Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Suanggi, Magic Ala Pulau Rote

Suanggi, Magic Ala Pulau Rote

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sihir, tenung, santet atau ilmu hitam sejenisnya memang ada dalam masyarakat kita. Pada masing-masing daerah ilmu hitam ini dikenal dengan berbagai nama dan sebutan. Di Pulau Rote dan sekitarnya termasuk Timor, Alor dan Sabu ilmu hitam ini dikenal dengan nama Suanggi : sebuah ”persahabatan” antara manusia dengan Buntiana.

Dalam seminggu ini ramai diberitakan, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten, Rano Karno terkena sakit serius. Syaraf-syaraf di wajahnya mengalami gangguan sehingga terlihat sedikit ”berantakan”, bahkan mata kirinya mulai terganggu penglihatannya. Pemberitaan di tv terlihat wajah Rano Karno seperti orang yang terkena stroke. Sayangnya, berita sakitnya Rano Karno dibumbui dengan rumor bahwa dia terkena santet. Sebagian masyarakat tentu saja percaya dengan rumor itu, pasalnya Banten pada masa lalu dikenal banyak dukun santet, terutama di daerah pesisir Selatan atau di pedalaman.

Mengenai santet atau ilmu hitam sejenis, sesungguhnya dikenal hampir di seluruh negeri di Nusantara ini, tak terkecuali di Pulau Timor dan sekitarnya, seperti Pulau Rote, Pulau Sabu dan Pulau Alor. Di daratan Flores dan Sumba mungkin ada juga ilmu hitam sejenis namun penulis tidak mengetahuinya dengan pasti. Di daratan Pulau Timor, di Alor, di Sabu dan daerah asal penulis, yakni Pulau Rote, ilmu hitam semacam santet ini dikenal dengan nama ’Suanggi’ dan orang yang mengamalkan ilmu suanggi disebut ’Tukang Suanggi’.

Suanggi dan Tukang Suanggi memang masih akrab dengan masyarakat di sini. Di pedesaan, orang dengan mudah menunjuk siapa yang dicurigai sebagai Tukang Suanggi. Bahkan di Kota Kupang yang masyarakatnya lebih terpelajar bahkan pejabat tinggi pemerintahan sekalipun masih ada yang percaya dan terpengaruh dengan kekuatan Suanggi ini. Sehingga di Kota Kupang sekalipun banyak juga orang yang dicurigai sebagai Tukang Suanggi.

Buntiana

Jika hari ini kita bertanya pada sebagian masyarkat di Timor, Alor, Sabu dan Rote tentang Suanggi, maka orang akan menjelaskan tentang suatu kemampuan ”menyerang” orang dengan menggunakan ”jasa” Buntiana. Secara umum, Buntiana yang dipahami masyarakat di sini mirip dengan apa yang disebut ’Kuntilanak’. Sedangkan ’Tukang Suanggi’ itu adalah orang yang dicurigai memelihara Buntiana di rumahnya,” begitu biasanya orang menjawab tentang arti Suanggi. Seperti apa makhluk Buntiana itu? Setiap orang akan menggambarkannya dengan versi berbeda. Hanya saja sosok Buntiana sini bukan seperti Kuntilanak dalam film atau sinetron, yakni perempuan dengan rambut terurai, bergaun putih dan wajah menyeramkan. Namun ada satu ciri yang disepakati di sini bahwa Buntiana itu dikenal dari teriakannya di malam hari yang sering terdengar dari sekitar rumah si Tukang Suanggi. Si Tukang Suanggi juga sering dilihat orang dari kebiasaannya ”memberi makan” Buntiana, yang tentu saja lain dari kebiasaan orang beriman dan berilmu.

Orang yang dicurigai sebagai Tukang Suanggi biasanya dikenali dari bola matanya yang memerah, badan dan pakaiannya terlihat kotor karena jarang mandi dan bermuka kusam pekat serta kesehariannya terlihat aneh dalam masyarakat. Dari cerita yang berkembang, sebelum ”memakan” korbannya mereka akan menari-nari tanpa busana di tengah malam saat purnama di depan atau belakang rumah mereka. Bahkan di jalan raya dan tanah lapang. Tak jarang orang kampung memergoki si Tukang Suanggi sedang menari. Namun karena takut, orang akan lari menghindar. Informasi soal Tukang Suanggi yang menari di tengah malam kadang diceritakan sndiri oleh anggota keluarga si Tukang Suanggi itu sendiri. Inilah yang membuat masyarakat makin percaya bahwa Tukang Suanggi itu benar ada.

Oleh Tukang Suanggi, Buntiana bisa disuruh untuk meyerang korbannya dengan membuatnya sakit. Selain menyuruh Buntiana, Tukang Suanggi juga menggunakan benda-benda lain dalam menjalankan prakteknya, seperti tanah kuburan, telur, bonek dari daun lontar, jarum dan sebagainya. Seseorang menderita sakit yang sangat secara tiba-tiba pada bagian perut, dada, punggung atau kepala disertai jeritan, biasanya langsung difonis terkena Suanggi. Orang juga bisa memakai jasa Tukang Suanggi untuk menyerang lawan atau atau orang lain yang tidak disukainnya. Ini fenomena biasa yang terjadi di mana saja.

Tukang Barobat

Pada masyarakat yang tinggal dekat puskesmas, biasanya tindakan pertama pada si sakit dengan memanggil tenaga medis dari puskesmas. Biasa juga dibawa ke rumah sakit umum di ibukota kabupaten. Dugaan si sakit terkena Suanggi makin kuat jika petugas medis tidak bisa memberikan kepastian sakit apa yang diderita korban. Apalagi kesimpulan diagnosa menyebut si korban tidak terindikasi sakit apa-apa, maka kesimpulan si sakit terkena Suanggi makin menguat.

Sama seperti setiap sakit yang ada obatnya atau setiap racun yang ada penawarnya, maka korban Suanggi juga ada yang bisa menyembuhkan, mereka disebut ’Tukang Barobat’. Tukang Barobat ini sesungguhnya menjalankan praktek perdukunan yang umum kita kenal, dengan media pengobatan air dan jampi-jampi serta sedikit pijat sana-sini. Mereka, para Tukang Barobat ini juga ada di mana-mana, dari pelosok hingga kota. Hanya saja, di daerah lain sang dukun menerima bayaran, di sini si dukun cukup diapresiasi dengan duduk ngopi bersama atau sebungkus rokok. Pada kampung yang banyak Muslim-nya, Tukang Barobat ini keseharianyna terlihat cukup shaleh, rajin sholatnya, pandai memimpin tahlil dan panjang doanya. Dalam mengobati mereka tentu saja menggunakan doa dan ayat-ayat Quran, ada juga yang mengamalkan Kitab Mujarobat sebagai mantranya.

Dalam rangkaian pengobatannya,Tukang Barobat biasanya membisiki keluarga korban siapa pelaku Suanggi. Tak jarang pula orang yang dituduh melakukan Suanggi, justru mengakui bahwa dialah pelaku Suanggi-nya Jika sudah begini, tak jarang timbul fitnah yang berakibat fatal. Sudah banyak orang yang dituduh atau yang mengaku sebagai Tukang Suanggi oleh masyarakat dikucilkan, dipukuli, rumahnya dibakar, diusir dari kampungnya bahkan ada yang diceburkan rama-ramai ke laut hingga mati.

Melati dan Pak Ustadz

Belum lama ini seorang ibu muda kerabat penulis, sebut saja namanya Melati, yang berasal dari Pulau Rote dan tinggal tak jauh dari Kota Kupang, mengalami sakit yang oleh keluarganya diyakini sebagai akibat Suanggi. Selama ini keluarga Melati tidak pernah mengalami sakit akibat Suanggi. Melati dan suaminya memang termasuk orang berpunya di kampung mereka. Hingga sampai pada suatu hari di awal Desember tahun lalu, Melati tiba-tiba merasakan panas badanya meninggi, ditambah sakit yang melilit perutnya. Oleh suami dan keluargnya Melati dilarikan ke puskesmas terdekat. Dari pemeriksaan tenaga medis di puskesmas itu Melati disimpulkan mengalami gejala tipes, tapi tak perlu dirawat.

Dua hari kemudian, kembali perut Melati sakit melilit yang kemudian membesar sehingga ia tak mampu lagi berjalan. Tak menunggu lama, keluargnya langsung membawanya ke rumah sakit umum di ibukota kabupaten. Setelah diperiksa, dokter menyarankan agar dia dirawat, meskipun dokter sendiri belum meyimpulkan sakit apa yang diderita Melati. Di rumah sakit itu Melati saat buang air besar ada dua butir kotoran sebesar kelereng berwarna coklat kehitaman. Meski begitu, petugas di puskesmas itu berkesimpulan bahwa Melati tidak menderita sakit apa-apa. Oleh karena itu, walau dalam keadaan lemas keluarganya memutuskan untuk membawa Melati pulang.

Di rumah, keluarganya langsung mengambil kesimpulan bahwa Melati disuanggi orang. Berbagai hal mulai dirangkai untuk membenarkan kalau Melati benar terkena Suanggi. Sejurus kemudian, orang yang dipercaya sebagai Tukang Barobat diminta untuk menyembuhkan Melati. Sudah sebulan berusaha, sakit Melati tak ada tanda-tanda sembuh, padahal sudah beragam obat ia telan baik dari puskesmas maupun ramuan dari si Tukang Barobat, namun tanda-tanda untuk sembuh tak tampak. Bahkan, sakitnya makin beragam, panas-dingin, perut sering mules dan melilit, kepala terasa sakit dan pada jam-jam tertentu tulang punggung dan persendian terasa mau lepas dan sakit kalau ditekuk. Bahkan berat badannya turun drastis sehingga ia terlihat sangat kurus. Tentang sakit Melati ini, banyak orang termasuk beberapa ”orang pintar” punya kesimpulan yang sama ”dibikin orang” alias disuanggi. Lalu, bagaimana obatnya” ”Ya harus orang pintar juga”, begitu saran semua orang. Beberapa orang yang dianggap ”pintar” dari kampung yang jauh juga didatangkan. Hasilnya? Sama saja, tak ada perubahan, bahkan sakitnya makin menjadi-jadi.

Suatu pagi, salah satu keluarga Melati datang beri informasi. Bahwa ada seorang ustadz yang baru tiba dari Surabaya. Si ustadz datang dalam keperluan dakwah dari masjid ke masjid dan kebetulan sudah dikenal lama oleh keluarga Melati itu sebagai ”orang pintar”. ”Gratis, yang penting kita percaya dan yakin bahwa Pak Ustadz bisa menyembuhkan,” demikian advis keluarga Melati itu.

Setelah ditemui siangnya, malam selepas Isya Pak Ustadz datang. ”Mungkin Anda semua diminta Tuhan untuk lebih banyak bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim,” begitu nasihat pertama Pak Ustadz setelah melihat kondisi Melati. Spontan seisi rumah mengiyakan tak keberatan.

Pak Ustadz kemudian membenarkan, bahwa Melati ”dibikin” orang. Pengobatannya tak bisa ditunda, harus sekarang juga. Si ustadz meminta untuk mengosongkan sebuah kamar yang lebih dekat dengan kamar Melati berada. Ustadz meminta beberapa sajadah untuk digelar. Di dalam kamar yang gelap dan hanya diterangi sebuah lilin Pak Ustadz berzikir sendirian. Setelah hampir sejam Pak Ustadz Keluar. ”Insya Allah, penyakit Ibu Melati bisa teratasi,” kata Pak Ustadz membuat hati keluarga Melati lega.

Semenit kemudian, ketika seisi rumah masih dalam keheningan, tiba-tiba terdengar bunyi seperti perabot dapur dibanting dari dalam kamar tempat Pak Ustadz berzikir tadi yang masih gelap itu. Pak Ustadz kemudian membuka pintu kamar sambil mengucap salam, ”Assalamu’alaikum”. Lampu kemudian dinyalakan lalu keluarga Melati dipersilahkan melihat apa yang baru saja terjadi. Masya Allah..! Di tengah kamar ada segunduk tanah merah yang masih basah dengan beberapa bekas telapak kaki yang mengarah ke jendela seukuran anak tiga tahun. Anehnya, hanya ada tiga jari pada telapak kaki itu. ”Pemilik telapak kaki ini adalah mahluk yang dikirim seseorang untuk membunuh salah satu dari suami istri di rumah ini,” demikian kata Pak Ustad. Dalam keadaan tertatih-tatih, Melati disuruh berwudhu dan shalat taubat dua rakaat bersama suaminya. Setelah itu Pak Ustadz membacakan sebuah ayat yang menerangkan azab dan siksa neraka bagi orang yang melakukan praktek ilmu hitam.

Pada malam berikutnya, Pak Ustadz dapat mengambil segunduk tanah coklat kehitaman dan dua butir telur ayam dari samping rumah keluarga Melati. Pak Ustadz menjelaskan, tanah itu adalah tanah kuburan sedangkan dua telur itu di tanam bersamaan dengan tanah itu. Jika salah satunya pecah berarti salah satu nyawa di rumah Melati ada yang melayang. Kedua telur itu akhirnya dipecahkan sendiri oleh Pak Ustad.

Di malam ketiga, keluarga Melati lebih tercengang lagi. Dari dalam kamar itu Pak Ustadz mengambil sebuah boneka yang terbuat dari anyaman daun lontar, kayu dan kain berukuran setengah meter. Boneka itu berlumuran tanah merah basah dengan posisi perut, kaki dan tangan agak ditekuk. ”Ini yang membuat perut, kaki dan tangan ibu sakit,” kata Pak Ustad. Melati lalu disuruhnya melangkahi boneka dan gundukan tanah itu sambil membaca ”Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Roojiuun” dan ”Laa haula wa Laa Quwwata Illaa Billaahi” berulang kali hingga ia benar-benar lelah.

Sejak boneka itu diambil, kesehatan Melati mulai membaik. Dia tak lagi demam, perut dan persendiannya juga tak sakit lagi. Hanya saja badannya masih lemas dan tak bertenaga. Pak Ustadz kemudian menyarankan agar Melati dibawa ke dokter di Kupang. Dari dokter di Kupang akhirnya bisa diketahui bahwa Melati itu menderita penyakit maag yang sudah akut dan penyakit itulah yang diobati dokter.

Sehari sebelum Pak Ustadz berpindah daerah untuk melanjutkan safari dakwahnya, dia sempatkan diri mengunjungi Melati. Menurut Pak Ustad, sebenarnya dia bisa menunjukkan siapa orang yang ”membikin” Melati itu. Hanya saja, itu akan merusak silahturahmi mereka. Pak Ustadz hanya memberikan nasihat agar supaya terhindar dari segala kejahatan sihir, tenung dan sebagainya, kita harus meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah. Perbanyak mengaji, sedekah dan sebagainya.

Sebenarnya keluarga Melati sudah sudah siapkan sedikit oleh-oleh untuk Pak Ustadz dan keluarganya di Surabaya namun ia menolaknya. Malah keluarga Melati dihadiahi sebuah buku yang diselipkan sebuah tulisan tangan Pak Ustad. Ia mengutip doa Imam Ali Zainal Abdin : ”Tuhan, aku tidak tahu, mana yang lebih aku syukuri, sakit atau kesehatan. Karena ketika aku sakit, aku berhenti berbuat nista dan aku jadi memiliki banyak waktu untuk berzikir kepada-Mu. Aku juga punya banyak waktu utuk bertafakur dan merenungkan kehidupan.” Wallahu a’lam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Papela, Kec. Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi. Pernah di redaksi Majalah Warnasari (Pos Kota Group) dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Lihat Juga

Catatan Kecil di Hari Ibu: Bunda yang Mengajari Aku Shalat Jamaah

Figure
Organization