Pengertian Syiah (Bagian ke-2): Definisi Syiah Secara Epistemologi (Istilah)

B. Definisi Syiah secara Epistemologi (Istilah)

dakwatuna.com – Para peneliti dan sarjana berbeda pendapat mengenai definisi Syiah secara istilah, seperti tertera sebagai berikut:

1. Definisi Syiah Menurut Ulama’ Ahlu Sunnah

Ulama’ Ahlu Sunnah tidak satu kata dalam mendefinisikan Syiah; sebagian berpendapat bahwa Syiah adalah pengikut dan pendukung Imam Ali dan Ahlu al-Bait, sebagian menambahkan kriteria lain yaitu pandangan bahwa Imam Ali lebih utama dari Sahabat lainnya, sebagian menambahkan kategori lain lagi yaitu bahwa Imam Ali dan keturunannya lebih berhak memegang tampuk kepemimpinan pasca-meninggalnya Nabi Saw. Sementara, sebagian lagi menambahkan ketegori lain yaitu keyakinan bahwa Imam Ali adalah pemimpin pasca-meninggalnya Nabi yang diperkuat dengan naskah tertulis serta wasiat dari Nabi. Tidak tampilnya beliau sebagai pemimpin itu disebabkan oleh kedzaliman lainnya, atau karena taqiyyah darinya.

Berikut definisi-definisi tersebut secara terperinci:

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (W. 424 H) berpendapat bahwa sebuah kelompok disebut Syiah “Karena mereka mendukung Imam Ali Ra, serta menganggapnya lebih utama daripada Sahabat Nabi lainnya”[1].

Sementara, Ibnu Hazm (W. 456 H) yang hidup sezaman dengan Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa kriteria Syiah tidak hanya mendukung Imam Ali tapi juga keturunannya dengan menganggap mereka sebagai manusia terbaik dan lebih utama dari para Sahabat lainnya dalam memegang tampuk kepemimpinan pasca-meninggalnya Nabi Saw.

“Siapa yang setuju bahwa Imam Ali Ra merupakan manusia terbaik setelah Rasul serta menganggap beliau dan keturunannya paling berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan, maka ia termasuk Syiah, walaupun ia tidak sepakat dengan mereka dalam masalah lain. Tapi jika ia tidak sepaham dalam hal-hal yang kita sebutkan di atas, maka ia tidak bisa disebut Syi’ah”[2].

Sedangkan Ibnu Khaldun (1332-1406 M), mendefinisikan Syiah dengan definisi yang lebih umum: “Pengikut Imam Ali dan Ahli al-Bait”[3].  Definisi ini sering diketengahkan oleh ulama’ Syiah.

Adapun Syahrustani (W. 548 H), mendefinisikan Syiah sebagai berikut:

“Orang-orang yang mengikuti dan mendukung Imam Ali, lalu berkeyakinan bahwa Imam Ali adalah pemimpin yang ditentukan melalui naskah tertulis dan wasiat (baik jelas maupun samar) dari Nabi, lalu kepemimpinan tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada keturunannya; dimana kepemimpinan tersebut tidak keluar dari mereka kecuali karena kezaliman dari pihak lain, atau karena taqiyyah dari mereka. Bagi mereka masalah Imamah (pemerintahan) merupakan masalah prinsipil dan termasuk salah satu rukun agama, yang tidak boleh diabaikan oleh Rasul serta diserahkan kepada pilihan publik (umat).

Selain mensepakati konsep Imamah berdasarkan naskah tertulis dan wasiat, mereka juga meyakini kemaksuman para Nabi dan Imam (baik dari kesalahan besar maupun kecil), serta konsep at-tawalli wa at-tabarri (mengangkat Imam Ali dan keturunannya sebagai wali atau pemimpin serta berlepas diri dari para musuhnya, baik secara lisan maupun perbuatan)” [4].

Definisi Syahrustani yang dianggap oleh banyak kalangan paling komprehensip (lengkap-mencakup) ini memuat 7 kriteria Syiah sebagai berikut:

  1. Mendukung Imam Ali;
  2. Meyakininya sebagai pemimpin pasca-meninggalnya Nabi tanpa jeda waktu yang ditentukan melalui mekanisme Naskah Tertulis dan Wasiat dari Nabi;
  3. Kepemimpinan ini diwariskan kepada keturunannya secara turun-temurun yang juga melalui jalur teks dan wasiat;
  4. Keyakinan ini merupakan masalah prinsipil dalam agama, karenanya tidak boleh diabaikan oleh Rasul, dengan diserahkan kepada Umat;
  5. Meyakini bahwa para Imam merupakan orang-orang yang maksum seperti Nabi Saw;
  6. Meyakini konsep at-tawallī wa attabarrī (loyal terhadap para Imam dan berlepas diri dari musuh-musuhnya).

Demikian beberapa definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ Perbandingan Agama dan Firaq dari kalangan Ahlu Sunnah mulai dari Imam al-Asy’ari, Ibnu Hazm, Ibnu Khaldun dan Syahrustani.

2. Definisi Syiah Menurut Ulama’ Syiah

Secara redaksi para ulama’ Syiah juga tidak satu kata dalam mendefinisikan Syiah; sebagian berpendapat bahwa Syiah adalah pengikut Ahlu al-Bait, sebagian berpendapat bahwa Syiah adalah kelompok Ali bin Abi Thalib, yang mendukungnya serta mengangkatnya menjadi pemimpin, sebagian mengatakan bahwa Syiah adalah kelompok yang berkeyakinan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin pasca-meninggalnya Nabi tanpa jeda waktu, serta membelanya dengan penuh loyalitas, sebagian menambahkan kategori lain yaitu adanya naskah tertulis dan wasiat dari Nabi.

Berikut contoh beberapa definisi Syiah menurut tiga orang ulama’ Syiah klasik, dan dua orang ulama’ Syiah kontemporer:

Dua orang ulama’ Syiah klasik yaitu an-Naubakhti, yang hidup pada awal abad keempat -wafat tahun 310 H-, serta al-Qummi yang wafat pada tahun 300 H mengatakan bahwa Syiah:

“Adalah kelompok Ali bin Abi Thalib, yang disebut pengikut Ali di zaman Nabi. Kelompok ini di kemudian hari dikenal dengan kelompok yang selalu bersamanya, serta mengangkatnya sebagai pemimpin”[5].

Sementara, Syeikh al-Mufid seorang ulama’ Syiah ternama yang hidup pada abad kelima Hijriyah, tepatnya wafat pada tahun 423 H, juga berpendapat demikian, namun dia menambahkan kriteria lain yaitu, adanya loyalitas, keyakinan, serta penolakan terhadap kepemimpinan yang lainnya. Dalam hal  ini Mufid berkata:

“Syiah adalah pengikut yang sangat loyal terhadap Amir Mukminin (Ali bin Abi Thalib). Mereka meyakini kepemimpinannya pasca-wafatnya Rasulullah Saw tanpa jeda waktu, serta menolak kepemimpinan sebelumnya. Mereka juga meyakini bahwa Imam Ali adalah pemimpin yang diikuti, tidak mengikuti siapapun”[6].

“Jadi lafal Syiah jika ditambahkan dengan huruf alif dan lām, selalu bermakna pengikut Amir Mukminin (Ali bin Abi Thalib), yang mengikutinya dengan penuh loyalitas, serta meyakini kepemimpinannya pasca meninggalnya Rasulullah Saw”[7].

At-Thabathabai, seorang ulama’ Syiah kontemporer mengatakan bahwa Syiah adalah sebutan bagi mereka yang berpendapat bahwa kepemimpinan setelah Nabi Saw hanya dipegang oleh Ahli Bait. Sehingga yang dimaksud dengan Syiah dalam wawasan keislaman adalah “Pengikut Ahli Bait”[8].

Sementara, Muhammad Jawad Mughniyah, yang juga merupakan salah satu ulama’ Syiah kontemporer, mengatakan bahwa lafal Syiah merupakan simbol bagi mereka yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah khalifah (pemimpin) dengan naskah tertulis dari Nabi.

Menurut Jawad Mughniyah, inti Syiah adalah keyakinan “Bahwa seorang Imam (dalam hal ini Imam Ali dan keturunannya) diangkat melalui naskah tertulis, memegang tampuk pemerintahan, serta memerintah dengan kehendak Allah bukan dengan kehendak manusia”[9].

Bersambung…

Catatan Kaki:

[1] Abu al-Hasan bin Isma’il al-Ay’ari, Maqālat al-Islāmiyyin wa ikhtilāf al-Mushallīn, Helmoth Ryter (Ed), (Kairo: al-hai’ah al-amah liqushur ats-tsaqafah, Cet. IV, 2000), hlm. 3

[2] Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Fasl fī al-Ahwā’ wa an-Nihal, (Kairo: Maktabah al-Khonji, 1321 H.), hlm. 2/113

[3] Abdurrahman Ibnu khaldun, Muqaddimah, (Kairo: Dar as-Sya’b, Cet. I), hlm. 175

[4] Abi al-Fath Muhammad Abdu al-Karim as-Syahrustani, al-Milal wa an-Nihal, Muhammad Sayyid al-Kailani (Ed), (Kairo: Maktabah Mustafa al-Halaby, Cet. I, 1976), hlm. 1/146

[5] Abu Muhammad al-Hasan bin Musa an-Naubakhti, dan Saad bin Abdullah al-Qummi, Firaq as-Syiah, Tahqiq Dr. Abdul Mun’im al-Hifni, (t.k: Maktabah ar-Rasyad, t.t), hlm. 15

[6] Muahammad bin Muhammad Nu’man al-Mufid, Awāil al-Maqālat fī al-Madzāhib al-Mukhtārāt, Komentar Fadhlullah az-Zinjani, (Najf: Al-Haidariyah, Cet. III, 1393), hlm. 33.

[7] Ibid.

[8] Muhammad Husain at-Tabatabai, as-Syiah fī al-Islām, (t.k: t.p dan t.t), hlm. 30

[9] Muhammad Jawad al-Mughniyah, as-Syiah fī al-Mīzān, (Beirut: Dar al-Jawwad, Beirut:  dan Dar at-Tayyar al-Jadid, Cet. X, t.th), hlm. 10

 

Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...