Topic
Home / Narasi Islam / Politik / The Blind Test Paradox dan Fenomena Pemimpin Instant

The Blind Test Paradox dan Fenomena Pemimpin Instant

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Di awal tahun 1980, terjadi dinamisasi yang besar dalam kompetisi bisnis soda di Amerika. Pepsi sebagai pendatang baru dalam pasar soda melakukan gebrakan besar yang menggoyahkan dominasi Coca-Cola sebagai penguasa pasar soda di dunia saat itu. Dominasi tersebut akhirnya mengalami defiansi ketika Pepsi yang berada di bawah pimpinan CEO John Scoley melakukan Pepsi’s Challenge head to head dengan Coca-Cola. Para penggemar Coca-Cola ditantang untuk mencicipi 2 gelas berlabel Q dan M. Dan hasilnya 57 persen dari mereka memilih gelas M yang berisi Pepsi. Hasil tersebut ternyata mampu memaksa Coca-Cola untuk merubah formulanya menjadi lebih manis dari sebelumnya dan dilabeli dengan New Coke. Mereka melakukan tes yang sama untuk produk barunya terhadap Pepsi. Hasilnya, New Coke berhasil mengungguli Pepsi dalam blind test-nya. Namun apa yang terjadi ketika mereka secara resmi merilis produk baru itu kepasaran, alih-alih meningkatkan pasar dan sukses besar, mereka justru melakukan blunder dengan produk baru mereka. Coca-Cola mendapat lebih dari 400.000 komplain dari para pelanggan setia mereka. Ternyata ada hal tidak disadari oleh Coca-Cola Company. Meskipun secara head to head Coca-Cola kalah dengan Pepsi dalam blind test sebelumnya, namun faktanya Coca-Cola masih mendominasi pasar soda di dunia. Perpaduan formula rasa yang manis bercampur sedikit pahit dengan tambahan soda ternyata lebih diminati daripada hanya sekadar manis saja. Pepsi mengalami peningkatan penjualan yang bertahan hanya 1 bulan setelah Pepsi Challenge, namun Coca-Cola mampu bertahan selama bertahun tahun meskipun sempat tergeser sesaat oleh Pepsi. Justru ketika New Coke mengungguli Pepsi dalam blind test berikutnya, mereka mendapat banyak protes dari para konsumennya. Peristiwa ini dikenal dengan Pepsi paradox.

Pepsi paradox sebenarnya dapat terjadi pada banyak hal termasuk kepemimpinan. “Pepsi challenge” dapat kita jumpai pada hasil hasil survey atau hasil blow up yang sering dilakukan sebelum pemilihan pemimpin. Beberapa hasil “Pepsi challenge”, ternyata mampu menjadikan para pemimpin yang instan untuk naik ke podiumnya. Dengan sedikit meningkatkan rasa “manis” maka “Pepsi Challenge” bisa dimenangkan. Tidak perlu masyarakat mengetahui keseluruhan kualitas isinya, cukup hanya dengan sedikit mencicipi rasa “manis” untuk mengantarkan pada kemenangan sesaat sang pemimpin.

Inilah perhelatan karakter kepemimpinan yang lahir di gelombang ketiga. Sebagaimana yang disampaikan oleh Anis Matta dalam bukunya “Gelombang Ketiga Indonesia”, orang-orang gelombang ketiga adalah mereka yang disebut sebagai native democracy, yakni orang-orang yang lahir, besar, dan hanya mengenal kepemimpinan di periode pasca reformasi. Harus diakui di periode inilah para pemimpin instan mendapat basis dukunganya. Ruang-ruang diskusi yang sempit dan subjektif semakin memantapkan langkah para pemimpin instan. Sekali lagi hanya perlu memperbanyak rasa “manis” untuk memenangkan “Pepsi Challenge” ketika dilakukan blind test.

Dalam blind test, apa yang kita dapatkan adalah bagian kecil dari kualitas keseluruhan. Ketika dipresentasikan antara sehisap soda manis dan sehisap soda manis yang agak pahit, masyarakat memenangkan soda manis. Namun ternyata, sebagai pendamping menonton TV, menonton film dan aktifitas sehari-hari, masyarakat memilih soda manis yang agak pahit. Mengapa? Karena sensasi soda manis yang agak pahit dalam satu botol utuh lebih disukai oleh persepsi mereka dibanding soda manis saja dalam kondisi yang sama.

Blind test dan pemimpin instan adalah satu set sebagaimana software dan hardware yang booming di gelombang ketiga Indonesia atau saya menyebutnya periode kontemporer. Mengapa demikian? Karena pemimpin instan tidak bisa lahir di gelombang satu dan gelombang dua Indonesia. Sentuhan “ombak” di gelombang satu dan gelombang dua terlalu kuat untuk menghasilkan pemimpin instan. Mereka yang memiliki kualitas sekaliber pemimpin instan, tidak akan naik ke podium kepemimpinan. Nama-nama besar seperti Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Ahmad Subarjo, Muhammad Natsir, Kasman Singodimejo lebih dari cukup untuk menenggelamkan calon pemimpin instan.

Kini periode gelombang satu dan dua telah selesai. Kita dihadapkan pada babak baru yang harus dilalui. Dengan semakin pudarnya kuantitas generasi transisi, maka kita sendirilah yang harus menentukan arah di periode ini. Generasi inilah yang harus mengawal perjalanan mereka sendiri. Di masa ini, kompetisi antara calon pemimpin instan dan calon pemimpin besar terbuka lebar. Basis dukungan-pun terpecah menjadi generasi pro pemimpin instan dan generasi anti pemimpin instan. Mereka yang paham tentang blind test paradox tidak mudah terpedaya dengan “manis”-nya rasa yang ditawarkan oleh pemimpin instan.

Bagaimanapun juga, ada dua sisi mata uang yang harus kita pandang dari pemimpin instan. Di satu sisi mereka bisa sangat berbahaya terhadap kestabilan wilayah yang dipimpinnya. Pemimpin instan belum memiliki sistem defensif yang baik, mereka labil dan mudah dipengaruhi. Para mafia dapat dengan mudah masuk dan mengambil semua kekayaan yang tersimpan di nusantara ini. Mereka yang mengetahui celah para pemimpin instan akan mencoba masuk dan mengendalikan pola pemikiran pemimpin tersebut. Hal inilah yang berbahaya dari pemimpin instan. Jatuh ke mentor yang salah. Namun sebaliknya, apabila pemimpin instan memilki mentor yang tepat, maka dia bisa menjadi kekuatan baru yang besar. Permasalahannya hanyalah, siapa yang akan diambil oleh pemimpin instan sebagai mentornya.

Jawaban mengenai apakah blind test dan pemimpin instan akan menghasilkan paradoks tergantung dari sang pemimpin itu sendiri. Ketika sang pemimpin instan mau belajar, meningkatkan kapasitas, menguatkan integritas, memaksimalkan kontribusi, serta berada dalam mentor yang tepat maka otomatis paradoks tidak akan terjadi. Sebaliknya, paradoks sekaligus respon yang kontradiktif akan terus berlanjut selama pemimpin instan tidak bisa merubah karakter kepemimpinannya.

“………….Demikianlah. Tak ada yang tetap di dunia ini. Innazzamaana Qadistadaara (Zaman beredar, musim berganti)” (Muhammad Natsir)

Rujukan: Matta, M. Anis. 2014. Gelombang Ketiga Indonesia. Jakarta : The Future Institute

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa yang mengambil jurusan kedokteran, menyukai tantangan, bercita cita menjadi profesor muslim yang hebat.

Lihat Juga

Pemimpin adalah Cerminan Rakyat

Figure
Organization