Topic
Home / Berita / Surat Pembaca / Jika di Kupang, Hati-Hati Memilih Rumah Makan

Jika di Kupang, Hati-Hati Memilih Rumah Makan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Penjual daging babi di pasar tradisional di Kupang. Di sini daging babi murah dan mudah didapat. (Darso Arief Bakuama)
Penjual daging babi di pasar tradisional di Kupang. Di sini daging babi murah dan mudah didapat. (Darso Arief Bakuama)

dakwatuna.com – Daging babi dan semua produk turunannya jelas haram untuk dikonsumsi. Hanya saja, ketidaktahuan tentang berbagai istilah tentang daging babi akan membuat kita terjebak dan mengkonsumsinya dengan tidak sengaja. Salah satu kota yang mudah kita temui daging babi adalah di Kupang, NTT. Oleh karena itu, perlu hati-hati jika suatu waktu anda berada di kota itu jika ingin mencari rumah makan.

Belum lama ini, beredar foto seorang muslimah –karena dia berhijab—sedang makan di sebuah rumah makan yang menyediakan daging babi sebagai menunya. Meski yang terpampang nama ‘cu-nyuk’ tapi jelas itu adalah nama lain untuk daging babi. Rumah makan tersebut berada pada sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Lalu, beberapa hari lalu, beredar berita sekelompok orang menggrebek sebuah tempat pemotongan hewan di Bekasi. Tempat tersebut rupanya selama ini jadikan tempat pemotongan babi dan anjing. Karena letaknya di tengah pemukiman penduduk dan tidak berizin serta dicurigai dijual kepada pedagang bakso, membuat masyarakat marah.

Masih tentang babi, dalam beberapa hari ini kembali santer di media sosial tentang binatang bernama Mangalitsa. Disebutkan, Mangalitsa merupakan hasil perkawinan silang antara babi dengan biri-biri (domba). Disebutkan pula, daging Mangalits telah tersebar dengan harga murah. Informasi itu cukup meresahkan masyarakat, terutama bagi konsumen muslim.

Di negeri kita, isu tentang daging babi dalam makanan atau produk-produk makanan jelas sangat sensitif. Tapi lain halnya dengan di Kupang atau NTT pada umumnya. Maklum kerena di wilayah ini masyarakat konsumen daging babi jauh lebih banyak dari yang mengharamkannya. Itu pula sebabnya, tentang babi, daging babi, masakan daging babi, penjual babi, penjual daging babi atau masakan daging babi adalah hal biasa di sini, termasuk di tempat asal penulis di Pulau Rote.

Jika suatu waktu anda berada di perkampungan di NTT, berhati-hati jika berjalan di pemukiman penduduk. Di tengah kota memang tidak tampak, tapi jika bergeser sedikit ke pinggiran kota, maka dengan mudah kita melihat babi berkeliaran, dilepas bebas. Di Pelabuhan Oeba, sekaligus dan tempat pendaratan dan pelelangan ikan, tak jauh dari Pasar (tradisional) Oeba dan masih dalam Kota Kupang, babi terlihat bebas berkeliaran. Akibatnya bau tak sedap tercium sangat menyengat. Jika ke pedesaan –ini terlihat hampir di seluruh NTT—babi adalah binatang rumahan. Artinya, hampir semua orang memelihara babi. Pemerintah daerah memang telah lama membuat regulasi soal tata cara pemeliharaan ternak yang baik. Sayangnya, kebiasaan masyarakat masih bisa mengalahkan peraturan pemda.

Babi dan daging babi memang sukar dipisahkan dari masyarakat NTT. Selain mudah dipelihara karena babi bisa mencari makan sendiri dengan memakan segalanya, babi juga merupakan binatang yang tak terpisahkan dengan adat. Jika ada anggota masyarakat –yang bukan muslim tentunya dan umumnya di pedesaan—melanggar adat dengan melakukan pelanggaran, maka ada jenis hukuman dengan memberikan babi. Daging babi juga merupakan menu wajib dalam upacara-upacara adat, semisal permandian (baptis), pernikahan, acara kematian dan pesta-pesta lainnya.

Jika dalam acara-acara tersebut, orang Islam ikut diundang, maka pemilik pesta membuat tempat makan yang terpisah, yakni pada rumah lain yang tak jauh dari rumah tempat acara dilaksanakan. Pada rumah yang dikhususkan itu, semua kegiatan memasak, mulai dari pemotongan hewan –selain babi tentunya– tukang masak, hingga perlatan masak dan makan diambil dari keluarga muslim. Ini sebuah penghormatan yang patut dihargai.

Warung Makan

Di Kota Kupang sendiri, kita juga wajib berhati-hati memilih tempat makan. Kita perlu mengenali warung yang menyajikan menu daging babi. Memang, di Kupang warung makan atau ruman makan didominasi oleh orang Jawa, Madura atau Bugis yang tentu saja muslim. Meski demikian, warung lokal dengan dengan menu daging babi juga tidak sedikit. Karena itu, kehati-hatian adalah syarat utama dalam mencari rumah makan di sini.

'Nabas' adalah merek warung makan yang sajian utamanya daging babi. (Darso Arief Bakuama)
‘Nabas’ adalah merek warung makan yang sajian utamanya daging babi. (Darso Arief Bakuama)

Di Kupang, ada jenis warung makan yang dimereki ‘Nabas’. Ini adalah warung dengan menu utama daging babi. Sajiannya berupa nasi campur dan daging babi goreng berbumbu atau daging babi berkuah. Warung jenis ini memang tidak besar hanya sekelas kaki lima. Hanya saja, karena jumlahnya banyak maka mudah dilihat. Sebagian warung jenis ini tak terpampang merek ‘Nabas’, namun penjualnya sudah mafhum kalau pengunjung yang datang pasti meminta menu babi. Karena itu menghindari warung jenis ini adalah keharusan.

Selain ‘Nabas’ masih ditemui warung sejenis dengan merek ‘Se’i Babi’. Di sini daging babi dimatangkan dengan cara pengasapan, salah satu jenis masakan tradisional masyarakat lokal. Selain jelas mencantum Se’i Babi, banyak juga warung Se’i Sapi. Hanya saja perlu kehati-hatian karena bisa jadi daging sapi yang disajikan melalui proses pemotongan yang tidak halal. Jadi baiknya dihindari.

Selain kedua jenis warung atau rumah makan di atas, bagi anda yang berkunjung ke Kupang dan sekitarnya perlu hati-hati juga dengan warung bakso atau mie ayam yang menjamur dan peminatnya cukup banyak di sini. Karena walaupun penjualnya terlihat muslim atau muslimah, harus waspada, karena daging babi yang murah dan mudah didapat membuat sebagian pedagang mencari keuntungan denga cara biadab, yakni mengoplos daging babi dengan daging sapi. Seorang pengusaha rumah makan nasional yang pernah berkunjung ke Kupang beberapa waktu lalu menemukan indikasi daging babi dalam bakso yang dijual di suatu tempat yang ramai dikunjungi anak muda. Padahal penjual bakso tersebut jelas muslim yang berasal dari luar NTT.

Selain makan di rumah makan, berbelanja di pasar tradisional di Kupang juga perlu kewaspadaan. Pasar tradisional yang ramai di Kupang, seperti Pasar Oeba, Pasar Oesapa, Pasar Oebobo atau Pasar Inpres, penjual daging babi berbaur dengan penjual ikan, daging dan sayuran. Tak jarang seorang pedagang ikan atau daging sapi hari ini, besok kita dapati dia berjualan daging babi. Kalau sudah begitu, jelas peralatan potong daging yang digunakannya juga sama.

Oleh karena itu, jika anda sedang berkunjung ke Kupang atau kota-kota lain di NTT, carilah warung atau rumah makan yang jelas muslim, halal dan thayyib, supaya terhindari keharaman. Wallaahu a’lam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Papela, Kec. Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi. Pernah di redaksi Majalah Warnasari (Pos Kota Group) dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Lihat Juga

Konferensi ‘Islam Sekuler’ di Jerman Hidangkan Daging Babi untuk Peserta

Figure
Organization