Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Jembatan Jodoh

Jembatan Jodoh

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Orang-orang di kampung kami biasa menyebutnya dengan jembatan jodoh. Jembatan ini menghubungkan antara kota kami dengan kabupaten Asahan. Sebenarnya nama jembatan ini adalah jembatan tabayang singkatan dari Tanjung Balai –Sei Kepayang, salah satu kecamatan di Asahan. Ya, namun orang-orang sering menyebutnya dengan jembatan jodoh. Tak tahu entah siapa dan kapan gelar itu disematkan. Tapi yang pasti, kata mereka sudah banyak orang yang kemudian menemukan pasangannya di sana. Jembatan ini biasa dikunjungi orang untuk bersantai. Banyak orang yang membuka lapak jualan di jembatan ini.

Aku sama sekali tidak percaya dan tidak tertarik untuk kemudian menghabiskan waktu setiap hari di sana. Kalaupun aku harus ke sana, aku lebih memilih datang sore hari dan menikmati jagung bakar di jembatan itu. Sore hari menjelang senja, pemandangan dari jembatan jodoh memang sangat memikat siapapun. Sungai Silo yang mengalir di bawahnya terlihat mengkilap diterpa sinar matahari yang mulai jatuh. Boat-boat kecil dan besar bersandar di tepi sungai. Ada beberapa juga yang menurunkan jangkarnya dan bertambat di tengah sungai. Angin sore akan memanjakan tubuh kita yang sedang lahap menyantap jagung bakar atau pisang kopit.

“Kau harus datang kawan. Kau harus datang ke acara pertunanganku.”ucap Johan dengan sangat semangat. Aih, kapan pula temannya ini punya teman wanita, pacar, atau apalah namanya kalau semua yang pernah dijodohkan padanya tak pernah cocok.

“Tunangan? Dengan siapa?”tanyaku heran.

“Ha…ha…aku tahu kau pasti heran mendengarnya. Aku akan menikah dengan Jihan. Ha…nama kami saja sama huruf depannya. Berarti jodoh.”jawab Johan sambil tak berhenti tertawa

“Jihan? Siapa dia? Rasanya aku tak pernah kau kenalkan dengan seorang wanita bernama Jihan.”

“Kau tau di mana aku berkenalan dengan Jihan?” Aku menggeleng. “Di jembatan jodoh kawan, di jembatan jodoh.”

“Apa? jembatan jodoh? Kau percaya bahwa kita bisa menemukan jodoh kita di sana? Syirik itu namanya Jo.”

“Ah, kau ini. Aku tahu jodoh di tangan Allah. Iya kan? Tapi tak salah kalau kita berusaha. Dan Allah memberikan jodohku tepat di atas jembatan jodoh. Aku juga awalnya tak begitu yakin. Namun ada saudaraku yang menyarankan aku ke sana. Dia bilang teman-temannya setelah beberapa kali ke sana ketemu dengan jodohnya dan segera menikah.”

“Ya sama saja. Berarti kau percaya jembatan itu membawa jodoh. Hei, aku sudah beberapa kali ke sana. Namun apa? Kau lihat sendiri aku masih lajang. Lajang ting-ting.”kataku

“Itu karena kau tak berniat kawan. Sebelum ke sana kau harus pasang niat dan yakin di jembatan jodoh itu kau bertemu dengan jodohmua. Dan satu hal yang harus kau lakukan. Tulislah namamu di sisi jembatan itu. Tak berapa lamu kau pasti akan menemukan jodohmu.”

“Itu namanya kau merusak aset kota. Seharusnya jembatan itu tetap indah tanpa ada tulisan atau goresan-goresan nakal orang-orang sepertimu. Tidak. Aku tak akan pernah percaya. Jikapun Allah mempertemukan aku dengan jodohku di atas jembatan itu, itu memang takdir Allah. Tak ada hubungannya dengan jembatan.”

“Sudahlah kalau kau tak percaya. Yang jelas aku sudah membuktikannya. Aku akan segera melamarnya.”kata Johan mantap.

“Aku ingin menikah dengan perempuan yang baik-baik. Yang dengan mencintainya membuatku semakin mencintai Allah.”

“Eits jangan kau pikir aku akan menikah dengan gadis-gadis ABG yang bisa nongkrong di sana. Atau gadis-gadis yang tak jelas identitasnya. Aku menikah dengan seorang wanita baik-baik. Dia bekerja di salah satu bank swasta. Parasnya? Amboy…”

“Oh ya? Bagaimana kalian bertemu?”

“Aku berkenalan dengannya di jembatan jodoh itu. Kami sama-sama pesan jagung bakar. Karena kami duduk berdampingan aku iseng bertanya seseuatu yang remeh temeh padanya. Hingga akhirnya obrolan kami berlanjut. Kau pasti bisa tebak apa yang terjadi. Kami bertukaran nomor hp dan pin BBM. Setelah itu kami saling berkomunikasi dan dia mau ketika aku mengatakan akan melamarnya.

“Menarik. Bisa dijadikan bahan tulisanku.”komentarku

“Ah, sudah bisa kutebak. Kau pasti akan menjadikan kisahku sebagai sebagai inspirasi menulismu. Jangan lupakan aku ketika royalty sudah kau terima.”

“Beres…”kataku sambil menghidupkan komputer kerjaku.

“Tapi yang paling penting kau harus mencobanya kawan. Boleh jadi calon jodohmu juga sedang mencari jodoh di sana.”

“Ah, lupakan. Aku memang penulis. Tapi dalam kenyataan aku adalah orang yang realistis.”

“Ya sudahlah. Tapi ingat usiamu sudah hampir kepala tiga. Setiap yang dijodohkan padamu selalu saja ada kendala. Itu petunjuk bagimu untuk mencari jodoh di jemabatan itu.”

“Jodohku pasti akan datang Jo. Aku yakin. Sudah, aku banyak kerjaan. Semoga kau bahagia dengan ‘si manis jembatan jodoh’.”kataku sembari tersenyum meninggalkan Johan.

***

Malam sudah semakin tua. Suara-suara jangkrik menyanyikan sebuah kidung malam. Aku tak bisa tidur. Kunikmati keindahan rembulan dari teras rumah panggung kami. Sepi, tak ada satu kendaraanpun melintas di depan rumah. Pun rumah-rumah tak ada lagi yang terbuka pintunya. Perlahan suara decitan pintu depan mengoyak kesunyian malam. Mamak berdiri di depan pintu.

“Mamak, kenapa belum tidur?”tanyaku

“Seharusnya mamak yang bertanya, kenapa kau belum tidur? Mamak sudah tidur tapi tadi terbangun. Mamak lihat pintu depan belum dikunci. Ternyata kau masih di luar. Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku tidak sedang memikirkan apa-apa mak. Aku hanya ingin menikmati rembulan yang indah itu.”

“Tak usah kau berbohong. Pasti ada yang sedang kau pikirkan. Jodoh?” Pertanyaan mamak membuatku terhenyak. Dan belum sempat aku menjawab, mamak sudah melanjutkan kalimatnya.

“Tak usah terlalu kau pikirkan jodoh itu. Yakin saja, ia kelak akan datang. Selama kau yakin pada Allah semua akan baik-baik saja.” Aku tersenyum mendengar perkataan mamak. Ya, aku memang tak terlalu memikirkannya. Tapi aku ingin membuat mamak bahagia dengan melihat anak bungsunya ini menikah. Bisa kurasakan pancaran kerinduan dari wajahnya yang mulai keriput akan kehadiran seorang menantu perempuan di rumah ini.

Terkadang aku juga tak mengapa setiap wanita yang dijodohkan padaku selalu saja menolak. Bukan karena wajahku yang tak tampan –kata teman-teman wajahku mirip dengan Adipati Dolken-, lulusan S2 luar negeri, namun ada saja yang membuat mereka menolakku. Dari mulai alasan logis sampai yang mistis. Bayangkan ada yang menolak karena orang tuanya merasa garis tangannya tidak cocok. Garis tangan? Klise.

“Ada yang ingin kutanyakan pada mamak.” Mamak mengangguk mempersilahkan.

“Benar ya banyak orang bertemu dengan jodohnya di jembatan jodoh itu?”tanyaku. Mamak terdiam. Nampak ia berpikir sejenak seolah-olah mencoba untuk mengingat sesuatu.

“Mamak dengar seperti itu. Ada juga anak-anak kawan mamak bertemu dengan jodoh mereka di sana. Nah, kau tahu si Surya? Anak almarhum Haji Ridwan seusia denganmu, kabarnya menikah dengan seorang wanita yang ditemuinya di jembatan itu.” Mamak diam sejenak, menatapku dengan tatapan keibuannya.

“Kau percaya bahwa setiap orang yang lama jodohnya akan dipertemukan dengan jodohnya di jembatan itu?” Aku menggeleng dengan cepat. “Baguslah kalau kau tak percaya. Itu semua karena Allah. Bukan karena jembatan itu.”

“Sudahlah. Malam sudah sangat larut. Tak baik berlama-lama di luar. Pergilah kau tidur. Besok kau harus bangun di sepertiga malam. Memintalah apa yang ingin kau minta pada Allah.”

Kami masuk ke rumah. Meninggalkan rembulan yang semakin menunjukkan pesonanya di atas sana. Malam terus merangkak dalam gulita. Sepi.

 

***

“Akhirnya kau percaya juga dengan tuah jembatan ini boy.”ucap Johan sambil menepuk pundakku.

“Hey, aku kemari bukan karena cerita konyolmu tentang jembatan ini. Tapi karena ajakanmu untuk bertemu dengan calon istrimu.”

“Ha…ha…kau benar. Tapi tak ada salahnya kan kau niatkan sedikit saja agar kau bisa bertemu jodohmu di sini.” Hampir saja Johan mampu mempengarui cara berpikirku. Ah, bodoh. Asal tahu saja, di bumi Allah manapun aku berjalan niat untuk mendapatkan seorang pendamping hidup akan terus ada. Tak hanya ketika berada di jembatan jodoh ini.

Johan memarkir mobilnya tepat di sebelah lapak yang menyediakan pisang kopit, jagung bakar dan teh botol. Terlihat ada seorang pelayan yang sedang melayani pelanggan. Sementara di balik steling ada seorang wanita berjilbab merah muda sedang sibuk membakar pisang dan jagung. Senyumnya seketika mengembang melihat kedatangan kami.

“Silahkan pak. Mau pesan apa?”sapanya dengan ramah. Aku memesan makanan kesukaanku, pisang kopit dan teh botol. Sementara Johan memesan teh panas dan jagung bakar.

“Emang untuk apa sih kau mengajakku bertemu dengan calon istrimu? Apa kau tidak takut aku mengganggumu?”

“Yang pertama aku ingin mengenalkanmu pada Jihan, calon istriku. Yang kedua kami sudah janjian di sini karena ia akan menyerahkan nota kesepakatan.”

“Nota kesepakatan?” Kesepakatan apa?”

“Sory bro. Mungkin kita tidak akan kerja di tempat yang sama lagi. Aku dan Jihan sudah memutuskan akan mengelola sebuah toko pakaian. Jika toko itu jadi, kami sudah memutuskan akan resign dari tempat kerja masing-masing dan fokus mengelola toko itu.” Aku kaget mendengarnya. Resign? Memang aku banyak mendengar kisah orang-orang sukses yang berhenti dari kerjanya dan memutuskan untuk berwirausaha. Ide-ide gila yang membawa kesuksesan.

“Membuka toko itu kan butuh dana besar Jo.”

“He…he…semua sudah kami atur kawan. Untuk tahap awal ini kami cukup menyetor dua puluh juta untuk pemasok barang-barang yang akan kami jual. Nah, dana itu kami bagi dua. Aku sepuluh juta dan Jihan sepuluh juta. Untuk toko, Jihan sudah menyewa sendiri dengan uang tabungannya.” Kembali aku terdiam tak mengerti. Rasa-rasanya baru sebulan mereka berkenalan, tapi sudah merencanakan sesuatu yang besar seperti itu. Aku heran sekaligus takjub juga dengan jiwa enterpreneur temanku ini.

“Kau hebat Jo. Baru sebulan kalian berkenalan sudah bisa membangun sebuah kerja sama bisnis seperti ini.”pujiku.

“Dan sebentar lagi kami akan membangun kerja sama permanen di dunia dan akhirat melalui pernikahan.”ucap Johan sambil cengengesan

Pesanan kami sudah tersaji di atas meja. Kepul asap dari pisang kopit dan jangung bakar terasa sangat menggugah selere. Tak menunggu lama lagi, kami langsung menyantapnya. Sambil makan tak henti kami bercerita. Dari mulai kerjaan kantor sampai dengan keadaan isi dompet di bulan tua seperti ini. Kadang kami tertawa bersama. Apalagi kalau bukan cerita-cerita yang disisipkan humor oleh Johan.

Hidangan di atas meja kami sudah tak bersisa. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir satu jam kami di sini. Namun sampai sekarang Jihan belum juga datang

“Hei, kenapa gadismu belum juga datang?”tanyaku.

“Mungkin dia masih dalam perjalanan. Tunggulah sebentar lagi.”ucap Johan sambil mencoba untuk tetap tenang. “Sebentar, aku akan menghubunginya.” Johan berdiri dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Beberapa kali ia coba untuk menelepon Jihan. Namun belum satu menit teleponnya memanggil, ia sudah melakukan panggilan lagi. Ia melakukannya berkali-kali. Aku menatapnya heran.

“Gak aktif” kata Johan. Johan terlihat bingung. Bagaimanapun ini sebuah pertaruhan mental seorang lelaki. Aku masih ingat bagaimana semangatnya ia mengajakku untuk bertemu dengan calon istrinya yang katanya sangat cantik itu.

“Sudahlah. Mungkin ia sibuk. Lain kali saja kau mengenalkannya padaku.” Aku mencoba untuk menghiburnya. Johan masih diam. Ia masih juga berusaha untuk terus menghubungi Jihan. Namun hasilnya sia-sia.

“Atau setelah shalat maghrib kita ke rumahnya bagaimana?”usulku. Wajah Johan masih datar tanpa ekspresi. Tidak apa-apa kan kalau kita bersilaturahim dengan keluarganya. Di sana juga kau bisa mengenalkannya padaku.”

“Masalahnya aku tak tahu di mana rumahnya. Aku belum pernah sekalipun ke sana. Setiap kali aku mengatakan ingin ke rumahnya, selalu saja dia menolak. Dia mengatakan tak baik dilihat orang.” Aku kaget mendengar penjelasan Johan. Tak pernah ke rumahnya? Bahkan Johan tidak tahu di mana rumahnya. Firasatku mengatakan sesuatu telah terjadi. Ada yang tidak beres.

“Kau kenapa menatapku seperti itu?”tanya Johan.

“Maaf Jo, tapi aku harus mengatakannya. Sepertinya kau telah ditipu.”

“Maksudmu?”

“Ya, coba kau pikirkan. Kau bertemu dengan seorang wanita yang siap jadi istrimu tapi tak pernah mengizinkanmu untuk datang ke rumahnya. Pastinya kan kau harus bertemu dengan orang tua dan keluarganya.”

“Dia sudah mengatakannya pada keluarganya. Ayahnya yang bilang kalau aku ingin datang ke rumah, nanti saat aku ingin melamarnya.”

“Sekali lagi aku minta maaf Jo. Tapi aku yakin sekali. Ada yang tidak beres di sini.”

“Kau jangan menakuti aku kawan.” Kali ini raut wajah Johan terlihat panik. Sepertinya ia sudah bisa berpikir jernih dan mengurai kronologi perkenalannya dengan Jihan.

“Kau tahu aku sudah mengeluarkan uang lima belas juta untuk modal usaha kami.”

“Itu Jo…itu yang paling membuat aku yakin. Coba kau pikir dengan akal sehat. Kalian baru bertemu. Karena kalian sudah merasa cocok kalian memutuskan segera menikah. Kalau memang dia serius, yang paling utama adalah memintamu datang ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya. Bukan malah mengurusi bisnis seperti ini.” Johan terdiam. Ia terlihat begitu sangat panik.

“Jadi menurutmu aku sudah ditipu begitu?”

“Sepertinya begitu.” Johan memegang kepalanya. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Tapi yang pasti ia pasti merasa menyesal sekarang. Jembatan jodoh? Ah, omong kosong. Adzan maghrib berkumandang. Johan menarik nafas panjang. Ia tampak berusaha untuk kuat.

“Mungkin ini pelajaran bagiku. Aku terlalu percaya akan mitos jembatan jodoh ini sehingga aku sampai tidak menggunakan akal sehat.”Aku mengangguk. Kami berjalan menuju wanita dengan jilbab merah muda tadi. Aku tak sampai hati menuntut janji Johan yang akan mentraktirku. Kukeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetku dan kuserahkan pada gadis yang ada di depanku.

“Ini kembaliannya Mas Rumi.” Aku terkejut mendengar namaku disebut gadis itu.

“Bagaimana kau bisa tahu namaku?”tanyaku heran

“Siapa sih yang tidak kenal dengan Suhaib Ar-Rumi, ketua senat. Mungkin mas tidak kenal denganku. Saya Raisya, aktivis rohis di kampus kita. Mas pernah menjadi trainer pada training motivasi yang kami buat. Sayalah yang diberi tugas untuk menghubungi Mas Rumi.”tuturlah panjang lebar. Aku berpikir sejenak.

“Sudah kalau Mas Rumi tidak ingat. Tidak apa-apa. Yang pasti saya masih mengenalmu.” Aku tersenyum karena pengertiannya. Sebelum pergi ia menyerahkan kartu namanya padaku. Luar biasa gadis ini. Ternya usaha selain usaha ini dia juga membuka usaha grosir obat-obat herbal. Kumasukkan kartu nama itu ke dalam saku kemejaku dan berpamitan padanya.

***

sabarlah menunggu
janji ALLAh kan pasti
hadir tuk mdatang
menjemput hatimu
sabarlah menanti
usahlah ragu
kekasihkan datang sesuai
dengan iman di hati
bila di dunia ia tiada
moga di s
urga ia telah menanti
bila di dunia ia tiada
moga di surga ia telah menunggu

Lantunan nasyid dari group Maidany mendayu di ruang kerjaku. Janji Allah memang pasti kawan. Tak usah risau. Jika belum bertemu dengan jodoh, maka pastaskan sajalah diri itu untuk menyambut jodohmu.

“Mas, kok belum tidur?” Terdengar suara lembut Raisya yang rupanya telah ada di belakangku.

“Kerjaan mas baru kelar. Ini juga mau beres-beres. Kamu juga belum tidur?”

“Raisya belum ngantuk mas. Raisya bantuin mas beres-beres ya.”kata Raisya yang kemudian menyusun berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjaku. Aku bersyukur memiliki istri seperti Raisya. Aku tak percaya akan mitos jembatan jodoh. Tapi kenyataannya kami bertemu di atas jembatan jodoh itu. Dan itu semua tak mengubah keyakinan kami bahwa Allah sudah mengatur skenarionya. Bukan karena jembatan jodoh, tapi karena takdir cinta dari Allah kami bertemu. Jembatan jodoh hanya sarana pertemuan kami yang kemudian menjadi bumbu romantis yang akan selalu kami kenang dalam pertemuan kami.

“Mas ada yang pengen Raisya omongin ke mas.”katanya sambil bersandar manja di bahuku. Aku mengangguk.

“Sebentar lagi mas akan jadi abi.” Aku terkejut dan tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.

“Apa? Kamu tidak sedang bercanda kan?”aku coba meyakinkan diriku sendiri.

“Positif mas. Raisya sudah cek ke dokter tadi. Maaf ya, Raisya perginya diam-diam. Raisnya ingin membuat surprise untuk mas.” Aku tak tahu harus berkata apa. Lidahku kelu. Beribu perasaan membuncah di dadaku. Demi Allah aku sangat bahagia mendengarnya. Kutarik tubuh Raisya ke dalam dekapanku. Raisnya menolak.

“Sujud syukur dulu mas.” Aku langsung bersujud. Tak kusadari air mataku menetes dalam sujudku yang panjang. Inilah takdir. Inilah mahakarya luar biasa yang dituliskan Allah. Bukan karena jembatan jodoh atau apapun. Tetapi karena pinta kita yang tak berkesudahan pada Allah.

***

“Hey bro!”sapa Johan ketika melihatku sudah memasuki ruang kerja. Tumben, sepagi ini ia sudah sampai di kantor.

“Ucapkan salam Jo. Itu lebih baik.” Aku coba menasihati.

“Oke deh bos. Tapi nanti aku akan ucapkan salam. Aku ingin menyampaikan kabar penting.”ucapnya dengan nada serius.

“Ada apa lagi? Jembatan jodoh lagi? Bukankah kau sudah membuktikannya?” Aku menyindirnya. Namun Johan tak merasa tersinggung. Ia malah tersenyum menatapku dan mengangguk mantap.

“Kau masih percaya dengan jembatan jodoh? Jo, sudahlah. Apa kau tak ingat di jembatan itu juga kau dikecewakan. Sebanyak apapun kau tuliskan namamu di jembatan itu kalau Allah belum berkehendak tidak akan ada artinya.”

“Hey kau belum mendengar ceritaku. Begini, seminggu yang lalu kami buat acara reuni SMA di jembatan itu. Aku bertemu dengan salah seorang teman wanitaku dulu. Dia masih single. Tadi malam aku beranikan diri mengatakan aku ingin melamarnya. Dia bersedia dengan syarat aku harus bertemu dengan ayahnya. Malam ini aku akan menjumpai ayahnya. Kau bersedia kan menemaniku?”

Aku terdiam sejenak mendengar cerita Johan. Aku mengangguk setuju. Aku pikir tak ada salahnya menemaninya malam ini. Mudah-mudahan ini akan mengakhiri pertualangannya di jembatan jodoh.

“Seperti apa sih orang yang akan kau lamar itu? Pasti dia cantik. Iya kan?” Johan tersenyum.

“Kau mau lihat? Aku menyimpan fotonya yang aku ambil dari facebook.”

“Boleh.” Johan mengeluarkan ponsel android dari saku celananya. Dia menunjukkan sebuah foto wanita berjilbab biru. Benar dugaanku. Wanita di foto itu sangat cantik. Tapi, tunggu. Ada yang janggal dari foto itu. Senyuman dari wajah cantik di foto itu tak bisa mengurangi sesuatu yang sangat ganjil. Kedua tangannya tidak mempunyai panjang yang sama. Tangan kirinya sangat pendek, hanya sebatas siku tangan kanannya dengan telapak tangan dan jari yang tumbuh tidak sempurna. Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.

“Dia memang tidak sempurna. Tapi cinta yang selama ini kucari ada padanya kawan. Bukan pada jembatan jodoh.” Aku tersenyum menatapnya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ian Hachiro adalah nama pena dari Saftian Cahyadi Hsb. Putra asli Tanjung Balai. Hachiro adalah bahasa Jepang yang berarti anak kedelapan , yang memang menunjukkan beliau adalah anak ke delapan dari sebelas bersaudara. Sementara Ian adalah nama panggilan sehari-hari. Hobby menulis sudah ditekuninya dari mulai Sekolah Dasar. Sampai kini hobby itu tetap selalu ia lakukan. Mimpi yang tak pernah lekang dari hidupnya adalah ketika ia berdiri di depan ratusan orang dengan sebuah buku di tangannya, dan pada bagian atas buku tertulis nama penulis buku itu : Ian Hachiro.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization