Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bukalah Jendela Bahagia dengan Menulis

Bukalah Jendela Bahagia dengan Menulis

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Menulislah…, karena banyak jendela yang terbuka di hadapan kita yang akan membuat kita bahagia. Bahagia… karena kita bisa menulis menuangkan ide, gagasan, hikmah di balik peristiwa, dengan sudut pandang kita yang mungkin subyektif terserah kita. Ide dan inspirasi berseliweran di hadapan kita , kita bisa menulis tentang apa saja di mana saja kapan saja dan …nyaris tanpa kendala. Ya… karena menulis itu hanya butuh satu hal yaitu kemauan. Mau seribu daya… tak mau seribu dalih.

Menulis membuka jendela komunikasi dengan banyak orang dan banyak pihak. Ketika tulisan itu dibaca orang lain, sesungguhnya tanpa sadar kita sedang menjalin komunikasi dengan berbagai pihak . Ketika tuisan kita menarik, akan mengundang komentar dan tanggapan dari orang lain dan itu membahagiakan karena kita tersambung dengan banyak orang yang akan menjadi mitra diskusi, menambah jendela wawasan kita dan itu mencerdaskan dan membahagiakan.

Membahagiakan karena banyak hal yang dapat ditindaklanjuti dari hasil tulisan kita. Banyak pihak yang mengundang untuk membedah buku kita, atau ceramah tentang tema dari salah satu tulisan kita di media.

Bahagia, karena kita bisa jalan-jalan ke berbagai tempat dan pelosok, berbagai kota dan negara tanpa mengeluarkan biaya dari kantong kita. Bahkan kita dapat keberkahan lain dalam bentuk materi dari hasil kita keliling kota dan manca negara.

Di era sosmed saat ini, menulis menjadi semakin mudah. Jaringan internet wi-fi tersambung di mana-mana. Kita bisa menulis di cafe, di kereta, di bandara saat menunggu pesawat yang delay. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia, bahkan menjadi sangat berkah karena makin lama delay pesawat, makin banyak tulisan yang bisa dihasilkan.

Saat ada ide, segera tuangkan dan bisa langsung dikirim saat itu juga. Pak Cah biasa mengirimnya ke Kompasiana. Karena seringnya pak Cah mengirim tulisan, ada 360-an karya , akhirnya setiap terbit di Kompasiana selalu jadi Head Line dan mendapat respon dari banyak orang. Minimal Pak Cah mendapat dua hal sekaligus dari Kompasiana, yaitu menyimpan tulisan beliau, dan terkoneksi dengan banyak orang, hal itu sangat membahagiakan. Suatu saat jika dibutuhkan Pak Cah bisa membuka kembali tulisannya dan melihat respon atas tulisan tersebut, mana yang bisa dipoles untuk menjadi sebuah buku.

Kita bisa merekam peristiwa yang terjadi di depan kita dengan sudut pandang berbeda. Ketika pesawat delay, orang bereaksi dengan berbagai tingkah polah. Ada yang menggebrak meja sambil marah-marah kepada petugas administrasi, padahal delaynya pesawat bukan tanggung jawab petugas administrasi, kasihan sekali dia harus menerima caci maki dan sumpah serapah dari para calon penumpang yang stres, marah dan kecewa.

Bagi seorang penulis, situasi tersebut bisa direkam dan dituangkan dalam bentuk tulisan, sehingga dia tidak merasa kehilangan waktu dan tidak ikutan stres menyikapi delaynya pesawat. Bahkan penulis bisa mengambil hikmah dari sudut pandang yang berbeda. Hikmah dari delaynya pesawat di antaranya pembelajaran tentang latihan bersabar. Sabar menghadapi situasi yang di luar perkiraan kita.

Karena memanfaatkan waktu dalam perjalanan, banyak penulis yang menghasilkan karya di jalan, di atas kereta, di bandara, karena saat di jalan itulah waktu lebih tersedia. Maka banyak judul buku yang diberi judul “di jalan”. DI JALAN DAKWAH AKU MENIKAH, TEGAR DI JALAN DAKWAH, MEMOAR CINTA DI JALAN DAKWAH.

Di antara bentuk kebahagiaan lain dari menulis adalah kita bisa diundang menjadi motivator, membagi ilmu kepada orang lain. Ikut berperan membangun kecerdasan umat. Menggugah semangat untuk tidak ragu-ragu menuangkan gagasan dan ide dalam tulisan. Motivator dalam profesi kita sebagai penulis, bahwa menulis itu bukan mengandalkan bakat, tetapi dia adalah sebuah ketrampilan. Sama dengan ketrampilan memasak, atau mengendarai mobil. Semakin sering memasak, semakin enak hasil masakannya, semakin banyak dinikmati orang lain.

Jangan mengandalkan “mood”. Karena mood itu datang suatu waktu. Adapun ketrampilan ia akan menjadi skill yang semakin baik ketika durasi dan jam terbangnya bertambah. Dia berbanding lurus dengan seberapa sering kita melakukannya. Bukan seberapa mood yang datang. Mood itu harus digali dan dipancing supaya “hadir.”

Menulis itu harus dipaksa, bukan ditunda karena belum ada “mood”. Bagaimana cara memaksanya? Kita bisa membaca karya orang lain, atau diskusi dengan yang lebih senior dan berpengalaman. Dari pengalaman orang lain kita bisa mengambil hikmah bagaimana dia menggali ide? Bagaimana dia mengatasi kebuntuan, dan sebagainya.

Bagaimana dengan aturan penulisan?

Menulis itu adalah kemampuan bertutur. Bagaimana cara kita bertutur, itu terserah kita, karena kitalah yang berhak menentukan, bukan menjiplak model/gaya orang lain. Bagaimana dengan aturan tehnik penulisan? Menulis adalah menuangkan gagasan dan ide, bukan karya ilmiah. Jangan “dipusingkan” dengan aturan –aturan yang akan menghambat kita dalam menulis. Apapun gaya tulisan kita, itulah gaya bertutur kita. Semakin sering kita menulis semakin terbentuk gaya dan ciri dari tulisan kita, tak perlu cemas atau takut mendapat kritik. Karena sejatinya kritik itu adalah obat mujarab yang akan menjadikan hasil tulisan kita bertambah baik.

Seiring berjalannya waktu, pengetahuan kita akan bertambah. Maka ketika gagasan dan ide yang kita tulis akan diproses menjadi sebuah buku, saat itu tulisan kita butuh sentuhan akhir dengan “dipoles”. Nah… urusan memoles ini yang butuh konsentrasi dan waktu khusus. “Pak Cahyadi” bisa menghabiskan tiga hari full untuk memoles tulisannya menjadi karya yang lebih berbobot ilmiah. Kita buka buku-buku referensi untuk membuat tulisan kita lebih “berbobot”, beri ulasan di tiap bab dengan mengutip sedikit tulisan orang lain dari berbagai sumber. Sehingga pada akhir halaman kita bisa menuliskan daftar pustaka.

Semua pengalaman hidup bisa jadi referensi. Situasi dan kondisi yang melatari peristiwa tersebut ikut mewarnai hasil tulisan kita. Seperti pengalaman Pak Cah yang 14 tahun menjadi konsultan keluarga, membuat beliau sagat kaya dengan pengalaman mengatasi segala macam pernak pernik rumah tangga. Dari pengalaman menjadi konsultan tersebut beliau menjadi sangat produktif menulis. Bahkan dikontrak oleh penerbit untuk menulis karya “ Wonderful”. Wonderful Family, Wonderful Husband, Wonderful Couple, Wonderful Wife, Wonderful Parent, Wonderful Indonesia, satu lagi… ah… maaf ya pak Cah, habis pak Cah juga gak sekaligus nyebut ketujuh judulnya.

Periode sebelumnya gaya tulisan pak Cah juga sangat kental dengan nuansa ideologis, karena pak Cah sedang membangun semangat tarbiyah di tahun 90-an yang memotori para mahasiswa menjadi aktifis LDK. Ketika terbit buku karya terjemahan dari Fathi Yakan berjudul YANG BERGUGURAN DI JALAN DAKWAH, timbul ide dari Pak Cah menulis buku berjudul YANG TEGAR DI JALAN DAKWAH. Bagi Pak Cah yang merasa bukan berlatar belakang ilmu Syariah, merasa kurang PEDE mencantumkan nama aslinya di buku tersebut. Maka dipakailah nama pena Abu Ahmad Marwan. Ternyata buku tersebut mendapat banyak respon dari para mahasiswa yang datang ke penerbit untuk meminta bedah buku tersebut. Pada saat itu Pak Cah merasa belum PEDE. Beliau menolak semua permintaan tersebut dengan alasan ustadz Abu Ahmad Marwan sangat sibuk.

Beda lagi dengan buku BAHAGIAKAN DIRI DENGAN SATU ISTRI. Buku ini sangat digandrungi oleh para ibu karena merasa mendapat pembelaan dari ancaman taaddud para suami. Banyak sekali permintaan bedah buku tersebut dari berbagai kota, namun karena terjadi kontroversi seolah Pak Cah pembela kaum feminis, terlebih ada wawancara gelap yang dilakukan seorang “kader” kepada beliau seolah sedang ngobrol biasa sesama kader by phone. Namun ternyata “kader” tersebut seorang wartawan di “Jawa Pos”. Hasil wawancara tersebut diterbitkan di Jawa Pos empat hari berturut-turut. Di hari ke empat tulisannya sangat kontrofersi, PKS Pecah karena buku BAHAGIAKAN DIRI DENGAN SATU ISTRI. Akhirnya untuk meredam kontroversi tersebut, pak Cah meminta penerbit untuk menghentikan cetak ulangnya dan membatalkan seluruh permintaan bedah buku tersebut yang sudah diagendakan di berbagai kota oleh banyak panitia. Tentu saja Pak Cah mendapat serbuan kemarahan dari seluruh panitia yang sudah menyiapkan acara dari jauh hari.

Itulah sisi lain di balik kesuksesan Pak Cah dalam menulis buku. Sampai saat ini pak Cah telah melahirkan karya 44 judul buku dengan berbagai tema. Ternyata menulis itu membahagiakan. Ayo. Menulislah sekarang juga… daaaan… rasakan jendela rezeki, ilmu, pengalaman, jaulah ke berbagai kota dan negara akan mendatangi anda. Tergantung seberapa produktif anda menghasilkan karya.

Disarikan dari acara Temu Penulis dengan Pak Cahyadi Takariawan, di Markaz Dakwah TB Simatupang. 28-12-14. Oleh Ruqoyah Ridwan

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ibu dengan 4 putra putri, 3 di antaranya sedang memasuki usia remaja. Mahasiswa STIU (Sekolah Tinggi Ulmu Usuluddin) jurusan tafsir hadits semester 3. Aktif mengajar majlis taklim, punya usaha rias muslim. Beberapa tulisan pernah dimuat di Tarbawi di rubrik kiat.

Lihat Juga

Bersyukurlah, Maka Hidupmu Akan Bahagia

Figure
Organization