Topic
Home / Berita / Opini / Malari dan Kronologi yang Dipersiapkan

Malari dan Kronologi yang Dipersiapkan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Persitiwa Malari di Senen 15 Januari 1974. (wikipedia)
Ilustrasi – Persitiwa Malari di Senen 15 Januari 1974. (wikipedia)

dakwatuna.com – Berawal dari Apel Tritura di tanggal 15 Januari 1974 yang berujung pada peristiwa petaka Ibukota, jauh waktu sudah dirumuskan gagasan-gagasan kecil, mulai dari diskusi 28 tahun kemerdekaan Indonesia tanggal 13-16 Agustus 1973 yang menghasilkan kesepakatan untuk perlunya praktek politik dan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah dengan bukan sekedar diskusi-diskusi semata. Berlanjut pada diskusi petisi 24 Oktober 1973 jelang peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan ‘Petisi 24 Oktober’ yang kemudian dibacakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Beranjak ke 10 November  masih di tahun yang sama, dalam rangka peringatan hari pahlawan, para mahasiswa yang tergabung dari beberapa dewan mahasiswa beberapa universitas kembali membacakan sebuah ikrar mengenai kesatuan tekad dan peningkatan solidaritas sesama mahasiswa.

Dari tiga forum-forum mahasiswa tersebut dipantik kobaran semangat demonstrasi para mahasiswa atas kedatangan ketua IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia), J.P. Pronk, sebuah organisasi bentukan Belanda yang mengatur hutang Indonesia.

Pasca demonstrasi tersebut, sarjana-sarjana sekaliber Mochtar Lubis, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien yang terhimpun dalam Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia kembali mengadakan mimbar-mimbar diskusi yang menghasilkan sebuah ikrar yang disebut ‘Ikrar Warga Negara Indonesia’. Hingga satu momentum kembali diciptakan, di pergantian 1973 ke 1974, Malam Tirakatan. Malam tersebut adalah peresmian pembakaran sumbu kecil pergerakan secara terang-terangan untuk pertama kalinya. Hariman Siregar dengan pidato yang berjudul ‘Pidato Pernyataan Dari Mahasiswa’ tampak lihai membakar semangat para mahasiswa untuk peduli pada kondisi bangsa dan seruan pengingat bahwa pemuda wajib bisa melakukan perubahan.

Dewan Mahasiswa dari berbagai universitas se Indonesia kembali terhimpun, 12 Januari 1974 mereka bertemu dengan Soeharto membawakan 6 (enam) tuntutan terkait pemberantasan korupsi dan pembenahan ekonomi. Nihil, seolah tanpa hasil. Diperparah citra tutup mata dan telinga Presiden kala itu dengan datangnya Kakuei Tanaka, PM Jepang ditanggal 14 Januari 1974 ke Indonesia semakin membangunkan macan tidur dari kandangnya, mahasiswa tergugah, mereka bangun dan lantang bersuara atas nama perbaikan – pembenahan dan retorika kepedulian pada Indonesia. Ibukota menjadi saksi demonstrasi mereka.

Puncaknya, tepat di 15 Januari 1974 para mahasiswa melangsungkan sebuah apel akbar di halaman Universitas Trisakti dengan kembali membawakan tuntutannya. Dalam apel tersebut Tritura Jilid II juga dibacakan oleh para mahasiswa;  “Bubarkan Aspri, Hentikan Modal Asing, Hukum para koruptor”.

Dua Muara dalam Belangga

Belangga huru hara kita masih sama, Malari – Malapetaka 15 Januari – namun para pelaku sejarah telah meninggalkan fakta yang buta.

“Aksi apel besar yang dipusatkan di halaman Universitas Trisakti ini tadinya merupakan aksi damai, namun tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki di berbagai tempat di wilayah ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang semuanya dibakar, bahkan gedung-gedung dan pusat perbelanjaan di Senen, Harmoni, pun ikut dibakar. korban-korban berjatuhan, dari yang luka kecil bahkan sampai korban jiwa ada. Total terdapat 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dibakar, 160 kg emas raib. Selain itu terdapat 144 gedung yang porak-poranda termasuk gedung Astra Toyota Motors, coca-cola, Pertamina, dan puluhan toko di proyek Senen” (Kilas Balik Deskripsi Kejadian Malari)

Paradigma bebas memihak yang mana menjadi hak seluruh warga negara hari ini. Di hadapan kita ada 2 pernyataan, 2 pembelaan dan 2 pembenaran. Perspektif aktivis dan perspektif birokrat.

Pihak birokrat kala itu menyampaikan bahwa ini adalah sebuah strategi yang dimainkan oleh oknum ketiga dengan tujuan mengisolasi pemerintahan dan menjatuhkannya, di mana mahasiswa digunakan sebagai masa gerak.  Justru dalam keadaan terisolasi demikian, Pak Harto pun kembali ke ‘rumpun’ asalnya, militer. Dari situlah militer mulai kuat memasuki lingkaran dalam pemerintah dan Pak Harto kembali otoriter. Sedang di sudut pandang aktivis, Malari adalah sebuah strategi kambing hitam pada mahasiswa, ada invicible hand yang disinyalir telah mengirimkan orang bayaran, dimunculkannya provokator dalam aksi. Ali Moertopolah sosok yang terindikasi menghendaki peristiwa ini, namun sang pimpinan tertinggi negeri – Jenderal Soeharto tidak luput dari dugaan pelaksana kekisruhan ini dalam rangka menghentikan aksi mahasiswa yang menyuarakan untuk dihentikannya penanaman modal asing dan anti asing serta serangkaian tuntutan yang tidak didengarkan para elite politik negara.

Demikianlah ringkasnya sebuah pertanyaan sejarah akan telah dimatikan jawabannya seiring dengan matinya juru kunci, Soeharto. Dalang pewayangan Orde Baru yang paham apa dan bagaimana kejadian petaka di periode kepemimpinannya. Maka dengan demikian, sebuah kejujuran pada sejarah hanya akan menjadi saksi bagi mereka yang telah jujur mendefinisikan sejarah atas suara kebenaran. Bukan sebuah ekspektasi untuk membela dan mencari plagiat serta penguat. Maka biarkanlah Indonesia mengulang Malari-malari kecil hari ini, jika rugi, biarkanlah kerugian itu atas nama Indonesia seluruhnya, bukan hanya kerugian yang harus ditanggung rakyat jelata Indonesia saja. Rakyat yang menjadi hamba dari kalangan paduka.

Dan semoga kita tidak luput melihat juga, sesudah Malari, di tahun berikutnya, terjadilah overkill di Pembatasan Modal Asing. Pembatasan-pembatasan semakin diperketat oleh pemerintah. Daftar larangan investasi dalam negative list semakin diperpanjang. Kata birokrat juga, “Bukankah tidak ada salahnya presiden memiliki tim penasihat? Bahkan Presiden Amerika Serikat pun memiliki special advisor. Kalau kepala negara tidak memiliki personal staff, lama kelamaan ia akan terjepit sendiri.

Manapun perspektifmu, gunakan semangat malari untuk pedulimu pada negeri! Bukankah sosok seperti Hariman Siregar masih menjadi niscaya untuk kembali dikobarkan?

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pekerja Sosial Kementerian Sosial RI (Developer Community) - Penulis - dan Konsultan di Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Sinar Kasih Sragen.

Lihat Juga

Cegah Sekulerisme, KAMMI Pangkalan Bun Adakan Training Kepemimpinan

Figure
Organization