Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Kedelapan)

Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Kedelapan)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi Celak Mata (hmetro.com.my)
Ilustrasi Celak Mata (hmetro.com.my)

dakwatuna.com – Islam adalah agama yang sempurna yang meliputi semua sisi kehidupan manusia. Kesempurnaannya itu sesuai dan sejalan fitrah manusia. Termasuk di antaranya urusan akhlak dan penampilan, Islam pun tidak melupakannya. Diatur secara rapi, seimbang, dan pantas. Inilah perbedaaanya dengan agama lain, sekaligus keistimewaanya. Namun banyak umat Islam yang melupakannya, arus globalisasi, terlebih westernisasi, yang tidak dibarengi kekuatan filter aqidah, membuat umat Islam kehilangan identitas dan semakin jauh dan terasing dari ajaran agamanya dan sunah-sunah nabinya.

17. Memakai celak mata

Celak mata merupakan budaya Nabi saw, yang umumnya tidak dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Sunnah ini merupakan sunnah fi’liyah (perbuatan nabi) dan qauliyah (perkataan nabi). Nabi saw. biasa memakainya tiap malam menjelang tidur, dan beliau menganjurkan menggunakan itsmid.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

كَانَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُكْحُلَةٌ، يَكْتَحِلُ بِهَا عِنْدَ النَّوْمِ ثَلَاثًا فِي كُلِّ عَيْنٍ

Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki celak yang Beliau pakai menjelang tidur sebanyak tiga kali di masing-masing matanya. (HR. Ahmad No. 3317. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 3317)

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْإِثْمِدِ عِنْدَ النَّوْمِ، فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ، وَيُنْبِتُ الشَّعَرَ

Hendaknya kalian bercelak menggunakan itsmid ketika menjelang tidur, karena itu bisa mencerahkan penglihatan dan menumbuhkan rambut. (HR. Ibnu Majah No. 3496, At Tirmdzi No. 1757, Abu Ya’la No. 2057, Ath Thabarani, Al-Awsath No. 6151, Al-Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3202. Syaikh Husein Salim Asda mengatakan: para perawinya terpercaya. Syaikh Al-Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3496)

Imam Al-Munawi Rahimahullah menjelaskan bahwa anjuran dalam hadits ini menandakan bimbingan, pembiasaan, dan sunah bercelak. Sebagian orang memakruhkan bercelak bagi laki-laki di siang hari, ini pendapat yang keliru, dilakukannya di malam hari karena itu lebih bermanfaat. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar. (At Taisir bi Syarhi Al-Jami’ Ash-Shaghir, 2/139)

Ada pun itsmid adalah serbuk untuk celak yang telah dikenal. Terbuat dari batu hitam yang dihaluskan, yang adanya di Hijaz, dan yang mutunya paling bagus didatangkan dari Ashbahan. (Fathul Bari, 10/158)

18. Larangan Mengkikir Gigi

Pada hadits poin 13 di atas juga terdapat larangan mengkikir gigi. Apakah yang dimaksud? Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan:

والمتفلجات جمع متفلجة وهي التي تطلب الفلج أو تصنعه، والفلج بالفاء واللام والجيم انفراج ما بين الثنيتين والتفلج أن يفرج بين المتلاصقين بالمبرد ونحوه وهو مختص عادة بالثنايا والرباعيات

Al-Mutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat atau menciptakan belahan (pembagian). Al-Falju dengan fa, lam, dan jim adalah membuat jarak antara dua hal, At Tafalluj adalah membagi antara dua hal yang berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus biasanya pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring. ” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/372. Darul Fikr)

Jadi, Al-Mutafalijat adalah upaya merenggangkan gigi yang tadinya berdempetan, agar kelihatan lebih bagus.

Sebagaimana yang lain pula, hal ini juga diharamkan. Sebagaimana penjelasan para ulama. Hanya saja diberi keringanan bagi yang berpenyakit, atau jika mengganggu aktiitas mengunyah.

Berkata Imam Ath-Thabari Rahimahullah:

ويستثنى من ذلك ما يحصل به الضرر والأذية كمن يكون لها سن زائدة أو طويلة تعيقها في الأكل

“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr)

Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang kawat gigi dan gigi palsu, tidaklah termasuk mutafallijah.

Tetapi, jika dia memasangnya untuk bergaya-gaya, dan mempercantik diri semata, bukan untuk berobat, maka itu terlarang karena niatnya yang tidak benar dan termasuk pemborosan. Hal ini sesuai kaidah:

الأمور بمقاصدها

Menilai perkara sesuai maksud-maksudnya. (Imam As-Suyuthi, Al-Asybah Wan Nazha-ir, kaidah ke 5)

Gigi palsu dari emas sebaiknya dihindari baik oleh pria dan wanita karena itu tabdzir (pemborosan), dan bukan fungsinya emas untuk perkakas sehari-hari. Emas adalah perhiasan, oleh karenanya di antara ‘illat (sebab) pengharaman wadah emas seperti mangkok, piring, sendok, dan semisalnya, adalah karena emas bukan alat sehari-hari, dan untuk menghindar kesan tabdzir dan sombong.

19. Dianjurkan membersihkan hidung sesudah bangun tidur dan berwudhu

Dianjurkan membersihkan hidung sesudah bangun tidur dan juga ketika wudhu. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا اسْتَيْقَظَ أُرَاهُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثًا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ

Jika kalian bangun tidur, berwudhulah, dan hendaknya melakukan istintsar sebanyak tiga kali, sesungguhnya syetan bermalam di batang hidungnya. (HR. Bukhari No. 3295)

Imam Badruddin Al-‘Aini Rahimahullah menjelaskan arti istintsar:

وَهُوَ نثر مَا فِي الْأنف بِنَفس قَالَه الْجَوْهَرِي، وَقيل: أَن يستنشق المَاء ثمَّ يسْتَخْرج مَا فِيهِ من أَذَى أَو مخاط

Yaitu menghamburkan apa-apa yang ada di dalam hidung dengan hembusan nafas, itulah yang dikatakan Al-Jauhari. Dikatakan: menghirup air lalu mengeluarkan lagi apa-apa yang di dalamnya baik berupa kotoran dan ingus. (Imam Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, 15/172)

Imam Asy-Syaukani (Nailul Authar, 1/177) menjelaskan bahwa istintsar (menghamburkan air dari hidung) lebih umum dibanding istinsyaq (menghirup air ke hidung). Imam Ibnul ‘Arabi dan Imam Ibnu Qutaibah mengatakan istintsar adalah istinsyaq. Sama saja maknanya. Tapi mayoritas ahli fiqih, ahli bahasa, dan ahli hadits, mengatakan bahwa istintsar itu berbeda dengan istinsyaq. Istintsar dilakukan setelah istinsyaq. Imam Asy-Syaukani mengutip dari Imam An-Nawawi katanya:

قَالَ جُمْهُورُ أَهْلِ اللُّغَةِ وَالْفُقَهَاءُ وَالْمُحَدِّثُونَ: الِاسْتِنْثَارُ هُوَ إخْرَاجُ الْمَاءِ مِنْ الْأَنْفِ بَعْدَ الِاسْتِنْشَاقِ

Mayoritas ahli bahasa, ahli fiqih, dan ahli hadits mengatakan bahwa istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah istinsyaq. (Ibid)

Para ulama berbeda pendapat apakah hal ini wajib atau sunah saja. Menurut Imam Ash-Shan’ani secara tekstual hadits ini menunjukkan wajib secara mutlak, karena berasal dari perintah. Baik bangun tidur malam hari atau siang hari. Segolongan ulama dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan wajibnya hal ini, sementara mayoritas ulama mengatakan ini adalah anjuran (sunah) saja. (Lihat Subulus Salam, 1/64)

Ada pun ketika wudhu, sangat dianjurkan menghirupkan air ke hidung, kecuali ketika sedang berpuasa. Dari Laqith bin Shabrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah (sempurnakanlah) berwudhu dan gosok-gosoklah antara jari jemari kalian, dan bersungguhlah dalam menghirup air (istinsyaq), kecuali jika kalian puasa.” (HR. At Tirmdzi No. 788, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 2366, An-Nasa’i No. 87, Ibnu Majah No. 407, Ahmad No. 16380. Al-Hakim, Al-Mustadrak No. 522, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi menyepakati keshahihannya dalam At-Talkhish)

Hadits ini menunjukkan anjuran kuat untuk menghirup air kehidung ketika wudhu, lalu menghamburkannya. Serta menunjukan bolehnya menghirup air ke rongga hidung ketika puasa, namun makruh jika berlebihan, oleh karena itu Imam At Tirmidzi memberi judul Bab Ma Ja’a Fi Karahiyah Mubalaghah Al-Istinsyaq Li Shaim (Bab Tentang Makruhnya menghirup air kehidung bagi orang berpuasa secara berlebihan).

Segolongan ulama mengatakan bahwa istinsyaq, istintsar, dan kumur-kumur ketika wudhu adalah wajib, seperti Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Ibnul Mundzir, Ahli Bait, Al-Qasim, Ibnu Abi Laila, dan Hammad bin Abi Sulaiman. Sementara Imam An-Nawawi menjelaskan dalam Syarh Shahih Muslim-nya bahwa Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Daud Azh Zhahiri, Ibnul Mundzir, dan sebuah riwayat dari Ahmad, bahwa menghirup air ke hidung adalah wajib ketika mandi dan wudhu, sedangkan kumur-kumur adalah sunah pada keduanya. (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, 1/177) (usb/dakwatuna)

Bersambung…

Sebelumnya….

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Ribuan Muslim Bersih-bersih Pantai Kuta

Figure
Organization