Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Lelaki Novel

Lelaki Novel

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – Lukman terus berjalan. Menelusuri pintu-pintu yang tertutup rapat. Bukan sebab Lukman mengalami banyak penolakan, tetapi sebab Lukman sendirilah yang memilih untuk menutup rapat pintu-pintu itu.

Ia tak ingin menyakiti hati banyak orang. Sebab taruhannya sangat mahal. Akhirat. Apalagi bila Lukman sampai menyakiti hati wanita. Itu sama saja Lukman menyakiti hati ibunya. Tetapi ini soal pilihan. Soal selera. Tidak bisa dipaksakan.

Lukman sudah terlanjur tenggelam dalam novel-novel yang ia baca. Baginya, wanita sempurna didalam cerita-cerita fiksi itu memang ada dikehidupan nyata. Minimal kecantikannya persis para pelakonnya di layar lebar.

Lukman tidak mengandai-andai. Wanita seperti itu memang ada. Buktinya, si Ridwan, teman sekampusnya saat masih kuliah strata satu, sekarang sudah menikah. Istrinya cantik. Persis model majalah sampul.

Kalau Ridwan saja berhasil mempersunting perempuan yang kecantikannya setara dengan bintang-bintang layar kaca, apalagi Lukman yang saat dikampus aktif berorganisasi dan termasuk menjadi bintang kampus, tentulah Lukman akan mendapatkan pendamping yang keindahan rupanya sesuai dengan ilusinya. Ya, minimal mirip dengan bintang-bintang layar lebar di cerita-cerita fiksi.

“Memangnya perempuan seperti apa sih, Man, yang mampu memenuhi ekspetasimu?” Agung, sahabat Lukman, mendengus kesal.

Pasalnya, ayah beranak satu itu sudah berkali-kali merekomendasikan calon istri untuk Lukman melalui bantuan sang Istri, tetapi selalu ditolak oleh Lukman.

“Simple, Gung. Kriteriaku nggak neko-neko, kok. Cukup seperti….” Lukman menunjuk kearah televisi. Saat itu Lukman sedang menyaksikan tayangan religi yang ditayangkan ditelevisi.

Begitulah jawaban Lukman tentang kriteria calon istri idamannya.

Kelakuan Lukman yang bisa dibilang tidak masuk akal itu sampai membuat Agung jengah. Kapok mencarikan Lukman calon istri. Biar Lukman cari sendiri saja. Toh ia bukan anak kemarin sore lagi. Paham ilmunya. Mengerti segala konsekuensi jalan hidup yang dipilihnya.

“Itu tuh kalau cinta yang nggak kesampaian. Jatuh cinta kok sama tokoh dalam cerita fiksi.” Agung geleng-geleng. “Ambil hikmah ceritanya, aplikasikan dalam kehidupan nyata kalau ada hal baiknya. Boleh mendamba. Tapi mesti realistis juga, Man.”

“Siapa bilang ini tidak realistis, Gung?”

“Tapi ukuran kesholehan seseorang bukan dari kesolekannya.” Ucap Agung. “Dahulu orang-orang dalam memilih pendamping lebih mengutamakan kesholehannya bukan dari kesolekkannya.”

“Tapi kalau kesholehan dan kesolekkan bisa berjalan beriringan kenapa tidak, Gung?”

Begitulah perdebatan kecil antara dua orang sahabat. Lukman dan Agung. Tapi hal tersebut tetap tak mampu mengubah jalan pikir Lukman.

Lukman akan terus berjalan menelusuri lorong-lorong kehidupannya hingga ia menemukan sebuah pintu yang harus ia ketuk. Walau tak mudah, namun akhirnya Lukman menemukan pintunya pada seorang gadis berjilbab biru dihalaman masjid kampus strata duanya, usai dhuhur berjama’ah di mushola kampus.

Parasnya ayu, putih dan santun dalam balutan jilbabnya. Siapa nama perempuan itu, ya?

“Kamu tanya namanya?” Tanya Agung begitu usai Lukman menceritakan pertemuannya dengan sang gadis yang membuat hati Lukman berdegup kencang. Terperangkap dalam kekaguman.

Lukman menggeleng. Agak menyesal juga kenapa tadi ia tidak cepat-cepat menanyakan nama perempuan itu sebelum pergi meninggalkan mushola kampus.

Tapi setidaknya saat ini Lukman sudah menemukan pintu yang ingin ia ketuk. Perempuan berwajah bening, seperti ilusinya dalam cerita-cerita fiksi. Dan itu harus diperjuangkan. Harus!

===

Lukman telah memulai perjuangannya. Calon pendamping idaman sudah di depan mata harus diperjuangkan. Baginya, jodoh memang tidak kemana, tetapi kan tetap harus dikejar. Harus diperjuangkan.

Ibarat kata orang bijak kalau jodoh tidak akan kemana, Lukman kembali bertemu dengan perempuan itu. Dihalaman masjid kampus. Usai sholat dhuhur berjama’ah dimasjid kampus.

“Anna!” Panggil Lukman. Tadi Lukman sempat mendengar teman perempuan yang bersama dengan gadis berjilbab biru muda itu memanggilnya dengan sebutan Anna.

Perempuan berjilbab biru yang Lukman panggil dengan sebutan Anna itu menengok.

“Anna, ya? Mahasiswi strata dua juga, ya?” Tanya Lukman ramah.

Anna menanggapinya dengan raut wajah heran.

“Saya Lukman. Mahasiswa strata dua ilmu komunikasi penyiaran. Kelas karyawan sabtu dan minggu.” Lukman memperkenalkan diri lagi.

Anna menatap Lukman penuh keheranan, buru-buru mengajak temannya untuk bergegas pergi meninggalkan Lukman.

Jelas saja Anna tampak ketakutan dan menghindar. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba ada seseorang lelaki yang tidak dikenalnya sama sekali justru tahu namanya dan mengajak ngobrol ini itu.

“Dia mahasiswa semester ganjil. Mahasiswi baru. Orangnya pendiam.” Begitu informasi yang disampaikan oleh Agung. Kedua sahabat itu, Agung dan Lukman memang kuliah strata dua di kampus dan jurusan yang sama.

Begitu mendengar Lukman sudah menemukan perempuan sesuai dengan kriterianya setelah pencarian sana sini, sebagai sahabat, Agung merasa terpanggil untuk membantu ikhtiar Lukman dalam menjemput jodoh sahabatnya itu. Makanya Agung sampai rela mencari informasi kemanapun mengenai Anna.

Lukman kembali menemui Anna. Berbeda dengan sikap Anna sebelumnya yang langsung menghindar. Kali ini Anna sedikit memberikan ruang kesempatan kepada Lukman. Saat itu keduanya duduk di lantai satu masjid kampus. Saling berhadapan dengan jarak satu meter. Anna sedikit menunduk.

“Anna, maafkan apabila nanti pernyataanku membuatmu terkejut. Beberapa hari lalu aku sudah memperkenalkan diri padamu. Mungkin kau akan terkejut, tapi aku bukanlah tipe lelaki yang berbelit-belit.” Lukman membuka pembicaraan. Memberanikan diri.

Anna masih agak menunduk. Hanya bulu matanya yang lentik sesekali menyembul.

“Aku jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu.”

Mata Anna sedikit membesar. Tampak jelas betapa kagetnya Anna mendengar pernyataan cinta Lukman.

“Kamu sudah ada kekasih atau calon kekasih?” Tanya Lukman.

Anna menggeleng kemudian perempuan berhidung runcing itu menunduk kembali.

“Aku sungguh-sungguh jatuh cinta kepadamu Anna. Aku ingin menjadikanmu sebagai istriku. Aku berniat melamarmu.”

Anna terperangah kaget. Pernyataan Lukman hari itu sungguh membuat gadis pemalu seperti Anna kaget luar biasa. Anna menggerakkan mulutnya dan ingin mengatakan sesuatu, namun hal tersebut dipotong oleh pernyataan Lukman yang lain.

“Aku tahu kau pasti terkejut sekali. Oleh karena itu pertanyaanku tak perlu kau jawab sekarang juga. Berpikirlah baik-baik terlebih dahulu dan istikharah lah. Minggu depan aku tunggu jawaban darimu ya, Ann?” Ucap Lukman kemudian bersegera pamit meninggalkan gadis yang kecantikkannya persis artis layar kaca itu dalam kebingungan.

===

Hari semakin berlalu. Waktu pun terus berjalan. Lukman sudah tidak sabar mendengar jawaban dari Anna.

Akhirnya hari itu tiba juga, bukan mendengar langsung dari lisan Anna, justru Lukman hanya mendapatkan satu pesan melalui sms dari Anna yang berbunyi ‘Maaf, saya belum memikirkan pernikahan.’ Hanya itu. Tak ada penjelasan apapun.

Sms Anna hari itu bagai petir disiang bolong. Lukman tidak siap dengan jawaban Anna. Sebab, sebelumnya Lukman sangat yakin kalau Anna pun akan mencintainya dan akan menerima ajakan menikah darinya.

Cita-cita memiliki istri sempurna, baik fisik maupun akhlaknya seperti didalam cerita-cerita fiksi sepertinya harus Lukman kubur dalam-dalam

Tapi Lukman tidak bisa tinggal diam begitu saja. Apalagi setelah jawaban Anna melalui sms tersebut, Anna seperti menghilang dari muka bumi. Tidak ada kabar sama sekali. Susah ditemui, baik di masjid kampus, perpustakaan atau tempat-tempat dimana biasanya Lukman melihat Anna dari kejauhan.

Lukman butuh penjelasan mengapa lamarannya ditolak. Padahal Anna lah satu-satunya pintu yang ingin Lukman ketuk daripada pintu-pintu lain. Anna lah satu-satunya wanita yang sesuai dengan segala ilusi dan delusinya tentang kesempurnaan wanita seperti didalam cerita-cerita fiksi.

Telpon Lukman tidak pernah diangkat. Sms dan email Lukman pun tidak pernah dibalas oleh Anna. Lukman terus mencari kepastian jawaban dari Anna. Lukman butuh penjelasan langsung dari Anna. Lukman tidak ingin harapannya pupus begitu saja.

Anna keluar kelas bersama sahabat perempuannya. Didepan kelas sudah ada Lukman yang menunggu Anna keluar kelas. Anna sempat tertegun melihat kehadiran Lukman. Tapi itu sama sekali tak mengubah keputusan Anna.

“Boleh aku tau penjelasan mengenai penolakan ini?” Tanya Lukman.

Anna menoleh. Menghela nafas. Kemudian berjalan lagi.

“Aku mencintaimu, Anna. Tidak kah itu cukup?” Tanya Lukman lagi. “Aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu. Bukankah solusi untuk orang yang jatuh cinta agar dapat menahan pandangannya adalah dengan menikahinya?

Aku tahu kau pasti kaget dengan pernyataanku. Tetapi bukankah seharusnya kau memberikan sedikit ruang kesempatan untuk lebih mengenalku agar dapat meyakinkan mu dalam menerima ajakan menikah dariku?”

Berbagai upaya Lukman lakukan. Namun, gadis itu tetap tidak bergeming. Masih diam dan berkukuh dengan keputusannya. Membuat Lukman putus asa dan kehilangan rasa sabar melihat sikap Anna yang pasif dan keras kepala.

“Kalau kau tidak mau menerima cintaku, silahkan. Biarlah aku mencari wanita lain. Bukan muslimah dan tidak berhijab pun tidak apa-apa.” Cecar Lukman setengah mengancam. Dan itu ampuh mengubah sikap pasif Anna.

Anna terhenyak. Matanya semakin membulat. Tampak jelas kecemasan diwajahnya.

Ditatapnya mata Anna. Lukman mencoba mencari kejujuran dari bola mata Anna yang indah seperti cleopatra. Anna cepat-cepat menunduk.

“Aku hanya ingin mendengar penjelasan dan pendapatmu.” Ucap Lukman lagi. Berharap mendengar itu semua, Anna akan berubah pikiran.

Namun, Anna tetap berkukuh. Diam seribu bahasa. Pergi meninggalkan Lukman.

===

Cinta harus diperjuangkan. Apalagi ini termasuk cita-cita Lukman memiliki istri seperti Anna. Maka Lukman pun terus mencari kepastian kepada Anna. Lukman hanya butuh penjelasan lebih lanjut. Ia hanya butuh mendengarkan langsung dari lisan Anna.

Lukman terus meyakinkan Anna kalau cintanya tulus. Bukan semata-mata sebab kecantikan wajahnya. Walaupun sejujurnya itu juga yang menjadi faktor Lukman jatuh cinta kepada Anna.

Beberapa minggu telah berlalu. Kerja keras dan kesabaran Lukman bisa jadi membuahkan hasil. Baru saja ia mendapatkan sms balasan dari Anna. Isi sms tersebut menginformasikan kalau Lukman ditunggu oleh Abah Anna dirumah. Dan tentu saja itu membuat Lukman bahagia luar biasa.

Segera ia menemui sahabatnya, Agung. Sebagai perantau, di Jakarta ini Lukman tidak memiliki kerabat siapapun. Orang tua dan kerabat Lukman sendiri dikampung. Sangat tidak mungkin Lukman pulang kampung dulu untuk menjemput kedua orang tuanya. Nanti saja kalau sudah acara lamaran resmi. Toh, hari ini Lukman kan baru bersilahturahmi. Jadi, Agung lah yang bisa diharapkan untuk menemani Lukman bertemu dengan Abah Anna.

“Kubilang apa, Gung. Kesempurnaan itu penting. Kadar sholeh dan solek harus dapat semuanya.” Lukman begitu bahagia hari itu.

Agung hanya berdehem.

Tanpa banyak basa-basi lagi, keduanya menuju rumah Anna. Bertemu dengan Abah Anna.

Diruang tamu sudah ada Abah dan Anna. Saat itu Anna memakai jilbab warna biru seperti saat pertama kali Lukman melihat Anna di masjid kampus. Setelah sedikit basa basi, Lukman menjelaskan maksud kedatangannya. Lukman berniat mempersunting Anna sebagai Istri.

Abah pun tampak senang mendengarnya. Sedangkan Anna hanya menunduk.

Melihat kepandaian Lukman dalam berbicara, serta mendengarkan cerita-cerita segala macam prestasi Lukman dan pekerjaannya, orang tua manapun pasti akan setuju mendapatkan menantu seperti itu.

Sebagai ayah yang bijak, Abah selalu menyerahkan keputusan apapun kepada Anna yang akan menjalaninya.

“Kalau Abah pada dasarnya insya Allah setuju saja dengan Nak Lukman. Tapi yang akan menjalaninya kan Anna. Silahkan tanyakan kepada Anna.” Kata Abah bijak.“Bagaimana, Na?”

Anna masih diam. Seperti biasa, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Anna. Hanya tangannya yang bergerak-gerak seperti memberikan isyarat.

Senyum Lukman yang terkembang seketika pias. Ada yang janggal.

Anna tidak berbicara apapun. Namun tangannya terus bergerak memberi isyarat.

Anna? Bisu? Sejak kapan?

Tenggorokan Lukman tercekat. Ternyata ini adalah jawaban atas sikap diam Anna selama ini.

“Tentunya Nak Lukman sudah tau kan kekurangan Anna?” Abah meyakinkankan.

“Man, Anna ternyata bukan pendiam, ya?” Bisik Agung. “Maaf,

Tenggorokan Lukman tercekat. Ego nya sebagai manusia biasa yang selalu mencari kesempurnaan bermain disini. Saat ini adalah pembuktian ia termasuk lelaki pecundang atau lelaki sejati dengan ketepatan kata-katanya.

Lukman masih mematung. Ada sesal hadir menghampirinya. Bukan sesal karena ia bertemu dan jatuh cinta kepada Anna. Tetapi karena sikap pengecutnya. Sikap pecundangnya yang membuat Lukman mesti berlama-lama ragu dan bertarung dengan ego nya yang berkuasa.

Wajah Lukman pucat pias. Sepertinya Anna tahu itu. Wajah kecewa Anna, Lukman tidak akan pernah lupa.

Tiba-tiba sekeliling gelap dan…

Brukk!!

Samar, terdengar orang-orang memanggil nama Lukman.

===
“Lelaki sejati bukan ia yang pandai bicara tetapi ia yang mampu menepati segala kata.”

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Penulis berkulit sawo matang ini sudah menyukai dunia tulis menulis sejak masih berusia 8 tahun. Baginya, menulis merupakan suplemen jiwa. Alasan lain yang membuatnya menyukai dunia tulis menulis adalah �Dengan tulisan, bisa jadi kita mampu mengubah peradaban�

Lihat Juga

(Video) Kebaikan Lelaki Suriah ini Membuat Perempuan Amerika Menangis

Figure
Organization