Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Kesepuluh)

ilustrasi kumis-jenggot (inet)

dakwatuna.com – Islam adalah agama yang sempurna yang meliputi semua sisi kehidupan manusia. Kesempurnaannya itu sesuai dan sejalan fitrah manusia. Termasuk di antaranya urusan akhlak dan penampilan, Islam pun tidak melupakannya. Diatur secara rapi, seimbang, dan pantas. Inilah perbedaaanya dengan agama lain, sekaligus keistimewaanya. Namun banyak umat Islam yang melupakannya, arus globalisasi, terlebih westernisasi, yang tidak dibarengi kekuatan filter aqidah, membuat umat Islam kehilangan identitas dan semakin jauh dan terasing dari ajaran agamanya dan sunah-sunah nabinya.

22. Perintah memanjangkan jenggot dan memendekkan atau mencukur kumis

Ada fenomena menarik dalam kehidupan berislam Umat Islam hari ini. Gelombang syiar Islam sangat marak di seluruh pelosok dunia, mulai dari maraknya muslimah berjilbab, bank syariah, peraturan daerah anti maksiat, kembalinya sebagian daerah untuk menerapkan syariat Islam, dan tidak ketinggalan bagi kaum laki-laki adalah jenggot (bahasa Arabnya Lihyah); yang oleh sebagian kalangan umat Islam dianggap kewajiban agama dan syiar, namun ada juga yang masih menganggapnya aneh dan asing.

Hampir seluruh aktifis dan pejuang Islam, baik tingkat dunia yang terinspirasi dan dimotori oleh Ikhwanul Muslimin (Mesir), Salafi (Arab Saudi), Hizbut Tahrir (Jordania), dan Jamaah Tabligh (Pakistan), kaum laki-laki mereka tidak lupa dengan sunah jenggot ini. Tak ketinggalan tentunya, aktifis Islam dalam negeri baik yang berasal dari Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan lain-lain, walau barangkali tidak segetol aktifis yang terinspirasi dari luar negeri tersebut.

Lalu, apa sebenarnya hukum jenggot ini? Apakah ia wajib, sunah, atau mubah saja sekedar adat masing-masing orang? Hal ini -Insya Allah- akan dibahas secara rinci menurut As-Sunnah Ash-Shahihah, pandangan para Imam empat madzhab, dan ulama masa kini. Maka, jangan kemana-mana dulu, kita akan kembali setelah ini.

Definisi Jenggot

Arti Lihyah (jenggot) dalam kitab Lisanul Arab, “Ibnu Said berkata, ‘Jenggot adalah nama untuk rambut yang tumbuh pada kedua pipi, dan juga nama untuk rambut yang tumbuh pada cambang dan dagu.’ “ Begitu pula dalam kitab Taajul Arusy dan Al-Qamus.

Dalam kamus Al-Munjid hal. 717 disebutkan, “Rambut yang terdapat pada dua pipi dan dagu.”

Imam An-Nawawi berkata, “Adapun mengenai bulu cambang terdapat dua pendapat, namun yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur (mayoritas ulama) bahwa ia juga termasuk hukum jenggot.”

Perintah Rasulullah untuk Memelihara Jenggot dan Mencukur kumis adalah Pasti

Berikut ini akan kami paparkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk umatnya agar mencukur kumis, memanjangkan jenggot, dan berbeda dengan kaum kafir.

  1. Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya, maka dia bukanlah golongan kami.” (HR. At Tirmidzi No. 2761, katanya: hasan shahih. Ath Thabarani, Al-Awsath No. 3027)

Imam Muhammad bin Ismail Al-‘Ajluni mengatakan bahwa hadits ini dishahihkan oleh An-Nasa’i, dan sanadnya kuat. (Kasyful Khafa, 2/310). Dishahihkan pula oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di berbagai kitabnya.

Maksud hadits ini bukan berarti orang yang berkumis tebal telah keluar dari Islam, maknanya adalah orang tersebut tidak mengamalkan sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak berada dalam jalan dan petunjuknnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Tuhfah Al-Ahwadzi (7/70), dan Syarh Sunan An-Nasa’i (1/13).

Pembahasan tentang kumis akan ada bagiannya sendiri nanti. Insya Allah Ta’ala.

  1. Dari Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Bersungguh-sungguhlah kalian dalam mencukur kumis dan peliharalah jenggot kalian.” (HR. Bukhari No. 5893. Muslim No. 259)

Apakah yang dimaksud dengan A’fuu Al-Lihaa (peliharalah jenggot)? Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, dari Ibnu Daqiq Al-‘Id artinya adalah membiarkannya. Sementara Ibnu As-Sayyid menyebutkan dari sebagian ulama artinya adalah memperbaiki dengan mencukur bagian yang tidak pantas. Namun, mayoritas ulama mengatakan artinya adalah melebatkan atau memperbanyak, dan inilah yang benar. Demikian kata Al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 10/351). Namun demikian, para ulama mengatakan jika memanjangkan jenggot adalah demi syuhrah (ketenaran), maka itu adalah perbuatan yang dibenci (makruh) sebagaimana dibencinya memendekkan jenggot. (‘Umdatul Qari, 32/67. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/151)

  1. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

“Bersungguh-sungguhlah dalam mencukur kumis dan biarkanlah jenggot, dan berbedalah dengan orang Majusi.” (HR. Muslim No. 260)

Imam An-Nawawi memberikan penjelasan tentang hadits di atas, bahwa kebanyakan riwayat menyebutkan Arkhuu Al-Lihaa, sementara riwayat Ibnu Mahan menyebutkan Arjuu Al-Lihaa, namun makna keduanya adalah sama yakni panjangkan dan biarkanlah jenggot. Pendapat yang dipilih adalah biarkanlah jenggot sebagaimana adanya, dan janganlah cari alasan untuk memendekkannya sedikitpun. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/151). Imam Abul Abbas Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil agar menjauh dari penyerupaan terhadap mereka (orang muysrik). (Al Mufhim, 3/141)

  1. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Berbedalah dengan orang musyrik, biarkanlah jenggot, dan potonglah kumis.” (HR. Bukhari No. 5892, Muslim No. 259, dan ini lafaznya Bukhari)

Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini, bahwa dahulu orang musyrik (juga orang Majusi menurut riwayat Imam Muslim) memendekkan jenggotnya, dan di antaranya ada yang mencukur habis jenggotnya. Sedangkan waffiruu maknanya adalah utrukuha waafirah (biarkanlah banyak lagi lebat). (Fathul Bari, 10/350). Sementara Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa mencukur habis jenggot merupakan kebiasaan orang Persia (beragama Majusi), dan hal itu telah dilarang oleh syariat, dan beliau menyebutkan bahwa para ulama memiliki sepuluh alasan dibencinya perbuatan mencukur jenggot. (Al Minhaj, 3/151)

  1. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحَى

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot.” (HR. Muslim No. 259, At Tirmidzi No. 2764, Abu Daud No. 4199, Ibnu Hibban No. 5475, Ibnu Abdil Bar, At-Tamhid, 24/143)

Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi mengatakan, bahwa maksud I’fa’ Al-Lihaa, adalah membiarkannya. ‘Afaa Asy-Syai’ artinya melebatkannya. Allah Ta’ala berfirman: hattaa ‘afaw yakni melebihkannya. (‘Aunul Ma’bud, 11/169). Sementara Imam Ibnu Abdil Bar, mengutip dari para ahli bahasa seperti Abu ‘Ubaid, Al-Akhfasy, dan Jama’ah, bahwa makna Al-Ihfa’ adalah mencabut (kumis), sedangkan Al-I’fa adalah membiarkan rambut (jenggot) dan tidak mencukurnya. Ini juga menjadi pendapat sekelompok ulama dan para ahli fiqih dari sahabat-sahabat Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i. (At-Tamhid, 24/143)

  1. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ ….

“Perkara sunah fitrah ada sepuluh, yakni memotong kumis, memelihara jenggot, ……dan seterusnya. (HR. Muslim No. 261, At Tirmidzi No. 2757, Abu Daud No. 53, Ibnu Majah No. 293, Ahmad No. 25060, An-Nasa’i, As-Sunan Al-Kubra No. 9241, Abu Ya’la No. 4517, Ibnu Khuzaimah No. 88)

Demikian sunah qauliyah (sunah perkataan) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang amat jelas dan tegas memerintahkan mencukur kumis dan memelihara jenggot.

Imam An-Nawawi mengatakan bahwa kata-kata dalam hadits-hadits di atas ada lima bentuk kata yakni A’fuu, Awfuu, Arkhuu, Arjuu, dan Waffiruu, makanya adalah sama yakni memanjangkan dan membiarkan jenggot. (Al-Minhaj, 3/151)

Tidak sedikit manusia salah tafsir, mereka menyangka bahwa memelihara jenggot berarti mencukurnya, sebagaimana memelihara tanaman berarti memotongnya. Tafsiran ini terjadi karena menafsiri bukan dari bahasa Arabnya, melainkan dari bahasa Indonesianya, ‘memelihara jenggot’. Padahal kata ‘memelihara’ tidak juga berarti memotong habis, apakah memelihara tanaman berarti tanaman itu dibabat habis? Tentu tidak, justru memelihara tanaman adalah membiarkannya berkembang, rindang, dan berbuah.

Rasulullah Juga Memelihara Jenggot dan Memotong Kumis

Berikut ini adalah sunah fi’liyah (sunah perbuatan). Hal ini sudah diketahui secara masyhur (terkenal), maka ternyata Rasulullah adalah ‘Islam Berjenggot’ sebagaimana pengistilahan orang awam. Jadi, celaan terhadap jenggot –tanpa mereka sadari- telah mencela Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam. Mencela Rasulullah adalah sama dengan mencela Allah Ta’ala. Begitulah kejahilan (ketidaktahuan), selalu membawa sikap sembrono yang mencelakakan. Allah Ta’ala amat melarang istihza’ (memperolok-olok) sunah nabi dengan amat keras, sayangnya sebagian besar umat Islam justru menjadi mustahzi’un (kaum yang memperolok-olok) sunah nabinya sendiri. Mencela sunah nabi bisa membawa pelakunya kepada jurang kekufuran, sebagaimana ayat:

 Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangkafir.”(Ali Imran:31-32)

Ayat di atas menyebutkan bahwa berpaling dari RasulNya, bisa membawa kekufuran, nah apalagi bagi yang berpaling dan sekaligus mencela sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut terhadap fitnah (musibah) dan azab pedih yang akan menimpa mereka.” (An-Nuur: 63)

Berikut akan kami paparkan beberapa keterangan tentang berjenggotnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam hadits-hadits shahih:

عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ قَالَ قُلْنَا لِخَبَّابٍ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَالَ نَعَمْ قُلْنَا بِمَ كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ ذَاكَ قَالَ بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ

Dari Abu Ma’mar, ia berkata, “Kami berkata kepada Khabbab: Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca pada shalat zhuhur dan ashar?” Maka ia berkata,”Ya.” Kemudian kami bertanya, “Dari mana kamu tahu?” Ia menjawab, “Dari gerakan jenggotnya.” (HR. Bukhari No. 746, 760, 761, 777, Abu Daud No. 801, Ibnu Majah No. 826, Ahmad No. 21060, 21061, 21078, 27215)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ

“Rasulullah apabila berwudhu ia mengambil segenggam air dan memasukkannya kebawah mulutnya (jenggot) kemudian menyelai-nyelainya, dan beliau berkata: seperti inilah Rabb-ku memerintahkanku.” (HR. Abu Daud No. 145, Al-Baghawi, Syarhus Sunnah, 1/422, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 247)

Imam Al-Haitsami mengatakan bahwa para periwayat hadits ini adalah orang-orang yang dipercaya (tsiqat). (Majma’ Az Zawaid, 1/235). Imam Ibnu Al-Qaththan mengatakan sanadnya jayyid. (Bayan Al-Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, 5/17). Syaikh Al-Hasan Ar Ruba’i Ash-Shan’ani Rahimahullah menjelaskan bahwa pada isnad hadits ini ada perbincangan, tetapi terdapat jalur lain yang begitu banyak di mana sebagiannya dishahihkan oleh At Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Al-Qaththan, ada pun jalur lain sekalipun dhaif, namun dikuatkan oleh jalur lainnya. (Fathul Ghafar, 1/92) Syaikh Al-Albani menshahihkannya. (Shahihul Jami’ No. 4996)

Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ وَكَانَ إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ

“Bahwa Rasulullah telah beruban bagian depan (rambut) kepalanya dan jenggotnya. Apabila beliau menggunakan minyak rambut, maka putih ubannya tidak jelas. Apabila rambut beliau kusut maka putihnya akan nampak, dan beliau adalah orang yang berjenggot lebat.” (HR. Muslim No. 2344)

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, Beliau menceritakan fisik Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di antaranya berkata:

“Rasulullah adalah seorang yang banyak/lebat jenggotnya (‘Azhimul Lihyah).” (HR. Ahmad No. 944, Ibnu Hibban No. 2611, Abu Ya’la No. 369, Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf No. 31807. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. Sedangkan Syaikh Al-Albani menghasankannya. (Shahihul Jami’ No. 4820). Juga dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 944)

Dari lima riwayat ini, jelaslah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memelihara jenggotnya. Maka, mencela jenggot merupakan memperolok-olok salah satu perilaku (sunah) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Na’udzubillah min dzalik!

Dan Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab (33): 21)

Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ

“Dan barangsiapa yang menyakiti aku, maka dia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa yang menyakiti Allah, maka hampir datang azab baginya.” (HR. At Tirmidzi No. 3862, Ahmad No. 16803, Ibnu Abi ‘Ashim, As-Sunnah No. 992, Abu Bakar bin Al-Khalal, As-Sunnah No. 830, Ibnu Hibban No. 7256, Al-Baihaqi, Syu’abul Iman No. 1424. Hadits ini dishahihkan Imam Ibnu hibban dalam kita Shahih-nya. Sementara Imam At Tirmidzi mengatakan hasan gharib dalam kitab As-Sunan-nya. Sedangkan Syaikh Al-Albani mendhaifkan di berbagai kitabnya, begitupula Syaikh Syu’aib Al-Arnauth juga mendhaifkannya)

Fatwa Ulama Masa Lalu

1. Madzhab Hanafi

Imam Abu Hanifah (biasa juga disebut Imam Hanafi) berkata –sebagaimana dikutip dalam Ad-Durul Mukhtar, “Haram bagi laki-laki memotong jenggotnya.” (Imam Al-Hashfaki, Ad-Durul Mukhtar, 5/727).

Sebaliknya dalam Syarh Syaikh Ismail disebutkan, “Boleh memotong yang panjangnya melebihi satu genggaman, yakni memotong bagian yang lebihnya saja, dan itu sunah. “ (Imam Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Raddul Muhtar, 2/459). Bahkan wajib memotong bagian yang melebihi satu genggaman tangan, sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar. (Imam Az Zaila’i, Tabyin Al-Haqaiq, 4/125) Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan dua kawannya, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. (Imam Al-Babarti, Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah, 3/308). Memotong yang melebihi genggaman tangan merupakan perilaku umumnya para ulama salaf (terdahulu), bahkan Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin menganggap baik hal itu, namun Hasan Al-Bashri dan Qatadah memakruhkannya. (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab

, 1/290)

Imam Ibnu Nujaim dalam kitab Al-Bahrur Ra’iq mengatakan, bahwa mencukur jenggot sebagaimana yang dilakukan oleh orang asing dan laki-laki yang bertingkah seperti wanita, maka itu tidak boleh sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir. (Imam Ibnu Nujaim, Al-Bahr Ar Raiq Syarh Kanzi Ad-Daqaiq, 6/226)

Dalam Kitabus Shiyam Imam Abu Hanifah juga mengatakan mencukur habis jenggot merupakan perbuatan Yahudi dan Nasrani.

2. Madzhab Maliki

Imam Malik berkata dalam kitab At Tamhid, “Haram mencukur jenggot, tidaklah mencukur jenggot, kecuali orang-orang yang berlagak wanita (banci) dari kalangan laki-laki.”

Imam Malik ditanya, bagaimana dengan jenggot yang terlalu panjang? Dia mengatakan boleh dipotong sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah, yakni bagian yang melebihi genggaman tangan saja. (Imam Abul Walid Al-Baji, Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’, 4/367). Imam Malik juga membolehkan memotong bagian yang tidak beraturan. (Ibid. Lihat juga Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 24/145)

Imam Al-Qurthubi Al-Maliki mengatakan, “ Tidak boleh mencukur jenggot, mencabutnya, dan memotongnya.” (Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-‘Ashimi Al-Hambali, Tahrim Halq Al-Lihaa, Hal. 3. Riasah idarah Al-Buhuts Al-‘Ilmiah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad) 

3. Madzhab Syafi’i

Salah satu Imam Madzhab Syafi’i, yakni Imam Sayyid Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatut Thalibin, menyebutkan tentang pandangan para imam madzhab syafi’i bahwa mencukur jenggot termasuk zajr (dosa) dan jarimah (kejahatan) bagi pelakunya, dan mesti diberikan hukuman ta’zir (di dera). (Imam Sayyid Al-Bakri Ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, 4/190)

Berkata Ibnu Raf’ah di dalam hasyiah (catatan kaki) kitab Al-Kafiyah, Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i menyatakan dalam kitabnya, Al-Umm, tentang keharaman mencukur jenggot, begitu pula yang dinyatakan Imam Az Zarkasy Asy-Syafi’i dan Imam Al-Halimi Asy-Syafi’i di dalam kitab Syu’abul Iman dan Al-Qafal Asy-Syasy di dalam kitab Mahasin Asy-Syariah yang menyatakan keharaman mencukur jenggot.

Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata, “Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya. Berita yang terkenal, bahwa yang melakukan demikian itu adalah orang-orang Majusi (penyembah api), bahwa mereka biasa mencukur jenggotnya.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 16/483)

Syaikh Abdurrahman bin Ahmad bin Qasim menyebutkan dalam Tahrim Halqil lihyah, tentang perkataan dua Imam bermadzhab Syafi’i yakni Imam An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali, yang mengatakan bahwa mencabut jenggot merupakan kemungkaran besar. (Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-‘Ashimi Al-Hambali, Tahrim Halq Al-Lihaa, Hal. 10. Riasah idarah Al-Buhuts Al-‘Ilmiah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad) 

4. Madzhab Hambali

Imam Ibnu Muflih Al-Hambali mengatakan,”Haram mencukurnya (jenggot), sebagaimana dsebutkan syaikh kami.” (Imam Ibnu Muflih, Al-Furu, 1/92)

Imam Ibnu Taimiyah Al-Hambali berkata,”Haram hukumnya mencukur jenggot.” (Imam Ibnu Taimiyah, Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah, Hal. 388). Ia juga berkata, “Diharamkan mencukur jenggot dengan dalil hadits-hadits yang shahih dan tak seorang pun yang membolehkannya.”

Demikian fatwa ulama masa lalu dari empat madzhab, sedangkan Imam Ibnu Hazm (bermadzhab Zhahiri) berkata dalam Maratibul Ijma’, “Mereka telah sepakat bahwa mencukur semua jenggot adalah terlarang. (Imam Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, Hal. 157. Dar Az Zahid Al-Qudsi)

Fatwa Ulama Masa Kini

Berkata Al-‘Allamah Asy-Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy Hafizhahullah dalam Al-Halal wal Haram fil Islam, “Perintah Rasulullah ini mengandung pendidikan bagi umat Islam agar memiliki kepribadian tersendiri serta berbeda dengan orang kafir, lahir dan batin, yang tersembunyi atau yang nampak. Terlebih dalam hal mencukur jenggot ini, ada unsur-unsur menentang fitrah dan menyerupai perempuan. Sebab jenggot adalah lambang kesempurnaan laki-laki dan tanda yang membedakan dengan jenis lain.”

Ia juga berkata, “Kebanyakan orang-orang Islam yang mencukur jenggotnya lantaran mereka meniru musuh-musuh mereka, kaum penjajah negeri mereka, dan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagimana biasanya, orang-orang kalah senantiasa meniru orang-orang yang menang, mereka melakukan itu telah jelas melupakan perintah Rasulullah agar berbeda dengan orang-orang kafir. Mereka telah lupa pula terhadap larangan Nabi tentang menyerupai orang kafir, sebagaimana hadits, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia itu termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Kebanyakan ahli fiqih yang berpendapat haramnya mencukur jenggot beralasan dengan hadits di atas. Sedang tiap perintah pada asalnya menunjukkan hukum wajib, apalagi Rasulullah telah memberikan alasan dibalik perintahnya itu yakni supaya kita berbeda dengan orang-orang kafir. Dan berbeda dengan orang kafir hukumnya wajib juga.

Tidak seorang pun ulama salaf (terdahulu) meninggalkan kewajiban ini (memelihara jenggot) …dst.“ Demikian pandangan Syaikh Al-Qaradhawy.

Al Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Rahimahullah berkata (Lihat Hajjatun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Hal. 8), “Perkara ini –mencukur jenggot- adalah maksiat dari sekian banyak maksiat yang tersebar di kalangan umat Islam saat ini yang disebabkan berkuasanya kaum kuffar di mayoritas negeri kaum muslimin, dan perbuatan maksiat ini berpindah ke negeri-negeri kaum muslimin serta sikap taqlid (ikut-ikutan) kaum muslimin kepada mereka, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah jelas melarang dalam sabdanya yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Berbedalah dengan kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.”

Dalam Silsilah Adh Dhaifah, 5/125 Ia berkata, “Dalam hadits ini mengandung isyarat kuat, bahwa memendekkan jenggot –sebagaimana yang dilakukan jamaah- posisinya seperti mencukurnya, yaitu dari segi tasyabbuhi (penyerupaan dengan orang musyrik). Hal ini tidak diperbolehkan. Dan amalan sunnah yang berjalan dikalangan salaf dan para sahabat dan lainnya adalah membiarkan jenggot kecuali yang melebihi genggman tangan, maka dibolehkan memotong kelebihannya.”

Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah berkata (Ad Da’wah hal. 992) ketika ditanya apa hukum mencukur jenggot, “Mencukur jenggot tidak boleh karena sabda Rasulullah di dalam hadits yang shahih, “Potonglah kumis dan peliharalah jenggot dan berbedalah dengan orang-orang musyrik.” Dan sabda yang lain, “Cukurlah kumis, peliharalah jenggot, dan berbedalah dengan orang Majusi.”

Syaikh Ali Mahfuzh berkata dalam Al-Ibda’ fi Madhahir Al-Ibtida’ , “Madzhab yang empat sepakat bahwa wajibnya memelihara jenggot dan larangan memotongnya, haram mencukurnya, dan mengambil sedikit pun darinya.”

Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi berkata (Minhajul Muslim hal. 129), “Adapun jenggot hendaklah dibiarkan saja memenuhi wajah sebagaimana sabda Rasulullah, ‘Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.’ Dan sabdanya yang lain: ‘Berbedalah dengan orang musyrik, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.’ Yang maknanya tidak memotongnya, dan memperbanyaknya, maka haram mencukurnya.”

Tambahan; Apa maksud memendekkan kumis?

Maksudnya adalah memendekkan sebatas ujung bibir, ataukah dicukur habis (botak)? Dalam masalah ini, kami ambil dari Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad Juz I, terbitan Mu’asasah Ar Risalah, kami kutip teks aslinya sebagai berikut:

فَقَالَ مَالِكٌ فِي مُوَطّئِه ِ يُؤْخَذُ مِنْ الشّارِبِ حَتّى تَبْدُوَ أَطْرَافُ الشّفَةِ وَهُوَ الْإِطَارُ وَلَا يَجُزّهُ فَيُمَثّلَ بِنَفْسِهِ . وَذَكَرَ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ عَنْ مَالِكٍ قَالَ يُحْفِي الشّارِبَ وَيُعْفِي اللّحَى وَلَيْسَ إحْفَاءُ الشّارِبِ حَلْقَهُ وَأَرَى أَنْ يُؤَدّبَ مَنْ حَلَقَ شَارِبَهُ وَقَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْهُ إحْفَاءُ الشّارِبِ وَحَلْقُهُ عِنْدِي مُثْلَةٌ قَالَ مَالِكٌ وَتَفْسِيرُ حَدِيثِ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي إحْفَاءِ الشّارِبِ إنّمَا هُوَ الْإِطَارُ وَكَانَ يَكْرَهُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ أَعْلَاهُ . وَقَالَ أَشْهَدُ فِي حَلْقِ الشّارِبِ أَنّهُ بِدْعَةٌ وَأَرَى أَنْ يُوجَعَ ضَرْبًا مَنْ فَعَلَهُ قَالَ مَالِكٌ وَكَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ إذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ نَفَخَ فَجَعَلَ رِجْلَهُ بِرِدَائِهِ وَهُوَ يَفْتِلُ شَارِبَهُ وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ : السّنّةُ فِي الشّارِبِ الْإِطَارُ وَقَالَ الطّحَاوِيّ : وَلَمْ أَجِدْ عَنْ الشّافِعِيّ شَيْئًا مَنْصُوصًا فِي هَذَا وَأَصْحَابُهُ الّذِينَ رَأَيْنَا الْمُزَنِيّ وَالرّبِيعُ كَانَا يُحْفِيَانِ شَوَارِبَهُمَا وَيَدُلّ ذَلِكَ عَلَى أَنّهُمَا أَخَذَاهُ عَنْ الشّافِعِيّ رَحِمَهُ اللّهُ قَالَ وَأَمّا أَبُو حَنِيفَةَ وَزُفَرُ وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمّدٌ فَكَانَ مَذْهَبُهُمْ فِي شَعْرِ الرّأْسِ وَالشّوَارِبِ أَنّ الْإِحْفَاءَ أَفْضَلُ مِنْ التّقْصِيرِ وَذَكَرَ ابْنُ خُويز مَنْدَادٍ الْمَالِكِيّ عَنْ الشّافِعِيّ أَنّ مَذْهَبَهُ فِي حَلْقِ الشّارِبِ كَمَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عُمَرَ . وَأَمّا الْإِمَامُ أَحْمَدُ فَقَالَ الْأَثْرَمُ : رَأَيْتُ الْإِمَامَ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ يُحْفِي شَارِبَهُ شَدِيدًا وَسَمِعْته يُسْأَلُ عَنْ السّنّةِ فِي إحْفَاءِ الشّارِبِ ؟ فَقَالَ يُحْفِي كَمَا قَالَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَحْفُوا الشّوَارِبَ وَقَالَ حَنْبَلٌ قِيلَ لِأَبِي عَبْدِ اللّهِ تَرَى الرّجُلَ يَأْخُذُ شَارِبَهُ أَوْ يُحْفِيهِ ؟ أَمْ كَيْفَ يَأْخُذُهُ ؟ قَالَ إنْ أَحْفَاهُ فَلَا بَأْسَ وَإِنْ أَخَذَهُ قَصّا فَلَا بَأْسَ . وَقَالَ أَبُو مُحَمّدِ بْنِ قُدامة الْمَقْدِسِيّ فِي الْمُغْنِي : وَهُوَ مُخَيّرٌ بَيْنَ أَنْ يُحْفِيَهُ وَبَيْنَ أَنْ يَقُصّهُ مِنْ غَيْرِ إحْفَاءٍ . قَالَ الطّحَاوِيّ : وَرَوَى الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ أَنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَخَذَ مِنْ شَارِبِهِ عَلَى سِوَاكٍ وَهَذَا لَا يَكُونُ مَعَهُ إحْفَاءٌ . وَاحْتَجّ مَنْ لَمْ يَرَ إحْفَاءَهُ بِحَدِيثَيْ عَائِشَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ الْمَرْفُوعَيْنِ عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَة فَذَكَرَ مِنْهَا قَصّ الشّارِبِ . وَفِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمُتّفَقِ عَلَيْهِ الْفِطْرَةُ خَمْس وَذَكَرَ مِنْهَا قَصّ الشّارِبِ . وَاحْتَجّ الْمُحْفُونَ بِأَحَادِيثِ الْأَمْرِ بِالْإِحْفَاءِ وَهِيَ صَحِيحَةٌ وَبِحَدِيثِ ابْنِ عَبّاسٍ أَنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَانَ يَجُزّ شَارِبَهُ قَالَ الطّحَاوِيّ : وَهَذَا الْأَغْلَبُ فِيهِ الْإِحْفَاءُ وَهُوَ يَحْتَمِلُ الْوَجْهَيْنِ . وَرَوَى الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَرْفَعُهُ جُزّوا الشّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللّحَى قَالَ وَهَذَا يَحْتَمِلُ الْإِحْفَاءَ أَيْضًا وَذَكَرَ بِإِسْنَادِهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي أُسَيْدٍ وَرَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ وَسَهْلِ بْنِ سَعْدٍ وَعَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ أَنّهُمْ كَانُوا يُحْفُونَ شَوَارِبَهُمْ . وَقَالَ إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمّدِ بْنِ حَاطِبٍ : رَأَيْت ابْنَ عُمَرَ يُحْفِي شَارِبَهُ كَأَنّهُ يَنْتِفُهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ حَتّى يُرَى بَيَاضُ الْجِلْدِ . قَالَ الطّحَاوِيّ : وَلَمّا كَانَ التّقْصِيرُ مَسْنُونًا عِنْدَ الْجَمِيعِ كَانَ الْحَلْقُ فِيهِ أَفْضَلَ قِيَاسًا عَلَى الرّأْسِ وَقَدْ دَعَا النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِلْمُحَلّقِينَ وَاحِدَةً فَجَعَلَ حَلْقَ الرّأْسِ أَفْضَلَ مِنْ تَقْصِيرِهِ فَكَذَلِكَ الشّارِبُ .

”Dalam kitab Al-Muwaththa’-nya Imam Malik berkata, ‘kumis dipotong sampai tampak ujung bibir, yaitu lekukan bibir dan tidak melebihinya.’ Lalu beliau menyontohkan dengan dirinya. Ibnu Abdil Hakim meriwayatkan dari Imam Malik, ia berkata, ‘Kumis dipotong, jenggot dipelihara, dan memotong kumis tidaklah dengan mencukurnya (sampai habis).’ Sementara dari Ibnul Qasim ada perkataan lain dari Imam malik, katanya, ‘Bagiku, memotong dan mencukur kumis itu sama saja.’ Imam Malik berkata, ‘Penafsiran atas hadits Rasulullah tentang memotong kumis adalah kumis yang ada pada lekukan bibir, dan Rasulullah juga memakruhkan mencukur habis kumis yang ada di atas lekukan itu.’ Dia (Imam Malik) juga berkata, ‘Aku bersaksi bahwa mencukur kumis (sampai habis) adalah bid’ah dan aku berpendapat bahwa orang yang melakukanya mesti dipukul,’ Dia melanjutkan, ‘Jika Umar bin Al-Khaththab sedang dilanda kesulitan suatu masalah, dia naik darah, mengikatkan selendangnya di kaki, dan melinting kumisnya,’

Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Sunahnya untuk kumis adalah di lekukan bibir.’ Ath Thahawi berkata, ‘Dalam hal ini kami tidak dapat satu teks pun dari Imam Asy-Syafi’i, sementara dari murid-muridnya seperti Al-Muzani dan Ar Rabi’, mereka memotong kumisnya, ini berarti mereka mengambil pelajaran dari Imam Asy-Syafi’i.’ Ath Thahawi melanjutkan, ‘Sementara untuk Imam Abu Hanifah, Zufar, Imam Abu Yusuf, dan Imam Muhammad bin Qasim, dalam madzhab mereka mencukur rambut dan kumis (sampai habis) lebih utama dibanding memendekkannya.’ Disebutkan oleh Ibnu Khuwaiz Mindad Al-Makki dari Imam Asy-Syafi’i bahwa dalam hal mencukur kumis, madzhabnya (yakni syafi’i) sama dengan madzhab Imam Abu Hanifah. Itulah pandangan Imam Abu Umar. Sementara Madzhab Imam Ahmad, Utsman berkata, ‘Aku melihat Imam Ahmad memotong kumisnya sangat pendek, dan aku mendengar beliau ditanya tentang memotong kumis, mbeliau menjawab, ‘Dipotong, sebagaimana sabda Rasulullah, Ahfuu Asy-Syawaarib (potonglah kumis). Hanbal berkata, ‘Ditanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad), anda berpendapat bahwa seorang laki-laki harus memotong kumisnya atau mencukurnya, atau bagaimana memotongnya?’ Dia menjawab, ‘Jika dia memotongnya, tidak mengapa dan jika dia mengambil gunting untuk mencukurnya, juga tidak mengapa.’ Sementara, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Mughni berkata, ‘Bebas saja, apakah ia mencukurnya atau sekedar memotongnya, tanpa mencukur.’ Ath Thahawi berkata, ‘Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah bahwa sesungguhnya Rasulullah mengambil sebagian kumisnya di atas kayu siwak dan itu tidak mungkin terjadi dalam pencukuran (sampai habis). Yang berpendapat bahwa kumis tidak dicukur sampai habis berargumen dari hadits Aisyah bahwa ada sepuluh hal fitrah manusia …. Di antaranya menggunting kumis, juga hadits Abu Hurairah, fitrah itu ada lima ….. di antaranya menggunting kumis.

Adapun argumen dari kelompok yang berpendapat bahwa mencukur sampai habis, adalah hadits dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah mencukur kumisnya (HR. Ath thahawi dan Tirmidzi). Ath thahawi berkata, ‘Yang paling nampak dari hadits ini adalah memotong, walau bisa saja ada dua penafsiran.’ Diriwayatkan dari Al-‘Ala bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu’: ‘Cukurlah kumis kalian dan biarkanlah jenggot.’ Hadits ini memberikan penafsiran pemotongan, dan disebutkan dengan sanadnya, dari Abu Said, Abu Usaid, Rafi’ bin Hudail, Sahal bin Sa’ad, Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, dan Abu Hurairah, bahwa mereka juga memotong kumis. Ibrahim bin Muhammad bin Hathib berkata, ‘Aku melihat Ibnu Umar mencukur kumisnya, seakan ia mencabutinya.’ Sebagian mereka berkata, ‘Sampai terlihat putih-putih kulitnya.’ Ath Thahawi berkata, ‘karena memotong disunahkan menurut seluruh ulama, maka mencukurnya adalah lebih utama, dengan mengkiaskan dengan rambut kepala.’ Disebutkan bahwa Rasulullah mendoakan tiga kali orang yang mencukur rambutnyai, dan hanya sekali berdoa untuk yang memotong rambutnya (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, Rasulullah beranggapan bahwa mencukur rambut lebih utama dibanding memotongnya, dan demikian pula halnya dengan kumis.’ “(Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/179-182. Muasasah Ar Risalah)

Kalimat akhir dari Imam ibnul Qayyim ini menunjukkan bahwa mencukur kumis, lebih utama dibanding memendekkannya, dengan mengqiyaskan bahwa membotakkan rambut lebih utama dibanding memendekkannya. Wallahu A’lam

Bersambung….

Sebelumnya….

Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...