazairi dalam an-Anwār an-Nukmāniyah, serta Muhammad Husain Al-Ghita’ dalam Ashlu as-Syiah wa Ushūluha) (Kairo: Maktab al-Furqan, 2006)

[16] Ali Sami Nassar, Nasyat al-fikr al-falsafi fī al-Islām, ibid, hlm. 38

[17] Al-Mas’udi, Murūj ad-dzahab wa maādinu al-jauhar, Muhammad Muhyiddin Abdu-l-Hamid (Ed), (Beirut: Dar-l-fikr, Cet. V, 1393 H.) hlm. 3/21-22.

[18] Ad-Dinawari, al-Akhbār at-Thiwāl, Abdu-l-Mun’im an-Namir, (Kairo: Dar Ihya’ l-Kutub al-Arabiyyah, Cet. I, 1930) hlm. 293.

[19] Al-Qummi, Kitāb al-Maqālāt, Ibid, hlm. 22.

[20] Kitāb al-Maqālāt, ibid, dan an-Naubakhti, Firaq as-Syiah, ibid, hlm. 33.

[21] Dr. Ali Sami Nassar, Nasyat al-Fikr al-falsafi fī al-Islām, ibid, hlm. 53

[22] Dr M. Emarah, Tayyarāt al-Fikri al-Islāmy, (Beirut:  Daru-s-suruq, Cet. II, 1997), hlm. 39

Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...