Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Keenam)

Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Keenam)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Sanggul (tattoopinners.com)
Sanggul (tattoopinners.com)

dakwatuna.com – Islam adalah agama yang sempurna yang meliputi semua sisi kehidupan manusia. Kesempurnaannya itu sesuai dan sejalan fitrah manusia. Termasuk di antaranya urusan akhlak dan penampilan, Islam pun tidak melupakannya. Diatur secara rapi, seimbang, dan pantas. Inilah perbedaaanya dengan agama lain, sekaligus keistimewaanya. Namun banyak umat Islam yang melupakannya, arus globalisasi, terlebih westernisasi, yang tidak dibarengi kekuatan filter aqidah, membuat umat Islam kehilangan identitas dan semakin jauh dan terasing dari ajaran agamanya dan sunah-sunah nabinya.

  1. Dilarang menyambung rambut (sanggul, wig, konde, dan semisalnya)

Dari Asma bin ti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لِي ابْنَةً عُرَيِّسًا أَصَابَتْهَا حَصْبَةٌ فَتَمَرَّقَ شَعْرُهَا أَفَأَصِلُهُ، فَقَالَ: «لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ»

Datang seorang wanita ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya anak putri yang akan menikah, dia kena penyakit campak sehingga rambutnya rontok, saya hendak menyambung rambutnya.” Nabi bersabda, “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Muslim No. 2122)

Menurut Imam An-Nawawi, menyambung rambut adalah haram. Hadits ini Beliau muat dalam kitab Shahihnya, dengan judul Bab Tahrim fi’lil Waashilah walMustawshilah …. Bab diharamkannya perbuatan penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.

Menyambung rambut seperti memakai wig dan konde adalah haram secara mutlak. Hal ini ditegaskan pula oleh Al-‘Allamah Asy-Syaukani Rahimahullah berikut ini:

والوصل حرام لأن اللعن لا يكون على أمر غير محرم

“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi untuk perkara yang tidak diharamkan.” (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, 6/191. Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyah)

Bahkan Al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al-Islam. Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al-Misykah)

Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An-Nawawi Rahimahullah:

وهذه الأحاديث صريحة في تحريم الوصل ولعن الواصلة والمستوصلة مطلقا وهذا هو الظاهر المختار وقد فصله أصحابنا فقالوا إن وصلت شعرها بشعر آدمي فهو حرام بلاخلاف سواء كان شعر رجل أو امرأة وسواء شعر المحرم والزوج وغيرهما بلاخلاف لعموم الأحاديث ولأنه يحرم الانتفاع بشعر الآدمي وسائرأجزائه لكرامته بل يدفن شعره وظفره وسائر أجزائه وإن وصلته بشعر غير آدمي فإن كان شعرانجسا وهو شعر الميتة وشعر ما لا يؤكل إذا انفصل في حياته فهو حرام أيضا للحديث ولانه حمل نجاسة في صلاته وغيرها عمدا وسواء فى هذين النوعين المزوجةوغيرها من النساء والرجال وأما الشعر الطاهر من غير الآدمي فإن لم يكن لها زوج ولاسيد فهو حرام أيضا وإن كان فثلاثة أوجه أحدها لايجوز لظاهر الأحاديث والثانى لايحرم وأصحها عندهم إن فعلته بإذن الزوج أو السيد جاز وإلا فهو حرام

Hadits-hadits ini begitu lugas dalam mengharamkan menyambung rambut. Secara mutlak telah dilaknat wanita penyambung rambut dan wanita yang disambung rambutnya. Inilah pendapat yang benar dan dipilih. Sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan jika rambutnya disambung dengan rambut manusia maka itu diharamkan tanpa perdebatan lagi. Sama saja baik rambut laki-laki atau wanita, rambut mahram dan suaminya dan selain keduanya tanpa perdebatan lagi sesuai keumuman hadits-hadits yang ada. Karena diharamkan memanfaatkan rambut manusia dan seluruh bagian-bagiannya karena rambut memiliki kehormatan, justru seharusnya dikuburkan; rambut, kuku, dan semua bagian tubuh manusia. Seandainya dia menyambung rambutnya dengan bukan rambut manusia, jika itu rambut yang najis seperti rambut dari bangkai, rambut dari hewan yang tidak bisa dimakan, jika rontok pada saat hidupnya, maka itu haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis ini, baik untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik laki-laki atau wanita. Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya) belum nikah dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah nikah atau punya tuan, maka ada tiga pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka –syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya, maka boleh. Ketiga, jika tidak diizinkan maka haram. (Ibid)

Demikian rincian yang dipaparkan Imam An-Nawawi. Namun, jika kita merujuk hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab, tak ada perincian ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka larangannya berlaku umum.

Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut

Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa, Imam Malik, Imam Ath Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan bagi seorang wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.

Sementara Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari banyak fuqaha, mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung dengan rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah, bahkan sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al-Ahwadzi, 8/66)

Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung rambut dengan selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa’ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496. Darul Kitab Al-‘Arabi)

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: Al-umuru bi maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak menggunakan rambut, tetapi pemakaian wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian dari Al-Washl – menyambung rambut. Kedua, keumuman makna hadits tersebut menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.

Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan, adapun mengikatkan benang sutera berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan dan kaki. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al-Misykat)

Apa yang dikatakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando, atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut –berbeda dengan wig dan konde- dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan mahram lainnya. Sedangkan di depan non mahram, maka hukumnya sama dengan hukum menutup aurat bagi wanita di depan non mahram, yakni tidak boleh terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan, sebagaimana pendapat jumhur. Wallahu A’lam

  1. Mengusap rambut kepala ketika wudhu

Inil adalah fardhu dalam wudhu, tidak ada perselisihan ulama atas hal ini. Jika tidak dilakukan maka wudhu menjadi tidak sah. Hal ini sesuai dengan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ …

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki .. (Al-Maidah: 6)

Mengusap rambut kepala bukan hanya menyentuhnya, tetapi benar-benar mengusapnya, menggerakan tangan mengusap rambut kepala. Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi Hafizhahullah menjelaskan:

”Yang dimaksud mengusap adalah membasahi dengan air. Dan ini tidak mungkin bisa tercapai kecuali dengan cara menggerakkan anggota tubuh yang membasuh (tangan) dengan menempelkan pada yang dibasuh. Oleh sebab itu, jika seseorang hanya meletakkan tangan di kepala atau yang lainnya, maka itu tidak disebut sebagai mengusap.” (Fikih Thaharah, Hal. 184. Pustaka Al-Kautsar)

Dalam mengusap kepala ini, para ulama berbeda pendapat dalam kadarnya. Apakah sebagian saja sudah cukup, ataukah wajib seluruh bagian kepala. Ayat di atas memang tidak merinci, hanya memerintahkan: … wamsahuu bi ru’uusikumdan sapulah kepalamu. Kata “bi” dalam ayat ini ada yang mengartikan keseluruhan kepala, ada juga yang mengartikan sebagian.

Pihak yang mengatakan wajib seluruh bagian kepala, seperti Ahli Bait, Imam Malik, Al-Muzani, Al-Juba’i, Ibnu ‘Ulayah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Nailul Authar, 1/196-197), jika tidak seluruhnya maka tidak sah wudhunya. Seperti ayat: walyathawaffuu bil baitil ‘atiiq – dan hendaknya mereka melakukan thawaf terhadap rumah tua tersebut (ka’bah). Ayat ini menggunakan “bi” dan menunjukkan bahwa thawaf itu adalah pada keseluruhan ka’bah, bukan sebagiannya saja.

Berikut ini adalah penjelasan Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:

فَقَالَ مَالِكٌ الْفَرْضُ مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ فَإِنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُ كَانَ كَمَنْ تَرَكَ غَسْلَ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِهِ هَذَا هُوَ الْمَعْرُوفُ مِنْ مذهب مالك

وهو مذهب بن علية قال بن عُلَيَّةَ قَدْ أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الرَّأْسِ فِي الْوُضُوءِ كَمَا أَمَرَ بِمَسْحِ الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ وَأَمَرَ بِغَسْلِهِ فِي الْوُضُوءِ

وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ غَسْلُ بَعْضِ الْوَجْهِ فِي الْوُضُوءِ وَلَا مَسْحُ بَعْضِهِ فِي التَّيَمُّمِ

وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرَّأْسَ يُمْسَحُ كُلُّهُ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ إِنَّ مَسْحَ بَعْضِهِ سُنَّةٌ وَبَعْضِهِ فَرِيضَةٌ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَسْحَهُ كُلَّهُ فَرِيضَةٌ

وَاحْتَجَّ إِسْمَاعِيلُ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا عَلَى وُجُوبِ الْعُمُومِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى (وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ) الْحَجِّ 29 وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الطَّوَافُ بِبَعْضِهِ فَكَذَلِكَ مَسْحُ الرَّأْسِ. وَالْمَعْنَى في قوله (وامسحوا برؤوسكم) أَيْ امْسَحُوا رُؤُوسَكُمْ وَمَنْ مَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ فَلَمْ يَمْسَحْ رَأْسَه

Berkata Imam Malik, “Mengusap semua bagian kepala adalah fardhu (wajib), barang siapa yang meninggalkan sebagiannya maka dia seperti orang yang tidak membasuh sebagian wajahnya.” Inilah yang dikenal dalam madzhab Malik. Ini juga madzhabnya Ibnu ‘Ulayah. Berkata Ibnu ‘Ulayah, “Allah Ta’ala telah memerintahkan mengusap kepala dalam wudhu, sebagaimana perintah mengusap wajah dalam tayamum, dan memerintahkan membasahinya dalam wudhu. Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh membasuh sebagian wajah dalam wudhu, dan tidak boleh pula membasuh sebagian wajah dalam tayamum. Mereka telah sepakat bahwa mengusap kepala itu seluruhnya, tidak ada seorang pun mengatakan bahwa mengusap sebagian adalah sunah, mengusap sebagian lain adalah wajib. Maka, ini menunjukkan bahwa membasuh semuanya bagiannya adalah wajib.”

Ismail dan lainnya –dari kalangan sahabat kami (Malikiyah)- mengatakan wajibnya mengusap semua bagian kepala, sebagaimana firmanNya: وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ – dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh melakukan thawaf hanya sebagian saja. Demikian dalam mengusap kepala. Dan, makna dari firmanNya, “wamsahuu bi ru’uusikum” adalah usaplah kepala kalian, barang siapa yang mengusap sebagian saja, maka dia tidak mengusap kepalanya. (Imam Ibnu Abdil Bar, Al-Istidzkar, 1/130)

Imam Asy-Syaukani menceritakan (Nailul Authar, 1/197), bahwa Imam Asy-Syafi’i mengatakan sudah sah walau sebagian saja, dan tidak ada batasannya, bebas saja yang penting kepalanya diusap. Ibnu Sayyidin Naas mengatakan: ini juga pendapat Imam Ath Thabari. Imam Abu Hanifah mengatakan wajib seperempat bagiannya. Sementara Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan Al-Laits, mengatakan: sudah sah sebagian saja ditambah dengan bagian depannya. Ini juga pendapat Ahmad, Naashir, Al-Baaqir, dan Ash-Shaadiq. At Tsauri dan Asy-Syafi’i mengatakan sudah sah mengusap kepala walau dengan satu jari. Sementara kalangan Zhahiriyah terjadi perbedaan pendapat: ada yang mewajibkan seluruh bagiannya, ada pula yang mengatakan sudah sah sebagiannya. Selesai dari Imam Asy-Syaukani.

Bagaimana menurut sunah nabi? jika kita lihat dalam sunah –dan fungsi sunah di antaranya adalah untuk merinci dan menjelaskan ayat yang masih umum- maka akan kita dapati bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melakukan semuanya dan sebagiannya, dalam berbagai kondisi yang berbeda, baik sebagian kepala atau seluruhnya dari depan ke belakang, dan ini yang lebih sering. Jadi, baik sebagian kepala saja, atau semuanya sama-sama sah, hanya saja mengusap semua lebih utama karena seringnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan itu. Sebagian saja sudah sah dan benar, secara indikasi bahasa juga menunjukkan hal itu. Jika ada yang mengatakan “Fulan mengusap dinding” tentunya kalimat ini sudah cukup maknanya mengusap sebagian saja, tidak harus mengusap semua bagiannya.

Berikut ini dalil-dalilnya:

Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu menceritakan tantang wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya:

وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ

Beliau mengusap ubun-ubunnya dan sorban yang dipakainya. (HR. Muslim No. 274, An-Nasa’i No. 108, Ath Thabarani, Al-Awsath No. 3448, Al-Baihaqi, As-Sunan Ash-Shaghir No. 119)

Ini menunjukkan bahwa yang diusap oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bagian ubun-ubunnya (jambul), bukan semuanya. Imam An-Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا مما احتج به أصحابنا على أن مسح بعض الرأس يكفي ولا يشترط الجميع لأنه لو وجب الجميع لما اكتفى بالعمامة عن الباقي

Inilah di antara hujjah para sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa mengusap sebagian kepala sudah mencukupi, tidak disyaratkan mesti semua bagiannya. Sebab, jika wajib semuanya, maka mengusap sorban tidaklah mencukupi mewakili sisanya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/172)

Ada pun dalam madzhab Hanafi mewajibkan seperempat bagian kepala dengan cara mengira-ngira apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini.

Sedangkan dalam riwayat Abdullah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, ketika mencontohkan wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebutkan:

فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ بِهِمَا

Beliau mengusap kepalanya, lalu kedua tangannya mengusap bagian depan lalu bagian belakangnya. (HR. Bukhari No. 192, Muslim No. 235)

Dalam lafazh yang lain berbunyi:

بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ, حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ, ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى اَلْمَكَانِ اَلَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Beliau memulai usapan dengan kepala bagian depan sampai kedua tangannya ke bagian punggungnya, lalu mengembalikan lagi kedua tangannya ke tempat awal memulai. (HR. Bukhari No. 185, Muslim No. 235)

Riwayat ini menunjukkan bahwa yang diusap bukan bagian ubun-ubun saja, tetapi dari depan sampai ke belakangnya, atau dia bisa mengembalikan lagi ke depan. Inilah yang sering Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan dalam sebagian kondisi. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi Hafizhahullah menjelaskan:

“Cara inilah yang sering dilakukan Beliau. Ini menunjukkan bahwa inilah sunnah Rasulullah, yakni mengusap bagian muka dan belakang dan bagian lain pada sebagian kondisi.” (Fikih Thaharah, Hal. 185)

Imam An-Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا مستحب باتفاق العلماء فإنه طريق إلى استيعاب الرأس ووصول الماء إلى جميع شعره قال أصحابنا وهذا الرد إنما يستحب لمن كان له شعر غير مضفور أما من لا شعر على رأسه وكان شعره مضفورا فلا يستحب له الرد إذ لا فائدة فيه

Ini (membalikkan ke depan) adalah sunah menurut kesepakatan ulama, karena hal itu merupakan cara untuk menguasai semua bagian kepala dan sampainya air ke seluruh rambut. Para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan, “mengembalikan ke belakang” hanya disunahkan bagi yang rambutnya tidak dikepang. Sedangkan orang yang tidak memiliki rambut di kepalanya, dan yang dikepang, tidaklah disunahkan mengembalikan tangan ke depan, karena itu tidak ada manfaatnya. (Al-Minhaj, 3/123) (usb/dakwatuna)

Bersambung….

Sebelumnya….

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Lagi, Netanyahu Dorong Pemberlakuan UU Larangan Adzan

Figure
Organization