dakwatuna.com – Dalam sejarah Islam, ada perbedaan fundamental ketika menyebut dua tokoh besar, Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar dikenal sebagai sosok yang mempunyai karakter kepribadian yang lembut. Sedangkan Umar, memiliki karakter kepribadian yang keras. Meski demikian, keduanya bertemu pada kata, ‘tegas’.
Mahmud Abbas Aqqād dalam serial kejeniusannya menyebutkan bahwa kunci kepribadian Abu Bakar terletak pada kata: “al-i`jāb bi al-buṭūla”[kekaguman kepada pahlawan](lihat: `abqariyyatu al-ṣiddīq, Abbas Aqqād, 48). Sedangkan Umar, digambarkan dengan kunci kepribadian: “ṭabī`atu al-jundi”[karakter keprajuritan, keiraan, ketentaraan](lihat: `abqariyyatu `Umar, Abbas Aqqād, 67).
Sepanjang Nabi Muhammad hidup, kita menjumpai penyikapan berbeda terhadap keduanya. Abu Bakar dengan kunci kepribadian dan sifat lembutnya, selalu berusaha seratus persen meniru Rasulullah ṣallallāhu `alaihi wasallam. Karena itu sangat wajar jika dirinya dengan Rasulullah hampir selalu ada persamaan. Sedangkan Umar dengan kunci kepribadian dan sifat kerasnya, kadang-kadang dengan tegas menanyakan secara logis dan tegas perintah Rasul (tanpa mengurangi rasa cinta dan taatnya pada Rasul).
Uniknya meski Abu Bakar sifat dasarnya adalah lembut, namun pada peristiwa tertentu, ternyata ia juga bisa keras. Di waktu menjabat menjadi khalifah, salah satu misinya ialah merealisasikan perintah Rasul berupa mengirim pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid dan memerangi orang orang yang murtad dan tidak mau berzakat. Banyak sekali yang memprotes kebijakannya, seperti Umar.
Namun demikian, coba simak jawaban tegasnya: “Demi Allah, kalau mereka enggan (membayar zakat) seekor unta-dalam riwayat lain seutas tali- yang mereka tunaikan pada masa Nabi, maka sungguh akan aku perangi mereka. Zakat adalah hak harta. Demi Allah, aku akan memerangi orang yang membeda-bedakan antara shalat dan zakat”(baca: bidāyah wa al-nihāyah, Ibnu Katsir, 6/311).
Adapun Umar, meski mempunyai sifat dasar keras, namun ia juga memiliki sisi lembut di dalam hatinya. Dalam sejarah yang sudah masyhur disebutkan bahwa ketika Ummu Abdillah binti Hantamah mau hijrah ke Habasyah, ia merasakan kelembutan dari sikap Umar. Waktu itu Umar berkomentar: “Semoga Allah menyertaimu”(hal: 41). Kemudian ia juga terenyuh setelah memukul adiknya, Fatimah.
Ketika menjadi khalifah, banyak kisah yang menunjukkan kelembutan hatinya. Hatinya sangat tergerak setiap melihat berbagai tindakan yang menyengsarakan rakyat. Dikisahkan bahwa pada suatu malam ia mengadakan penyelidikan untuk melihat apakah masih ada rakyat yang miskin, sehingga ketika ia menjumpai ada ibu dan anak kelaparan, maka ia ambil sendiri makanan dari daulah untuk dibagikan padanya.
Dari sifat keduanya (lembut dan keras), kita bisa mengambil pelajaran berharga. Pertama, keras dan lembut itu dibutuhkan pada saatnya yang tepat. Ketika aturan agama dilanggar, maka sifat keras digunakan. Adapun selain dari itu, maka dengan lembut. Kedua, sifat lembut dan keras, tidak menafikan ketegasan. Meski memiliki sifat berbeda, Abu Bakar dan Umar mampu menunjukkan ketegasannya. Ketiga, kelembutan sangat penting dalam kegiatan dakwah. Sedangkan keras, sangat penting dalam kapasitas sebagai pemimpin ketika menghadapi pelanggaran.
Sangat pas sekali gambaran Alquran ketika menggambarkan: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”(Al-Fath: 29). Suatu gambaran nyata bagaimana sifat keras dan lembut diberlakukan sesuai dengan porsi dan posisinya yang tepat. Kaum muslimin semestinya banyak belajar dari keduanya. Karena dari keduanya –melalui sejarah- kita tahu bahwa embrio peradaban lahir.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: