dakwatuna.com
Kau tahu betapa peluh ini banjir di arena perjuangan?
Seolah kau buta dengan liur yang tertetes, menetes dalam otak teracun ambisi.
Ingin kau isi dengan dentingan nadi, terpacu tak terperi.
Aku bukan siapa-siapa. Hanya kaki yang berlumur garam,
Sempurna mendekap luka berubah legam,
Mungkin, karena ia tak lagi berdarah dan bernanah,
Mati Rasa!
Sebuah jejak yang tak dipaksa mengayun,
Meski dengan tertatih,
Bisakah kau kabarkan dengan lembut, tangan yang tak lagi mendekapku erat.
Bahwa detik dan jam pasirpun mengarah kepada guratan senyum di wajahnya yang purnama, mengusik! Mengusik mataku menatap wajahnya lebih lama.
Tak mudah, berjalan di antara pelumas untuk terus naik ke atas.
Kau percaya bahwa aku bisa? Mengejar ambisi ini bak kuncup mawar yang mekar dengan duri yang tajam menggelora.
Karena asa tak untuk bersuara, hanya berbisik kepadamu dengan lirih. Nadiku rindu memanggil namaku yang utuh,
Aku hanya, kaki-kaki yang berlumur garam dan terluka.
Perih! Sudah mati rasa!
Sampaikan pesan hatiku untuk segera memeluk asa. Untuk dunia dan seisinya…
Sempurna!
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: