Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Gusaran atau Peperan

Gusaran atau Peperan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Tiara Ningrum Rakhmani)
Ilustrasi. (Tiara Ningrum Rakhmani)

dakwatuna.com – Gusaran atau peperan merupakan salah satu ritual adat Jawa Barat namun tidak semua wilayah Jawa Barat melakukan ritual seperti itu. Ciamis adalah salah satu daerah yang melakukan ritual gusaran yang sudah dikenal sejak ketika Islam memasuki pelataran daerah sunda tapi sampai saat ini belum di ketahui yang pasti dari kapan ritual itu sudah ada dan dimulai di tanah Sunda.

“Gusaran atau peperan adalah menggosoKkan batu gosok di gigi, pada zaman dulu yang digunakan bukan batu gosok melainkan uang logam yang terbuat dari bahan tembaga yang diberi nama uang benggol, pada zaman dulu pertama kali muncul istilah gusaran hanya dipakai untuk anak perempuan karena sebagai ganti dari khitan yang dilakukan anak laki-laki tapi setelah perkembangan zaman anak laki-laki pun melakukan gusaran karena makna dari gusaran itu adalah menghilang runcingnya gigi susu, itu secara logika. Namun, secara mistis gusaran dilakukan dengan tujuan mencari keselamatan diri dari segala gangguan dan kesengsaraan yang melingkupi permohonan masyarakat agar dalam menjalani kehidupannya senantiasa memperoleh keselamatan, jauh dari gangguan setan serta penolak bala”, demikian kata Dadan Gunawan seorang pengajar seni dan kebudayaan SMP serta SMA di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.

Gusaran ini biasanya dilakukan dengan hajatan yang cukup mewah untuk sebuah ukuran upacara adat. Kemewahan acara ini tergantung dari ukuran ekonomi yang melaksanakannya. Jika yang mampu maka akan ada hiburannya seperti wayang golek, rempak gendang, atau jaipong. Orang yang diundang dalam acara ini akan datang dan biasanya membawa baskom yang berisi beras dan di atas beras ditumpangi dengan makanan-makanan lainnya, seperti rengginang, opak, rempeyek, dan pisang. Pada saat di tempat hajat, baskom-baskom yang berisi beras dan makanan lainnya itu di pisahkan oleh ibu-ibu yang mengatur tata makanan di tempat hajat. Saat pulangnya akan di tukarkan dengan di isi makanan yang tersedia di tempat hajatan seperti nasi, semur ayam, sayur, telur dan lain-lain tergantung dari tempat yang hajatan.

“Dalam gusaran akan dibacakan doa-doa yang dipimpin oleh sesepuh adat, yaitu membaca istigHfar 3 kali kemudian syahadat dan sesudahnya membaca doa selamat, mugi gusti ngahampura kana dosa abdi sadaya, mugi gusti ngajabah kana doa abdi sadaya yang artinya semoga Allah mengampuni dosa kami semua dan semoga Allah mengabulkan doa kami semua,” kata Dadan Gunawan.

Setelah gusaran selesai dilakukan ritual yang di dalam bahasa sunda disebut “nyawer”. Nyawer adalah menaburkan uang di atas anak yang digusar dalam keadaan di payungi. Dalam baskom untuk nyawer di isi dengan uang logam, beras, dan permen, yang menaburkan saweran itu adalah sesepuh yang dituakan di dalam keluarga. Saweran itu akan di ambil secara berebutan oleh anak-anak bahkan sampai orang tua yang berada di sana. Maknanya bahwa semoga hidup anak itu akan dilingkupi keberkahan, cukup uang, cukup makan yang intinya itu serba kecukupan.

Sebelum hajatan gusaran dilakukan orang tua dari anak yang akan digusar melakukan beberapa ritual adat, seperti nyekar ke makam dengan arti yaitu untuk meminta doa restu kepada leluhur yang sudah meninggal agar diberi kelancaran dalam acara itu. Membersihkan rambut-rambut kecil yang ada di kening dengan maksud untuk mensucikan diri, di mana rambut yang tumbuh di kening itu masih bawaan dari bayi, jadi harus dikerok agar tumbuh yang baru agar semua menjadi suci kembali. Terakhir yaitu ngagesrek atau membersihkan kerak-kerak gigi dengan uang logam dengan maksud untuk mensucikan diri agar gigi terlihat rapi dan rata.

Makna gusaran untuk saat ini masih sangat bermakna bagi orang sunda karena sampai saat ini masih banyak orang sunda yang melakukan adat gusaran ini. Makna gusaran bagi anak-anaknya untuk mengingatkan anak-anak bahwa dia bukan anak-anak lagi, melainkan seorang umat islam yang sudah akil baligh yang harus selalu melaksanakan kewajibannya sebagai umat Islam.

Namun, saat ini kurangnya kesadaran dari masyarakat akan kebudayaan gusaran atau peperan ini semakin hilang tergerus oleh zaman, yang dikhawatirkan nanti kelak anak dan cucu masyarakat sunda sudah tidak mengenal lagi kebudayaan ini yang telah ada sejak zaman nenek moyang suku sunda. Kebudayaan gusaran ini sangat berarti untuk masyarakat sunda yang memegang teguh adat istiadatnya karena gusaran adalah titik baligh bagi anak-anak sunda yang melakukan gusaran.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta, Penerbitan (Jurnalistik).
Figure
Organization