Berpikir Sebelum Berkata

Ilustrasi. (shutterstock.com)

dakwatuna.com –  Dalam sebuah percakapan, Imam Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya. “Benda apakah yang paling tajam di dunia ini?” “Pedang” serentak mereka. “Itu benar. Tetapi yang paling tajam adalah lidah manusia. Karena ia dengan mudahnya dapat menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri”

Banyak sekali nasihat-nasihat yang sering kita dengar berkaitan dengan masalah lidah. Lidah, meskipun hanya sekerat daging tapi memiliki akibat yang luar biasa besar. Jika ia digunakan secara positif, maka ia dapat menjadi alat diplomasi, menyampaikan hal benar, bahkan bisa mengubah dunia karena pengaruh yang keluar lewat itu. Tetapi ketika digunakan secara salah, ia akan mudah sekali menyeret kita dalam ajang permusuhan. Tapi, sekarang ini, bukan hanya lidah yang bisa menyeret kita dalam perpecahan, melainkan juga jari-jari yang kita gunakan untuk mengetik. Sekarang ini, sering sekali kita jumpai kasus-kasus yang bahkan berujung di meja hijau karena luapan emosi, pemikiran atau perasaan yang diungkapkan lewat media sosial. Dan hal ini paling banyak dilakukan oleh remaja. Teori psikologi mengatakan, hal ini dikarenakan remaja masih dalam masa puncak mencari eksistensi diri sehingga ia membutuhkan respon yang cepat dalam menanggapi keluh kesahnya, dan media sosial menjawab hal itu. Yang menjadi masalah adalah ketika yang diungkapkan itu tidak hanya suasana hati yang sedang baik, tetapi lebih sering ekspresi akibat mood yang buruk, bahkan hingga hujatan-hujatan yang itu sekenanya saja dilontarkan tanpa dasar.

Karena begitu akrabnya dengan gadget seseorang menjadi sangat individualistis. Budaya berdiskusi pun semakin berkurang sehingga akhirnya mereka memberikan penilaian secara langsung tanpa mempertimbangkan baik dan buruk dari hal yang dinilai. Sejatinya, setiap manusia dimodali otak untuk selalu memikirkan apapun tindakan yang akan mereka lakukan, termasuk berbicara. Kasus yang terjadi lewat media sosial menunjukkan bahwa orang cenderung spontan menuliskan apa yang ada dalam benaknya, bukan buah pemikiran dan analisis suatu hal. Akibatnya, mereka tidak pernah menimbang apakah semua orang bisa menerima apa yang ia tuliskan.

Status “telah berteman” seolah menjadi tanda bahwa semua yang ada dalam lingkaran pertemanannya di media sosial telah menyetujui apa yang ia pikirkan tanpa harus dibahas terlebih dahulu. Konsekuensinya sudah jelas, perilaku abai terhadap tindakan berpikir sebelum berbicara ini bisa sangat menyakiti orang lain, bahkan orang yang tidak secara langsung menjadi objek. Sikap minus empati bisa menjadi salah satunya. Contoh terakhir adalah ketika seseorang menghujat maskapai penerbangan jatuh di laut dan membandingkannya dengan maskapai lain, sesuatu yang sangat tidak esensial untuk dibahas di saat kita seharusnya berbela sungkawa atas banyaknya korban yang jatuh, dan sejenak mengabaikan faktor kesalahannya. Dunia maya memang begitu mengasyikkan untuk terus dipantau. Tetapi jangan sampai kita menjadi mengabaikan lingkungan kita di dunia nyata. Usahakan untuk terlebih dahulu berkomunikasi langsung ketika memang di sekitar kita ada kawan yang bisa diajak berdiskusi akan suatu bahasan sehingga ini bisa menjadi referensi sebelum kita menyampaikannya di dunia maya.

Mahasiswi Fakultas Hukum UGM 2013. Peserta PPSDMS Nurul fikri angkatan 7 Regional 3 Yogyakarta.
Disqus Comments Loading...