Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Aqidah / Strategi Menghadapi Aliran-Aliran Sesat di Sekitar Kita (Bagian ke-2)

Strategi Menghadapi Aliran-Aliran Sesat di Sekitar Kita (Bagian ke-2)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

A. Definisi

a. Definisi Sunnah

Ilustrasi. (wallpaperscraft.com)
Ilustrasi. (wallpaperscraft.com)

dakwatuna.com – Sunnah secara bahasa berarti Thariqah (jalan atau cara yang terpuji dan lurus), karenanya jika disebutkan bahwa “Fulan min ahli as-sunnah” (si fulan termasuk orang ahlu sunna) -secara bahasa- maknanya: Seorang yang menempuh jalan atau cara yang lurus dan terpuji[1]. Sunnah juga bermakna as-sirah (biografi) yang baik maupun yang buruk.[2]

Adapun menurut istilah, sunnah memiliki beberapa pengertian, di antaranya: Sunnah berarti biografi Rasul[3]. Sunnah juga berarti: Apa yang datang dari Nabi berupa perkataan, perbuatan dan keputusan.[4] Sunnah juga bermakna: Jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya, yang terhindar dari syubhat dan syahwat, terutama dalam hal keyakinan (iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul dan Hari Akhir, serta Qodar, keutamaan para sahabat … )[5].

Sementara Ahlu Sunnah menurut Ibnu Hazm dan Ibnu Jauzi: “adalah orang yang berada dalam kebenaran. Lawannya adalah ahlu bid’ah, mereka itu adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan orang-orang terbaik tabi’in, lalu ahli hadis, yang selanjutnya diikuti oleh para fuqaha’, dari masa ke masa hingga hari ini, serta orang-orang yang mengikuti mereka dari timur hingga barat”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengikuti dan berpegang teguh pada sunnah; mereka itu adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.

Penamaan Ahlu Sunnah menurut Ibnu Taimiyah dan Abu al-Mudzaffar al-Isfiraini muncul karena mereka mengikuti sunnah Rasulullah Saw., berdasarkan sabda Rasulullah saat ditanya tentang al-firqah an-najiyah (kelompok yang selamat) beliau menjawab: “Mereka adalah orang yang mengikutiku dan para sahabatku”.

Kriteria di atas –menurut al-Isfiraini- sangat relevan dengan kelompok Ahlu Sunnah yang ada sekarang, karena merekalah orang-orang yang getol memahami, mengajarkan serta melaksanakan Sunnah Rasulullah dan para Sahabat, sehingga orang-orang yang suka mencaci dan menghujat para Sahabat dari kelompok Khawarij dan Syi’ah serta kelompok-kelompok lain, secara otomatis tidak termasuk dalam kategori tersebut[6].

b. Definisi Jamaah

Ahlu Sunnah juga sering dijuluki al-Jama’ah, sehingga penyebutan yang lengkap bagi mereka adalah ahlu as-sunnah wa al-jama’ah. Makna jamaah sebagaimana dijelaskan oleh hadits Bukhari dan Muslim adalah: Mereka yang selalu berusaha untuk menyatu (mengintegrasikan diri) dengan komunitas umat Islam dan imamnya”[7]. Jamaah juga bermakna “Yang mengikutiku (Rasulullah Saw) dan sahabat-sahabatku”.[8]. Makna lain dari jamaah adalah “Apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendirian”.[9].

Ibnu Hajar al-Asqalani di dukung oleh Ibnu Taimiyah menambahkan unsur lain dalam makna jamaah yaitu: unsur al-ijtima’ wa adam at-tafarruq (pertemuan/kesatuan dan tidak berselisih), dalam arti keinginan untuk selalu bersatu dalam komunitas muslim, dan berusaha keras untuk menjauhi perselisihan dengan tetap dalam jamaah dan berpegang teguh dengan Al-Quran, Sunnah serta Ijma’.[10]

Berdasarkan pemahaman ini, tahun di mana Imam Hasan turun tahta dan menyerahkan tapuk kepemimpinan kepada Mu’awiyah –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Bathutha- disebut am al-jamaah (tahun persatuan).[11]

Dengan demikian pengertian al-jama’ah adalah komunitas yang berpegang kepada kebenaran, dengan mengikuti Rasul dan para Sahabat, selalu menyatu (mengintegrasikan diri) dengan komunitas umat Islam dan imamnya, mencintai persatuan dan membenci perselisihan.

c. Definisi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jamaah adalah komunitas yang berpegang teguh kepada kebenaran, selalu berusaha untuk bersatu serta tidak menyukai perselisihan.

Pengertian ini sesuai dan sejalan dengan makna sunnah sebagaimana dijelaskan di muka yaitu jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, serta yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.

Dengan demikian lafal sunnah dan jamaah jika berpisah maka maknanya sama atau satu, namun jika bersatu maka maknanya berbeda; As-Sunnah berarti jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah, sementara al-jama’ah artinya jamaatu al-muslimin (komunitas umat Islam) yang selalu berpegang kepada kebenaran, yaitu para Sahabat, Tabi’in, dan yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Untuk itu penyebutan ahlu sunnah wa al-jama’ah sering disingkat dengan ahlu sunnah saja tanpa jamaah, karena maknanya telah mencakup makna yang terkandung dalam lafal al-jama’ah.

d. Kapan Pertama Kali Muncul Penamaan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah adalah nama lain dari Islam itu sendiri. Untuk itu istilah ini tentu saja tidak muncul dan tidak perlu dimunculkan di awal-awal penyebaran Islam kecuali dalam batas penjelasan terhadap makna Islam itu sendiri; karena kandungan lafal ahlu as-sunnah wa al-jama’ah sesungguhnya telah terangkum dalam lafal Islam tersebut.

Ini artinya bahwa komunitas muslim awal tidak dijuluki kecuali dengan sebutan “Muslim” saja, karena komunitas Muslim saat itu masih dalam koridor kebenaran, yaitu jalan yang digariskan oleh Rasul dan para sahabat senior, sehingga mereka bersatu dalam keyakinan (keimanan), manhaj al-fikri (metodologi pemikiran/frame work), ide dan cita-cita, sistem, serta bersama dalam gerak dan langkah. Belum dikenal saat itu Muslim Sunni atau Syi’i, atau Zaidi, atau Khawariji, atau Mu’tazili dan seterusnya.

Penamaan ini baru muncul setelah terjadi perselisihan yang menyebabkan umat Islam terpecah belah. Maka untuk mengidentifikasi kelompok yang tetap dalam jalan Rasul dan para sahabat RA, para ulama’ merasa perlu untuk memunculkan penamaan terhadap kelompok ini guna membedakannya dengan kelompok lain yang telah melenceng dari jalur yang benar atau dari ajaran yang murni[12].

Walaupun tidak menunjuk -secara spesifik- tahun munculnya terminologi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah tersebut, namun Prof. Dr. Mustafa Hilmi –Guru Besar Filsafat Islam dari Darul Ulum, Universitas Kairo Mesir- menengarai bahwa awal munculnya istilah ini adalah pasca terjadinya peristiwa al-hakamain dalam  perang Shiffin yang berakhir dengan munculnya kelompok pertama dalam Islam yaitu “Khawarij, yang disusul dengan munculnya Syi’ah, dan beragam kelompok lainnya seperti Murji’ah, Mu’tazilah, jabariyah, Qodariyah, Hasywiyah, Jahmiyyah, Zaidiyah, Ismailiyah, dan seterusnya.[13]

Di tengah-tengah munculnya berbagai aliran keagamaan-politik, yang nota benenya telah terkontaminasi dan terinfiltrasi dengan beragam ajaran dan pemikiran di luar Islam itulah para ulama’ perlu memunculkan nama khusus untuk membedakan dengan aliran-aliran tersebut. Nama yang dianggap paling representatif di samping memiliki legalitas (syar’i) yang tinggi adalah Ahlu Sunnah wa al-jama’ah.

Berbeda dengan pendapat Prof. Dr. Musthafa Hilmi, Prof. Dr. Mustafa Syak’ah menengarai bahwa terminologi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah baru muncul pada abad ke Tujuh Hijriah, tepatnya empat abad setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hambal[14]. Sementara Amir Ali menyimpulkan bahwa nama ini muncul pada masa khilafah Abbasia, tepatnya pada masa al-Mansur dan Harun ar-Rasyid. [15]

Kedua pendapat ini dibantah oleh Dr. Nashir bin Abdullah Ali al-Qoffari. Menurutnya istilah Ahlu Sunnah sudah mulai muncul pada saat terjadinya fitnah dan munculnya bid’ah di masa khalifah Utsman bin Affan[16].

Ini menunjukkan bahwa Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah tidak muncul dan berkembang di kemudian hari seperti halnya kelompok-kelompok dan aliran lainnya, namun muncul seiring dengan kemunculan Islam karena merupakan representasi dari Islam yang diajarkan oleh Rasulullah dan Para Sahabat.

Namun demikian –menurut hemat penulis- jika yang dimaksud kemunculan di sini adalah kepopuleran nama tersebut, maka pendapat Dr. Musthafa Sak’ah dan Amir Ali lebih tepat; Artinya istilah Ahlu Sunnah ini sebenarnya telah muncul semenjak abad pertama hijriah, namun baru populer dan menjadi trade mark bagi sebuah kelompok di kemudian hari -sebagaimana disinggung oleh Dr. Sak’ah dan Amir Ali di atas- akibat munculnya banyak kelompok yang telah menyimpang.

Bersambung…

Catatan Kaki:

[1] Jamaluddin Muhammad bin Makram bin Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo, at-Thab’ah al-Amiriyah, 1303 H) hal. 17/90

[2] Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, Al-misbah al-munir, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1398 H), hal. 1/312; H.R. Muslim, Kitab: al-ilm, Bab: Man sanna sunnatan hasanatan au sayyiatan, No. 4830

[3] Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwini, Mu’jam Maqoyis al-Lughah, (Kairo-Mesir, Musthafa al-Babi a-Halaby, Cet. II, 1389 H.), hal. 1/312; Muhammad bin Abi Bakar ar-Razi, Mukhtar as-Shihhah, (Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, cet. I. 1979), hal: 317.

[4] Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 13/245; al-jazairi, Taujih an-Nadzar, hal: 3 (ini adalah definisi para Ahli Hadits)

[5] Ibnu Hazm, al-Fishal, hal: 2/107; Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis, hal: 16

[6] Al-Isfiraini, al-Tabshirah fi ad-din, hal: 167

[7] (Dari Hudzaifah bin al-Yaman Rasulullah Saw bersabda: ” … Hendaknya engkau bersama Jamaah (komunitas) umat  Islam dan imam mereka …) HR. Bukhari, Kitab: al-Manaqib, Bab: Alamat an-nubuwwah fi al-Islam, No: 3338; Muslim, Kibab: al-Imarah, Bab: Wujub mulazamat jamaati al-muslimin, inda dzuhur al-fitan, No: 3434

[8] HR. Tirmidzi, Kitab: al-iman an Rasulillah, Bab: Ma jaa fi iftiraq hadzihi al-ummah, No: 2565.

[9] (Abu Syamah menjelaskan: “Dimana datang perintah untuk selalu bersama jama’ah, maknanya adalah perintah untuk mengikuti kebenaran dan pengikutnya, walaupun jumlahnya sedikit sementara penentangnya cukup banyak, karena kebenaran adalah hal yang dipegang oleh  komunitas pertama di masa Nabi Saw dan para sahabat, tanpa melihat jumlah pengikut kebatilan setelahnya”) Al-la lakai, Kaasifu al-ghummah fi I’tiqad Ahli Sunnah, hal: 9

[10] Ibnu Taimiyah, al-Fatawa, hal: 3/346, 157 (Ibnu Taimiyah berkata: “Barang siapa berpegang pada al-Quran, Sunnah dan Ijma’, maka digolongkan kedalam kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah” “Karena jama’ah itu artinya al-ijtima’ (bersatu/bertemu), lawannya al-furqah (berselisih) … mereka selalu menakar seluruh perkataan dan perbuatan manusia yang ada hubungannya dengan agama dengan tiga hal tersebut”); Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal: 7/73. (Dalam menjelaskan perkataan Imam Ali : “Putuskan masalah itu seperti yang biasa kalian putuskan, karena sesungguhnya aku membenci perselisihan, hingga manusia (bersatu)”. Ibnu Hajar menjelaskan: Maksud dari “fainni akrahu al-ikhtilaf” (sesungguhnya aku membenci perselisihan) artinya tidak suka hal yang menyebabkan perselisihan, Atau perbedaan yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan timbulnya fitnah)

[11] Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, Ibid, hal: 13/63 (Dalam hal ini Ibnu Baththal –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar- berkata: “Imam Hasan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Mu’awiyah, dan membaiatnya untuk menegakkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, maka saat Mu’awiyah memasuki kota Kufah, semua penduduk membaiatnya, karenanya tahun itu disebut dengan tahun jamaah (persatuan) karena dengan itu umat Islam bersatu dan peperangan berhenti”)

[12] Ibnu Taimiyah, al-Fatawa, hal: 3/159

[13] Dr. Musthafa Hilmi, Nidham al-Khilafah fi al-fikri al-Islamy,  hal: 284

[14] Dr. Musthafa Syak’ah, Islam bila madzhab, hal: 281

[15] Amir Ali, Ruh al-Islam, hal: 2/201

[16] Dr. Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qoffari, Masalatu at-taqrib baina Ahlu as-Sunnah wa as-Syi’ah, (Riyadh, Dar at-Thiba, Cet. VI, 1420 H) hal: 1/44 (Dr. Qoffari memperkuat argumennya dengan perkataan Ibnu Sirin –sebagaimana dikutip oleh Imam Thabari-, yang mengatakan: “Mereka tidak bertanya tentang sanad, namun setelah terjadinya fitnah mereka berkata: Sebutkan orang-orang yang meriwayatkan hadits kalian, apabila mereka termasuk ahlu sunnah, maka haditsnya bisa diambil, jika tergolong Ahlu Bid’ah, maka haditsnya tidak boleh diambil”. Al-Khotib, al-Kifayah, hal: 122 )

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.

Lihat Juga

Washington Post: Strategi AS di Suriah Ditakdirkan Gagal

Figure
Organization