Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Kesembilan)

Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Kesembilan)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi bersiwak (commeparallah.fr)
ilustrasi bersiwak (commeparallah.fr)

dakwatuna.com – Islam adalah agama yang sempurna yang meliputi semua sisi kehidupan manusia. Kesempurnaannya itu sesuai dan sejalan fitrah manusia. Termasuk di antaranya urusan akhlak dan penampilan, Islam pun tidak melupakannya. Diatur secara rapi, seimbang, dan pantas. Inilah perbedaaanya dengan agama lain, sekaligus keistimewaanya. Namun banyak umat Islam yang melupakannya, arus globalisasi, terlebih westernisasi, yang tidak dibarengi kekuatan filter aqidah, membuat umat Islam kehilangan identitas dan semakin jauh dan terasing dari ajaran agamanya dan sunah-sunah nabinya.

20. Bekumur-kumur (madhmadhah)

Dari Humran –pelayannya Utsman bin Affan-, Beliau melihat Utsman Radhiallahu ‘Anhu meminta diambilkan bejana:

فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ، فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الإِنَاءِ، فَمَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، وَيَدَيْهِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ ثَلاَثَ مِرَارٍ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ إِلَى الكَعْبَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Lalu Beliau memenuhi kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali dia mencuci keduanya, kemudian memasukan tangan kanannya ke bejana (untuk ambil air), lalu dia berkumur-kumur, dan menghirup air ke hidung, lalu mencuci muka sebanyak tiga kali, dan kedua tangannya sampai ke siku sebanyak tiga kali, lalu mengusap kepalanya tiga kali, lalu mencuci kedua kakinya sampai kedua mata kaki sebanyak tiga kali. Lalu Beliau (‘Utsman) berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu dia shalat dua rakaat, lalu dia tidak memikirkan dunia dalam shalatnya itu, akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No. 159, Muslim No. 226)

Seperti pembahasan sebelumnya bahwa berkumur-kumur dianjurkan ketika berwudhu, hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan anjuran tersebut apakah wajib atau sekedar sunah. Dan, kumur-kumur dibolehkan ketika shaum (puasa), asal tidak berlebihan.

Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan definisi madhmadhah:

الْمَضْمَضَةُ: هِيَ أَنْ يَجْعَلَ الْمَاءَ فِي فِيهِ، ثُمَّ يُدِيرُهُ ثُمَّ يَمُجُّهُ قَالَ النَّوَوِيُّ: وَأَقَلُّهَا أَنْ يَجْعَلَ الْمَاءَ فِي فِيهِ، وَلَا يُشْتَرَطُ إدَارَتُهُ عَلَى الْمَشْهُورِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ وَعِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ الْإِدَارَةَ شَرْطٌ

Madhmadhah adalah memasukan air di dalam mulut, kemudian memutarnya, lalu dibuang. An-Nawawi berkata: paling minim adalah memasukan air ke mulut, tidak disyaratkan memutar-mutarnya menurut pendapat yang terkenal dari mayoritas ulama. Sedangkan sahabat Asy-Syafi’i dan selain mereka mengatakan bahwa memutar-mutar air di mulut adalah syarat sahnya kumur-kumur. (Ibid)

Sementara di berbagai kitab kamus bahasa Arab, yang disusun para ahli bahasa menyebutkan bahwa madhmadhah adalah:

تَحْرِيكُ الْمَاءِ فِي الْفَمِ

Menggerakan air di dalam mulut. (Tajul ‘Arus, 19/62, Lisanul ‘Arab, 7/234, Mukhtar Ash-Shihah, Hal. 295, Al-Qamus Al-Muhith, Hal. 654, At Tauqif ‘ala Muhimmat At Ta’arif, Hal. 307, Tahdzibul Lughah, 11/331)

Tentang kebolehan berkumur-kumur ketika berpuasa berdasarkan riwayat berikut ini. Dari Umar radhilallahu ‘anhu, katanya:

هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ

Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya berkata, “Hari ini, aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?” Saya (Umar) menjawab, “Tidak mengapa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Lalu, kenapa masih ditanya?” (HR. Ahmad No. 138, 372, An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra No. 3036, Ibnu Khuzaimah No. 1999. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 1572, katanya: shahih sesuai syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, Syaikh Al-Albani, Syaikh Muhammad Mushthafa Al-A’zhami, dan lainnya)

21. Anjuran bersiwak

Islam agama yang mencintai kebersihan. Di antaranya adalah menjaga kebersihan mulut dengan bersiwak. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa riwayat berikut ini:

Dari Au Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَة

Seandainya tidak memberatkan umatku atau manusia, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap shalat. (HR. Bukhari No. 887, Muslim No. 252, dan ini adalah lafaznya Bukhari)

Ini menunjukkan bersiwak sangat dianjurkan Nabi Muhammad shallallahu ‘Aaaihi wa sallam. Sampai-sampai beliau ingin memerintahkan dilakukan setiap kali shalat, tapi beliau khawatir akan memberatkan umatnya, maka hal itu tidak diperintahkan.

Imam Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Fathul Bari-nya:

دليل على أن السواك ليس بفرض كالوضوء للصلاة، وبذلك قال جمهور العلماء، خلافاً لمن شذ منهم من الظاهرية.

Ini menjadi dalil bahwa bersiwak bukanlah kewajiban seperti wudhu untuk shalat, inilah pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan pendapat janggal yang menyelisihi mereka dari golongan zhahiriyah (tekstualist). (Fathul Bari, 8/122)

Sementara Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip dari Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah sebagai berikut:

فيه دليل على أن السواك ليس بواجب لأنه لو كان واجبا لأمرهم شق عليهم به

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa bersiwak bukan kewajiban, karena seandainya wajib maka pastilah akan diperintahkan kepada mereka dan mereka akan mengalami kesulitan. (Fathul Bari, 2/375)

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

والعلماء كلهم يندبون إليه، وليس بواجب عندهم، ولو كان واجبًا عليهم لأمرهم به، يشق عليهم أو لم يشق

Seluruh ulama menyunahkan bersiwak, menurut mereka bukan kewajiban, seandainya wajib niscaya hal itu akan diperintahkan baik hal itu memberatkan atau ringan. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 1/364)

Apa yang dikatakan Imam Ibnu Baththal nampaknya masih bisa didiskusikan, atau lebih tepatnya adalah pendapat mayoritas, bukan seluruh ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa dikisahkan oleh Imam Al-Ghazali dan diikuti oleh Imam Al-Mawardi, dari Ishaq bin Rahawaih bahwa menurutnya bersiwak adalah wajib setiap shalat, jika tidak bersiwak maka batal shalatnya. Ada riwayat dari Daud Azh Zhahiri bahwa bersiwak ketika hendak shalat adalah wajib tetapi bukan syarat sahnya shalat. (Fathul Bari, 2/376)

Perlu diketahui, Imam Ibnu Rajab (w. 795H) dan Imam Ibnu Hajar (w. 852H) membuat karya yang judulnya sama yaitu Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, yaitu kitab yang memberikan penjelasan atas kitab Shahih Al-Bukhari. Tetapi mereka membuatnya tidak bersamaan.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak itu mensucikan mulut dan membuat Rabb ridha. (HR. Bukhari dalam Kitabush Shaum bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabisi Lish Shaa-im, Ahmad No. 7, 24203, Ibnu Majah No. 289, An-Nasa’i No. 5)

Ada pun bersiwak ketika shaum (puasa) terjadi perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan memakruhkan. Pihak yang membolehkan seperti ‘Aisyah (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9152), Ibnu ‘Abbas (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9153), Abu Hurairah (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9163), Imam Hasan Al-Bashri (Al Mushannaf Abdirrazzaq Ash-Shan’ani No. 7489), Imam Ibnu Sirin (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 917), Imam Sa’id bin Al-Musayyib (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9165), Imam Malik (Al Muwaththa’ No. 60, disusun oleh Fuad Abdul Baqi), Imam Asy-Syafi’i, dan lainnya. Pihak yang memakruhkan adalah Al-Hakam (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9175), Mujahid (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9161, Beliau memakruhkan bersiwak setelah zhuhur), Maimun bin Mihran, Abu Maisarah (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9176), dan lainnya. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah boleh, berdasarkan riwayat Imam Bukhari berikut ini.

Dari Amr bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ» مَا لاَ أُحْصِي أَوْ أَعُدُّ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak dan dia sedang puasa, dan aku tidak bisa menghitung Beliau bersiwak. (HR. Bukhari dalam Kitabush Shaum bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabisi Lish Shaa-im)

Keterangan ini menunjukkan bahwa bersiwak ketika shaum adalah boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melakukan, bahkan saking seringnya Beliau melakukan itu, sampai-sampai Amr bin Rabi’ah tidak bisa menghitung berapa banyaknya Beliau bersiwak di waktu shaum.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

ويستحب للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي, “ ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا “. وكان النبي صلى الله عليه وسلم يتسوك، وهو صائم.

Disunahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi, “Imam Asy-Syafi’i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya.” Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak, padahal dia sedang puasa. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/459)

Imam Al-Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:

بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ

“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang Berpuasa”

Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath:

وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ

“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy-Sya’bi, dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin, bahwa bersiwak dengan kayu yang basah itu seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158)

Imam Abul ‘Ala Al-Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

( إِلَّا أَنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ بِالْعُودِ الرَّطْبِ ) كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ فَإِنَّهُمْ كَرِهُوا لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ لِمَا فِيهِ مِنْ الطَّعْمِ ، وَأَجَابَ عَنْ ذَلِكَ اِبْنُ سِيرِينَ جَوَابًا حَسَنًا ، قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ : قَالَ اِبْنُ سِيرِينَ : لَا بَأْسَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ ، قِيلَ لَهُ طَعْمٌ ، قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ طَعْمٌ وَأَنْتَ تُمَضْمِضُ بِهِ اِنْتَهَى . وَقَالَ اِبْنُ عُمَرَ : لَا بَأْسَ أَنْ يَسْتَاكَ الصَّائِمُ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، قُلْت هَذَا هُوَ الْأَحَقُّ

(Sesungguhnya sebagian ahli ilmu ada yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan dahan kayu yang basah) seperti kalangan Malikiyah dan Imam Asy-Sya’bi, mereka memakruhkan orang berpuasa bersiwak dengan dahan kayu basah karena itu bagian dari makanan. Ibnu Sirin telah menyanggah itu dengan jawaban yang baik. Al-Bukhari berkata dalam Shahihnya, “Berkata Ibnu Sirin: Tidak mengapa bersiwak dengan kayu basah, dikatakan “ bahwa itu adalah makanan”, Dia (Ibnu Sirin) menjawab: Air baginya juga makanan, dan engkau berkumur kumur dengannya (air).” Selesai. Ibnu Umar berkata, “Tidak mengapa bersiwak bagi yang berpuasa baik dengan kayu basah atau kering,” diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Aku (pengarang Tuhfah Al-Ahwadzi) berkata: Inilah yang lebih benar.” (Imam Abul ‘Ala Al-Mubarkafuri, Tuhfah Al-Ahwadzi, 3/345)

Dengan demikian tidak mengapa bahkan sunah kita bersiwak ketika berpuasa, baik, pagi, siang, atau sore secara mutlak sebagaimana yang dikatakan dalam Tuhfah Al-Ahwadzi:

وَبِجَمِيعِ الْأَحَادِيثِ الَّتِي رُوِيَتْ فِي مَعْنَاهُ وَفِي فَضْلِ السِّوَاكِ فَإِنَّهَا بِإِطْلَاقِهَا تَقْتَضِي إِبَاحَةَ السِّوَاكِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَالْأَقْوَى

“Dan dengan semua hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ini dan keutamaan bersiwak, bahwa keutamaannya adalah mutlak, dan kebolehannya itu pada setiap waktu, setiap keadaan, dan itu lebih shahih dan lebih kuat.” (Ibid)

Lalu kemudian, bagaimana jika bersiwak tetapi bukan dengan siwak? Melainkan dengan pasta gigi dan sikatnya seperti zaman sekarang, apakah hal itu masih disebut bersiwak?

Untuk menjawab ini kita lihat Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata:

والاختيار في السواك أن يكون بعود من أراك ويجوز بسائر العيدان وبكل ما ينظف كالخرقة الخشنة والأشنان وغير ذلك

Dalam bersiwak bisa dipilih kayu arak, boleh juga semua belukar, dan semua hal yang bisa membersihkan seperti lap kasar, dan selainnya. (Imam An-Nawawi, At Tibyan, Hal. 72)

Imam As-Suyuthi Rahimahullah menjelaskan:

وَهُوَ كُلّ آلَة يُتَطَهَّر بِهَا شُبِّهَ السِّوَاك بِهَا ؛ لِأَنَّهُ يُنَظِّف الْفَم ، وَالطَّهَارَة النَّظَافَة

Itu adalah semua alat yang dapat mensucikan dan serupa dengan siwak, karena benda itu bisa membersihkan mulut, dan mensucikannya. (Hasyiah As-Suyuthi ‘Alas Sunan An-Nasa’i, 1/11)

Jadi, menurut penjelasan Imam An-Nawawi dan Imam As-Suyuthi, benda apa pun selama dapat membersihkan, mensucikan, dan tidak menciderai, maka dia boleh buat bersiwak. Sehingga, zaman ini dengan pasta gigi juga sudah mewakili. Sesuai kaidah: mukhtalifah fisy syakli walakin muttahidah fil aghrad (berbeda bentuk tetapi tujuannya tetap sama). (usb/dakwatuna)

Bersambung….

Sebelumnya….

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Lagi, Netanyahu Dorong Pemberlakuan UU Larangan Adzan

Figure
Organization