Izinkan Aku Meminangmu

dakwatuna.com – Setiap kali aku memandang bintang di langit malam yang begitu jauh . Aku merasakan jurang pemisah antara Aku dan Nisa yang makin menganga lebar. Kepergiannya setahun yang lalu untuk merantau ke negeri orang masih menyisakan perih di dasar hatiku. Ketika kutatap matanya yang bening tersimpan sebuah kesedihan yang menyesakkan dada. Saat kudekap ke dalam pelukanku aku merasakan gemuruh di dasar hatinya dan air mata telah meleleh di pipinya.

Memang bukan keinginan Nisa untuk pergi dari kota ini. Keadaan keluarganya yang broken home memaksa dirinya untuk ikut bersama Ibunya ke Belanda. Di dalam hatiku aku tak tau siapa yang harus kusalahkan atas kepergian Nisa dari sisiku. Aku hanya bisa pasrah dengan takdir yang telah berkata.

Pengeras suara yang melengking di bandara internasional Adi Sumarmo seakan menyadarkan lamunan yang baru saja menghampiriku. Doaku kembali sesak sesaat kulihat Nisa kembali meneteskan air mata.

“ Aku pasti akan cepat kembali Za, entah itu kapan akan terjadi. Tapi aku akan selalu merindukanmu setiap waktu.“ Teriris hatiku mendengar kata-kata Nisa.

Tak kupungkiri kesedihan pun masih menggelayutiku. Setahun kebersamaanku dengan Nisa yang kulalui dengannya kini bagai debu yang tertiup angin. Jemariku menghapus air mata yang membasahi pipinya. Kuraih dia kedalam pelukanku seakan enggan untuk kulepaskan. Pelukan Nisa perlahan memudar saat Ibunya memanggilnya untuk menuju pesawat yang telah siap berangkat.

Ibu Ami pun terharu melihat perpisahan di antara kami yang tak pernah terduga sebelumnya.

“ Aku pergi Za “ Kata Nisa sambil berbalik meninggalkanku. Aku hanya bisa memandangi raut wajahnya dengan hati yang pilu, semakin lama aku melihatnya semakin menjauh dari pandanganku. Akhirnya burung baja itu pun menerbangkannya ke negeri seberang.

***

Setahun kemudian setelah perpisahan itu sampai sekarang masih dapat kurasakan debaran Nisa saat berada di pelukanku. Juga air matanya masih terniang di dalam ingatanku. Untuk menahan kerinduan ini aku selalu memandang foto saat dulu kita bersama. Satu tahun kepergiannya belum dapatkan kabar tentang dirinya di negeri Kincir Angin. Namun aku tetap menjaga kesetiaan cinta ini agar suatu saat nanti cinta suci ini dapat kupersembahkan kepada dirinya saat dia kembali di sisiku.

Waktu yang semakin cepat berlalu tak dapat satupun kabar tentang dirinya. Ketika aku telpon nomornya sudah ganti. Apakah ini pertanda dia sudah melupakanku. Ah… tidak mungkin. Dia berjanji padaku untuk menjaga rasa cinta ini. Tapi kenapa dia menghilang begitu saja. Ya Allah… cinta kita memang benar kau uji. Hatiku yang resah selalu berkata.

Cintaku pada Nisa kini sudah mulai goyah pilarnya karena kehadiran Muslimah. Seorang gadis anggun yang selalu menjaga Ibadah dan Cintanya. Hatiku bergetar ketika aku jumpa dirinya. Ada rasa apa ini. Gumamku dalam hati. Dia begitu santun tutur katanya. Bahkan mata selalu menjaga pandangannya. Cinta yang dia miliki bukanlah cinta karena nafsu, tapi cinta karena Allah Swt.

Aku memang egois, janji setia yang kuberikan pada Nisa kini kunodai sendiri dengan hadirnya Muslimah di dalam kehidupanku. Untuk menjaga diri ini dari godaan setan atas saran Pak Syamsul, Ayah muslimah. Aku pun meminangnya. Ini tanpa sepengetahuan Nisa. Maafkan aku Nis…

Muslimah, gadis yang berfisik lemah itulah yang menggoyahkan pilar-pilar kesetiaanku. Aku tahu Muslimah terkena kanker hati. Hidupnya pun tak akan bertahan lama. Mungkin karena itulah perasaan cintaku padanya tumbuh perlahan-lahan.

“ Kurasakan hari-hariku semakin suram Za, apalagi dokter bilang kalau umurku tidak akan lama lagi.” Kata Muslimah tertunduk lesu.

“ Kamu kenapa bicara seperti itu, hidup mati manusia itu Allah yang menakdirkan. Itukan hanya diagnosa dokter. Muslimah, waktu yang singkat ini, kamu harus dapat menjalani hidupmu dengan ceria dan yakin kamu akan sembuh. “ Kataku memotivasi dirinya.

Muslimah tersenyum tipis sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Kami berjalan beriringan di kawasan wisata Cemara Sewu, Tawangmangu Karanganyar. Sinar matahari yang masih bersinar terik menyorot tajam di antara pucuk-pucuk cemara.

“Aku takut hari-hari yang menyenangkan ini akan segera sirna dari hadapanku jika kekasih hatimu yang dulu kembali di sisimu Za.” Jelas Muslimah padaku.

Aku terperanjat kaget baru tersadar kalau bayangan Nisa makin mengabur dari ingatanku. Haruskah aku merasa berdosa karena telah mengkhianati kesucian cinta Nisa demi seorang wanita yang begitu rapuh hidupnya.

Tidak.. aku tidak mengkhianati Nisa, Aku akan merasa berdosa jika aku membiarkan wanita shalih ini menderita sendiri di dalam hidupnya. Aku hanya ingin memberinya kebahagiaan.

“ Apa kamu yakin Nisa akan kembali ke sini “ Tanyaku

“ Aku, dia, bakal kembali ke sini. Bahkan ke dalam kehidupanmu. Hati wanita mana yang rela pujaan hatinya pergi begitu saja dari dalam kehidupannya. Apalagi cinta kalian telah terukir begitu lama. Hanya saja waktu telah menguji kalian. “ Air mata Muslimah mulai menetes perlahan dari matanya yang sayu.

Kami pun berhenti melangkah. Kutatap lekat mata Muslimah. Matanya yang bening sebening embun pagi mengingatkan aku pada Nisa. Dan kini aku kembali menyaksikan butiran air mata meluncur dari telaga Muslimah.

“ Aku pasti tidak akan maafkan kamu Za. Karena kamu telah masuk ke dalam hidupku. Aku cinta sama kamu. Dan aku tak tahu apa selama ini cintamu tulus padaku.” Bisik Muslimah sambil merebahkan kepalanya di dadaku.

Aku hanya terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa. Memang cintaku kepada Muslimah cinta karena peduliku pada dirinya. Bukan cinta karena kesetiaan. Aku selama ini hanya tak tega melihat gadis seshalihah dia hidup sendiri tanpa sebuah cinta hanya karena rasa sakit yang dialaminya. Manusia macam apa aku ini. Cintaku yang tumbuh karena nafsu kini mengikis sudah ke dalam rongga hidupku. Aku hanya bisa pasrah dalam menjalani hidup ini. Bagaimanapun aku akan selalu menjaga istriku ini. Sampai kapanpun meski ajal telah memisahkan kita berdua. Aku harus mulai melupakan Nisa. Dia bukan milikku. Dia hanya sebatas kenangan dalam catatan hatiku.

Ku peluk erat Muslimah dan kukatakan padanya “ Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu setia menjaga rasa cinta ini. “ Air mataku pun tak terbendungkan.

Dalam perjalanan pulang keheningan menyergap kami berdua. Kubiarkan saja Muslimah terhanyut dalam pikirannya sendiri. Matahari sudah terbenam yang terlihat hanya sebuah bulatan yang berwarna kuning jingga indah menghias langit.

***

Hari demi hari berlalu dengan cepatnya. Aku bagaikan berlari mengejar waktu. Hingga kini sudah 3 tahun perjalanan cintaku bersama Muslimah. Dan 3 tahun pula kepergian Nisa ke Negeri Tulip. Tapi perasaan ini masih saja ada untuk Nisa.

Sore ini seperti biasa aku menanti Muslimah di hutan pinus untuk melihat matahari terbenam. Kulirik arloji di tanganku, sudah 10 menit aku berdiri di tempat ini. Tapi Muslimah belum ada tanda-tanda kedatangannya. Dari jauh aku mendengar deru mobil menuju ke arahku. Dan memang benar sebuah mobil Baleno berwarna biru laut berhenti tepat di depanku. Sesaat sosok wanita turun dari mobil itu . Mataku terbelalak lebar, saat aku tau siapa wanita itu yang kini berdiri di hadapanku.

Nisa… benarkah wanita yang kulihat itu adalah Nisa. Rasa tak percaya di dalam diriku. Mungkin ini hanya halusinasiku belaka. Saat wanita itu menyebut namaku aku baru percaya kalau ini memang nyata. Bukan halusinasi. Dulu ketika kita masih bersama seringkali kita menghabiskan waktu sore hari di hutan pinus ini hanya untuk melihat terbenamnya matahari. Dan sinilah kita berjanji untuk saling setia. Teringat kenangan itu membuat diri ini bersalah.

“ Apa kabar Za. Setiap detik setiap menit aku selalu merindukanmu. Aku tak sabar menanti hari ini untuk bertemu denganmu. Apa kau masih ingat janji setia kita. Dan maafkan aku selama ini tak kubalas kerinduanmu padaku. Aku hanya ingin tau seberapa besar rasa cintamu padaku. Apakah kamu tetap menjaga kesetiaan ini. “ Semburat kata-kata Nisa membuat aku tertegun tak berdaya. Apa yang akan terjadi jika dia tahu bahwa hati ini sudah ada yang menggantikannya.

“ Ada apa Za. Kenapa kamu diam. Apa ada yang salah dengan kehadiranku.Apa aku sudah jauh berbeda dengan Nisa yang dulu. Apa kau marah padaku.” Kata-kata tajam meluncur dari bibir manisnya Nisa. Seakan dia menginterogasi diriku. Ada apa ini. Kok tidak ada senyum khas di wajahmu.

Aku sulit untuk berbicara. Bibir ini terkunci rapat. Dan kuncinya itu hilang entah kemana. Aku bingung…….Kenapa ini harus terjadi kembali. Ya Allah…Apa salah hamba.

“Apa kau benar-benar Nisa, yang aku rindukan dan nantikan selama bertahun-tahun?“ rasa tak percaya seakan masih menyelimuti diri ini.

Nisa mengangguk pelan diiringi air mata yang membanjiri pipinya seakan menyakinkan aku kalau dia benar-benar wanita pujaanku.

Di depan sana aku tak menyadari tatapanku. Ada air mata menetes dari sudut matanya. Perih kurasakan bagai menikam jantungku dan kini aku tersudut tak tau apa yang harus aku lakukan. Seandainya dulu aku tak merobohkan kesetiaanku untuk Nisa dan tidak memasukkan Muslimah ke dalam kehidupanku, mungkin sekarang ini aku tak menambah deret luka di hati Nisa.

“Siapa dia Za ?” Tanya Nisa penuh rasa penasaran mengenai gadis itu.

Dia menanyakan siapa wanita itu yang bergaun putih di seberang sana. Aneh, Muslimah yang sedang kami perhatikan tak bergeming dari tempatnya berdiri. Wajah manisnya bagai sinar yang terpantul oleh sang Surya. Ada yang lain dengan Muslimah. Walaupun sekarang dia sudah ada di depanku tapi, kurasakan kehidupannya jauh dariku. Seakan desah nafasnya sudah tidak dapat kurasakan lagi.

“ Kamu belum jawab pertanyaanku siapa dia Za? Sambung Nisa.

“ Muslimah… Dia istriku…” Seakan tersambar petir ketika aku mengatakan ini pada Nisa.

Aku beku ditempatku berdiri, mulutku seakan kelu, kata-kata yang akan aku ucapkan bagai tertelan api. Aku menatap mata Nisa ada guratan kegelisahan dan kekecewaan yang tergambar dari wajahnya.

“ Maafkan aku Nis… memang aku bukan pria yang setia. Saat kerinduan di hatiku makin memuncak Muslimah datang menggoyahkan kesetiaanku. “

“ Kukira kau adalah laki-laki yang tegar menghadapi semua cobaan yang merintangi jalan kita tapi nyatanya kau sangat rapuh Za. “ Rasa kesal di dalam hatinya Nisa diluapkan.

“ Aku memang tak setegar batu karang Nis. Aku rapuh saat tak ada kabar beritamu tak kunjung datang. Aku rapuh saat kukira kau telah melupakanku.”

Aku mengalihkan wajahku ke arah matahari mencoba menyembunyikan air mataku.

“ Maafkan aku Za” desis Nisa.

Angin gunung kembali berhembus menggugurkan dedaunan menimpa kami berdua, menerbangkan asaku ke tempat yang jauh.

Dering ponsel di sakuku seakan menyadarkan lamunanku. Fauzi. Ada sebersit tanya dihatiku karena dia adalah kakak Muslimah, dan sudah lama sekali dia tidak pernah menelponku.

“ Halo ada apa Kak …? “ Tanyaku penuh keheranan

Begitu mendengar apa yang dikatakan Fauzi wajahku seakan tidak percaya kalau Muslimah telah meninggal. Kankernya kambuh dan 1 jam lalu dia telah menghembuskan nafas terakhirnya, Aku masih tidak percaya dengan semua ini apakah ini mimpi. Padahal sedetik aku melihatnya berdiri di sini melihat guratan kesedihan di matanya, apakah yang kulihat tadi hanyalah ruhnya, pantas kurasakan jiwanya begitu kosong, ternyata dia telah pergi dari dunia ini. Rasa bersalah begitu besar di dalam diriku. Sebagai suaminya aku tidak berada di sisinya di saat dia membutuhkanku. Aku nyesal tiada tergantikan. Rasa bersalah begitu luar biasa menggelayuti hidupku.

“ Ada apa Za. Kenapa wajahmu pucat “ Tanya Nisa.

“ Istriku Muslimah….” teriakku histeris, dan disaat ini aku ingin berlari sekencang-kencangnya mengejar angin tapi, semua itu tak mampu kulakukan. Aku terduduk dan tak mampu bangkit lagi. Kurasakan Nisa menyentuh bahuku, matanya memandang penuh cinta padaku.

“ Apa yang terjadi pada istrimu Za? “

“ Muslimah meninggal Nis. Kankernya sudah stadium akhir dan yang kita lihat tadi mungkin hanyalah rohnya. Kata Fauzi dia telah meninggal satu jam yang lalu. “

Mata Nisa berkaca-kaca mungkin karena dia kasihan dengan apa yang terjadi pada Muslimah hingga air mata jatuh di pipinya.

***

Pemakaman telah sepi hanya ada beberapa orang yang masih di sana. Kudengar seseorang memanggilku, saat kumenoleh ternyata Fauzi, dia berjalan kearahku. Dari matanya terlihat kesedihan yang masih membekas.

“ Sebelum meninggal Muslimah berkata padaku kalau dia sangat berterima kasih padamu karena selama ini kamu telah memberinya semangat untuk hidup. Dia juga minta maaf padamu Nis karena mencoba merebut Zakia dari sisimu. Kuharap kalian mau memaafkannya agar Muslimah tenang di alamnya.” Kata Fauzi kakaknya Muslimah.

Setelah berkata begitu Fauzi bergegas meninggalkan pemakaman. Aku memandangi pusara Muslimah yang masih basah, aku yakin dia telah tenang di alam barunya. Tapi, bayang-bayang Muslimah seakan masih lekat di hatiku. Bayang wajahnya saat tersenyum seakan terlihat jelas dari makamnya. Muslimah telah memberiku satu kesempatan untuk mengulangi lagi kesalahanku di masa lalu, kesalahan dengan menduakan Nisa.

“ Terima kasih Nis…? “ batinku dalam hati. Kulirik wanita yang berdiri di sampingku itu.

“ Aku sangat berterima kasih pada Muslimah. Karena dia telah mengembalikan orang yang sangat aku cintai walaupun dia harus menebus semua ini dengan kematiannya dan aku berterima kasih setulus hatiku Za.” Kata Nisa pelan

“ Aku juga sama sepertimu Nis, karena Muslimah aku sadar kalau rasa kesepian membuatku melakukan apa saja termasuk untuk menduakanmu tapi, sekarang aku akan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan itu. “

Kini cinta yang dulu telah hilang tumbuh kembali di antara kita. Di depan makam Muslimah kita menjalin janji untuk saling setia. Dan aku katakana pada Nisa satu hal yang selama ini aku nanti-nantikan.

“ Nis… Izinkan aku meminangmu.” Tegasku padanya.

 

Agus Yulianto, S.Pd.I kelahiran Karanganyar, 27 juli 1987. Alamat desa Suruh Ngemplak RT 02, RW 02, Suruh, Tasikmadu, Karanganyar Surakarta Jawa Tengah. Memiliki hobi membaca, menulis dan Jalan-jalan di tempat yang menginspirasi. Lulusan Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Surakarta tahun 2014 ini aktif menulis di media massa. Beberapa karyanya pernah di publikasikan di media local seperti Essay/artikel judu lPendidikan Gerakan Literasi Lokal Suara Mahasiswa Harian Umum Solopos, Essay/artikel judul Ironis Mahasiswa Tidak Berorganisasi suara mahasiswa Harian Umum Solopos ,Opini Harmonisasi Perpustakaan, Pustakawan dan Masyarakat Mimbar Mahasiswa Majalah Respon , Opini Kegiatan Ekstrakurikuler Anti Terorisme Mimbar Mahasiswa Majalah Respon, OpiniIronis Mahasiswa Apatis Mimbar Mahasiswa Majalah Respon, Opini Dinamika Prodi Kependidikan & Keguruan (Kebijakan PPG) Majalah Hadila Yayasan Solopeduli, Gagasan Pendidikan Anti Kekerasan Berbasis Sekolah Ramah Anak majalah Respon, Kumpulan Antologi puisi bersama Jagad Abjad diterbitkan oleh Teater IAIN Surakarta, Kumpulan Antologi Cerita Pendek diterbitkan oleh ISIS IAIN Surakarta, Antologi Cerpen Kisah Inspiratif FLP Solo Raya, beberapa karya sastra cerpen dan sajak pernah dimuat di Majalah Mar�ah, Majalah EMBUN Lazis Jateng, Majalah Remaja Smartten Solopeduli, Harian Umum Joglosemar, Harian Umum Solopos dan lain sebagainya. Prestasi yang pernah raih; Juara 1 Lomba Baca Puitisasi Qur�an Se-MTsN Kabupaten Karanganyar tahun 2003, Finalis Lomba Baca Puitisasi Qur�an Pekan Olah Raga &Seni (PORSENI) MTs Se-Jawa Tengah tahun 2003, Finalis Lomba KaryaTulis Ilmiah & Resensi Buku Tingkat SLTA Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) tahun 2004, Finalis Debat Mahasiswa BEM STAIN Surakarta tahun 2010, Juara 3 Lomba Baca Puisi Islamic Book Fair Solo Raya tahun 2011, Juara 3 Lomba Baca Puisi Islamic Book Fair Solo Raya tahun 2012, Juara 2 Debat Mahasiswa BEM Jurusan Tarbiyah STAIN Surakarta tahun 2011, Penghargaan sebagai Pembaca Terbaik dari Perpustakaan Kabupaten Karanganyar & TASCAKRA Award 2010. Sekarang bergiat di FLP Soloraya & Komunitas Sastra Pakagula Karanganyar.
Disqus Comments Loading...