Topic
Home / Berita / Opini / Tragedi Paris: Mengkhianati Nabi Tanpa Sadar

Tragedi Paris: Mengkhianati Nabi Tanpa Sadar

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Kantor Charlie Hebdo di Paris (rabble.ca)
Kantor Charlie Hebdo di Paris (rabble.ca)

dakwatuna.com – Tulisan ini khususnya untuk warga muslim Indonesia di Eropa. Dunia berduka, atas tragedi penembakan di Charlie Hebdo, distrik 11, di sebuah kantor majalah satire yang sering memuat karton cemoohan terhadap nabi Muhammad. Tapi yang paling berduka atas tragedi ini adalah muslim di Eropa.

Puluhan tahun, dai, ilmuwan, sastrawan, seniman muslim berusaha menampilkan wajah rahmatan lil ‘alamin Islam, mulai dari kesantunan, intelektualitas, produktivitas, dan keterbukaan mengajarkan Islam dengan semua cara yang elegan. Ia bukan tugas ringan, apalagi di Perancis, di mana Islamophobia sangat kental, tidak seperti di Inggris yang ramah.

Sekularisme di Perancis adalah yang paling parah [laicité] dan lebih dirasakan dalam bentuk islamofobia. Namun, selama 3 tahun tinggal disana islamofobia itu mulai saya rasakan berkurang. Sekolah-sekolah SD hingga SMA muslim mulai bermunculan dan terbukti meraih banyak prestasi dan menunjukkan kepada warga asli Perancis bahwa anak-anak muslim tidak berbeda dengan semua anak kulit putih eropa dalam kemampuan pendidikan. Universitas dan lembaga-lembaga kajian muslim bermunculan dan memjawab kebutuhan masyarakat muslim dan Perancis. Even-event akbar diadakan, seperti Rencontre annuelle des musulmans de France dan sangat terbuka mengundang non-muslim berpartispasi sehingga warga asli Perancis mulai merasakan kehangatan kehadiran muslim yang jauh berbeda dengan stigma yang mereka punya sebelumnya.

Usaha puluhan itu terancam lenyap hanya oleh aksi orang yang merasa sedang membela nabinya, dengan menyerang kantor majalah tersebut dan membunuh 12 orang. Padahal dampak kejahatan ini sangat signifikan.

Saya memprediksi fenomena islamofobia itu akan kembali bangkit di seluruh Perancis. Dan dampaknya akan sangat terasa khususnya oleh muslimah dan oleh anak-anak muslim. Ruang gerak mereka akan lebih sempit ke depan, seperti dipersulit, dicemooh, dilecehkan, dll. Apalagi beberapa media-media mainstream memanfaatkan isu ini seperti menyoroti dengan sengaja kaitan ‘membela nabi dan pembunuhan’.

Tapi tragedi itu telah terjadi, dan ulama-ulama muslim Eropa berusaha turun tangan menghadirkan semua kemampuan intelektualitas dan reputasi mereka untuk meyakinkan dunia bahwa tragedi ini mengkhinati ajaran nabi kami dan Islam mengutuk kejahatan ini. Tariq Ramadhan, Professor Teologi Universitas Oxford, cucu Hasan al-Banna adalah yang paling vokal, dibantu oleh sederet ulama-ulama besar dari majelis fatwa Eropa, dan L’Union des Organisations Islamiques de France.

Namun sayang, di tanah air, beberapa situs seakan tidak mengerti situasi ini. Beberapa artikel saya lihat menuliskan ‘alhamdulillah serangan di Charlie hebdo tepat sasaran’. Atau mempertanyakan kenapa kita bergerak saat nabi dihina?

Saya berbaik sangka bahwa mereka menulis dengan motiv membela nabi, namun saya katakan bahwa itu salah kaprah. Setelah tragedi ini, yang perlu dilakukan muslim seluruh dunia ada dua. Pertama mengutuk kejahatan ini dan menjelaskan bahwa Islam menentang kekerasan, bukan bersyukur. Kedua, bekerja lebih keras menampilkan produktivitas sebagai seorang muslim sehingga tercermin konsep rahmatan lil ‘alaminnya.

Mungkin anda menjawab, ‘para penghina nabi itu layak mati’. Atau mungkin anda memuji penembakan ini dengan mencari-cari dalil dari buku klasik seperti ‘Saiful Maslul ‘ala syatimirrasul’ yang artinya ‘pedang terhunus untuk penghina rasul’ karya Ibnu Taimiyyah. Saya sudah membacanya dalam bahasa aslinya maka saya katakan anda salah kaprah jika menafsirkan buku itu untuk membenarkan tragedi ini. Jika anda membenarkan tragedi ini dengan mengatakan ‘alhamdulillah’maka anda perlu keluar dari daerah anda dan berangkat ke Eropa untuk melihat kondisi muslim dan membayangkan konsekuensi yang akan dihadapi mereka pasca tragedi ini. Mungkin anda mengatakan ‘nabi kita dihina, kita harus marah’, saya katakan, memang harus marah. Karena kalau tidak marah, maka ada yang salah dengan iman kita. Namun ekspresikan kemarahan itu dengan produktivitas, banyak caranya, tapi bukan dengan pembunuhan.

Tulisan-tulisan yang bernada membela kejahatan di Charlie Hebdo ini sangat berbahaya dan mengkhawatikan, karena niat baik saja tidak cukup jika pada faktanya merugikan Islam. Sehingga seakan membela Islam padahal sedang merobohkannya.

Dalam tulisan ini, saya mengajak seluruh muslim Indonesia di Eropa untuk menjelaskan kepada masyarakat sekitar bahwa Islam mengutuk segala bentuk kejahatan seperti ini lalu tampilkan nilai-nilai Islam. Jangan hiraukan semua artikel-artikel yang bertebaran dan bernada seolah sedang membela nabi dengan memuji tindakan ini padahal mereka sedang mengkhianati nabi dan nilai suci Islam tanpa mereka sadari.

Masyarakat eropa, walaupun mengakses media-media mainstream namun mereka mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi akan kebenaran. Maka ini kesempatan kita untuk menjelaskan lebih banyak, tentang nilai-nilai agung Quran yang menjunjung kasih sayang. Pertumbuhan Islam di Amerika sangat tinggi setelah 11 september, karena orang-orang menjadi penasaran dan membaca Islam, semoga ini juga terjadi pada warga Perancis. Sehingga tragedi tidak meningkatkan islamofobia, tapi menyuburkan lahan dakwah.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Muhammad Elvandi lahir di Bandung, tahun 1986. Ia menyelesaikan seluruh pendidikan dasarnya di Bandung: SDN Cibuntu 5, SLTPN 25 dan SMUN 9. Bahasa Arab mulai dikenalnya dari dasar selama dua tahun di Ma’had Al Imarat dan bahasa Inggris selama sembilan bulan di LIA. Skill kepemimpinannya terlatih sejak pramuka, menjadi ketua IKMA rohis SLTPN 25, ketua bidang tarbiyah PRISMAN SMUN 9, dan president UCC (United Conversation Club) dan presiden mahasiswa BEM Al Imarat. Pengalaman menulis pertamanya adalah sebuah novel kepahlawanan di zaman perang salib ‘Syair Cinta Pejuang Damaskus‘ tahun 2006. Pertengahan tahun 2007 mendapatkan beasiswa kuliah S-1 di Universitas al-Azhar Mesir, jurusan Da’wah wa Tsaqâfah al-Islâmiyyah hingga selesai tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa di Mesir kembali menekuni aktivitas kepenulisan hingga terbit buku ‘’Inilah Politikku’’. Juga terjun dalam organisasi mahasiswa dan menjadi ketua BPA-PPMI. Dan menjadi pembicara di puluhan forum Keislaman, Kepenulisan, Leadership, Public Speaking dan Politik. Ia menggemari sastra secara umum, juga buku-buku sejarah, pemikiran, dan politik. Tahun 2011 Elvandi meneruskan kuliah ke Perancis. Mempelajari bahasa Perancis dalam setahun di Saint Etienne lalu mengambil Master Filsafat di Institut Europeen des Sciences Humaines de Paris hingga 2014. Ia menjadi konsultan pendidikan dan keislaman untuk komunitas pekerja perusahaan Internasional Total Paris, juga menjadi pembicara keislaman dan keindonesiaan di KBRI Perancis, KBRI Autria, KBRI London, Forum Keislaman IWKZ Berlin, SGB Utrech Belanda, KIBAR United Kingdom, dan beberapa komunitas muslim lokal di Newcastle, Manchester, Glasgow dan Aberdeen. Tahun 2014 Elvandi mengambil mengambil Master kedua di University of Manchester pada program MA Political Science: Governance and Public Policy yang diselesaikan di pertengahan 2015. Saat ini Elvandi membangun beberapa lini bisnis di Indonesia dan Eropa, juga menjadi pembicara di forum-forum dalam dan luar negeri, serta menjadi dosen di Telkom University Bandung. Elvandi juga membina berbagai komunitas anak muda di Indonesia. MUDA Community (www.muda.id) adalah komunitas Muslim Berdaya yang fokus membangun kemampuan pemikiran dan ilmu-ilmu keislaman di generasi muda. Juga AFKAR Institute, adalah lembaga kajian strategis, Think Tank yang mengkaji tema-tema strategis keumatan di level Indonesia dan global.

Lihat Juga

Sekilas Tentang Maulid Nabi SAW

Figure
Organization