Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Di Akhir Pencarian Cinta Aqila

Di Akhir Pencarian Cinta Aqila

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (legend.az)
Ilustrasi. (legend.az)

dakwatuna.com – Hati adalah tentara di antara tentara-tentara Allah lainnya. Ia akan bersatu dan akrab bila saling mengenal, akan berjauhan kalau tidak saling mengenal. (HR. Muslim)

Ini tentang hati-hati yang Allah persatukan dalam iman.

Bukankah sebelum raga saling sapa, hati kita telah terlebih dahulu menyatu seolah saudara yang sudah lama tidak bersua atau saudara yang terpisah oleh jarak, padahal inilah kali pertama kita bertemu.

07 Oktober 2013

“Bukan sekali dua kali Ra, tetapi berkali-kali hal seperti ini kurasakan”, curhatku pada Sahara, sahabat yang sudah kukenal tiga tahun terakhir ini.

“Iya Qila, aku mengerti…. Setiap kali berkunjung ke tempat baru dan berjumpa dengan saudara-saudara seperjuangan, seolah kita sudah lama berkenalan bukan? Aku juga merasakan hal yang sama, tapi bukan berarti….”, belum sempat Ara menyelesaikan kalimatnya aku langsung memotong kalimat yang sebenarnya kutahu ke mana arah kalimat itu berakhir.

“Iya Ra, aku paham maksudmu. Namun kali ini benar-benar berbeda, kota kecil ini memiliki warna yang cukup asing, terkadang ia membuatku meragukan ukhuwah ini. Aku juga sadar Ra, bahwa rasa ini ada karena mungkin imankulah yang semakin rombeng. Bukankah seharusnya setiap warna dalam ukhuwah merupakan anugerah? Dan setiap daerah juga memiliki caranya masing-masing dalam mengespresikan cinta pada saudaranya”, kali ini dengan nada yang semakin meninggi, aku mencoba menutupi isak yang mulai muncul. Namun gagal. Tangisku pecah, aku menangis sepuasnya.

“Aku benar-benar ingin hijrah dari kota kecil ini Ra, karena kutahu imanku tak sekuat ujian yang kurasa, mungkin ini yang sering orang-orang bilang culture shock ya?”

Di ujung telpon, Sahara hanya terdiam, hanya hembusan nafasnya yang sesekali terdengar, tidak ada respon atau komentar lagi, karena ia tahu yang kubutuhkan hanya didengar.

17 November 2013

Aku menangis sejadi-jadinya, bosan dengan ketidak-nyamanan ini, marah dengan ketidak-berdayaanku. Aku takut dengan kelesuan imanku sendiri. Kelesuan iman yang tidak kunjung membaik.

“Apakah aku kuat hanya ketika ada masalah? Apakah aku bisa dekat dengan-Mu Rabb hanya jika ada cobaan atau ujian? Astagfirullah….Astagfirullah, tapi jika memang seperti itu maka ujilah aku, berikan aku masalah, berikan aku cobaan yang bisa membuatku dekat dengan-Mu, yang bisa membuatku mencintai-Mu kembali seperti dahulu”, doaku selesai shalat sambil terisak dalam tangis yang semakin menjadi. Kucoba menenangkan diri dengan istighfar. Aku terdiam sejenak, baru menyadari kata-kataku barusan, aku meminta ujian.

Masya Allah, apa yang sudah aku katakan. Aku takut dengan perkataanku sendiri. Sepintas bayangan kaum-kaum terdahulu yang Allah musnahkan menari-nari di pelupuk mata, kengerian-kengerian itu bergelayutan di hadapanku. Apakah aku akan siap dengan ujian yang kuminta? Pertanggung jawaban seperti apa yang harus aku lakukan, yang harus kusiapkan? Aku meringis ketakutan, pasrah dan hanya memohon kekuatan dan kesabaran jika ujian atau cobaan itu benar-benar datang dan menjadi nyata, dan berharap akan berdampingan dengan cinta-Nya.

Penguhujung Desember 2013

Tak ada yang istimewa, pekan ini berjalan seperti biasa. Rutinitis yang cukup menjenuhkan. Dan dalam bosan yang semakin bertambah, tetap kupaksakan kaki melangkah. Tak ingin hati lebih lama terkungkung dalam jeratan jenuh yang akan berujung jauh dari Ilahi. Sahara, nama itu kembali terlintas “bergerak atau tergantikan” semboyan yang sering kami teriakkan dikala malas mulai menyapa. Aku merindunya, merindui Sahara.

Cepat-cepat kupacu si Jihad-nama yang kuberi untuk motor Beat merahku, sebelum malas mulai menari-nari kembali di otakku. Hari ini ada Daurah yang harus kuhadiri berharap mendapatkan ilmu baru yang akan melucutkan kembali semangat untuk bertaqarrub ilallah, berharap selangkah yang kupunya akan berbalas ribuan langkah dari Sang Pencipta.

“Assalamualaikum….”
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk…”

Satu persatu peserta berdatangan silih berganti. Ternyata 4L. Lo lagi lo lagi. Aku hanya tersenyum simpul. Ukhuwah kecil ini pasti bisa kutaklukkan. Aku pasti bisa, InsyaAllah. Aku optimis.

“Mbak, sehabis acara jangan pulang dulu ya. Ada sesuatu yang mau Salsa ceritakan”, pinta seorang adik mentoring yang juga berhadir di acara yang sama. Aku mengangguk memberi isyarat. Akhirnya aku baru bisa pulang sejam kemudian walau sebenarnya acara sudah selesai semenjak adzan ashar berkumandang.

Aku melihat jam yang melingkar di tangan kiri, “mmm….aku masih memiliki banyak waktu sebelum magrib tiba, sepertinya ini saat yang tepat mencari rute baru yang kata beberapa temanku lebih efisien, lebih dekat dan lebih cepat sampai rumah”, bathin dan pikiranku mulai saling senggol menyusun rencana.

“Yup, kota ini kan kecil. Paling juga kalau tersesat mentok-mentok nyampai pantai tinggal putar arah saja, terus tanya saja orang setempat, as usual. Make it simple”, aku senyum-senyum sendiri mengingat masa kuliah dulu yang sering tersesat di jalan.

Tanpa ragu akupun melaju dengan ditemani si Jihad sambil menikmati tiupan angin sore dan sesekali memperhatikan kiri kanan untuk mencari petunjuk jalan. Hampir setengah jam berlalu, meski arah yang kutempuh menurutku sudah benar tapi ternyata aku sudah tersesat jauh hingga ke Pelabuhan Senarai, merasa jalan yang kulalui sudah buntu karena tidak ada jalan lain kecuali pintu masuk menuju pelabuhan, akhirnya kuputuskan berbalik arah. “Nah kan, kejadian lagi, nyasar lagi”, aku tersenyum sambil mengegeleng-gelengkan kepala.

Eittss, kebetulan ada orang di seberang jalan dan sepertinya ia juga hendak melajukan motornya, kudatangi secepat mungkin sebelum ia berlalu, “maaf pak, kalau mau ke Tanah Merah lewat arah mana ya?” tanyaku tanpa basa basi.

Ia tampak berpikir sejenak lalu menjelaskan rute yang harus kulalui.

“Iya pak, terimakasih”, ucapku atas penjelasannya.

“Kebetulan saya juga mau ke Tanah Merah, tujuan yang sama kan? Bareng saya aja?”, tawarnya dengan ramah. Akhirnya akupun membuntutinya dengan sepeda motorku.

Lama dalam perjalanan, akupun semakin gelisah, jam hampir menunjukkan pukul 18.00 dan Maghrib pun akan tiba. Namun aku belum melihat tanda-tanda kalau kami sudah dekat dengan tujuan.

“Pak, koq sepertinya jauh banget ya? Belum nyampe juga udah jam segini?”, kucoba bertanya karena khawatir tidak bisa mengejar waktu Maghrib hingga ke rumah.

“Oohh iya, sebentar lagi kok mbak”, jawabnya singkat.

Aku pun akhirnya tetap mengikutinya karena kalau berbalik arah sepertinya akan semakin jauh, tapi berselang beberapa menit aku belum juga menemukan pekuburan yang menjadi patokanku menuju Tanah Merah.

“Pak, udah sejauh ini belum nyampe juga?” aku mulai membawel dengan beberapa rentetan pertanyaan dan pernyataan.

“Kalau mau cepat, jalan motong aja mbak”, sarannya sambil mengarahkan motornya menuju jalan setapak. Aku terdiam sejenak, aku menghentikan motorku sesaat. Hati kecilku benar-benar menolak tawaran itu dan seolah-olah pada saat yang bersamaan ada bisikan yang meminta agar aku berbalik arah dan tidak menurutinya.

Merasa tidak ada yang mengikutinya, ia menoleh kebelakang, “ayo mbak lewat sini kalau mau cepat, tidak apa pelan-pelan aja jalannya”.

“Haaaa?? Dari sini Pak? Gak ada jalan besar aja? Karena saya lagi nyari rute baru ini Pak, kalau dari sini sama aja saya juga ntar lupa, gak beranilah pak….” Ucapku panjang lebar menutupi rasa takut yang mulai menyusup.

“Tidak apa, itu juga bentar lagi ada rumah orang” jawabnya dengan tergesa-gesa.

Bodohnya aku dengan ragu di atas keraguan tetap juga si Jihad kulajukan mengikuti motor di depanku. Kata Rasulullah “Utruk ma yaribuka ila ma la yaribuka, tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu”, nasihat ini pun kuabaikan.

Dan benar saja, pada saat aku memutuskan untuk mengarahkan motorku menuju jalan setapak itu dalam keraguan, seolah-olah ada angin yang bertiup kencang tepat ke arahku yang membuatku langsung merinding hingga bulu kudukku pun berdiri, seketika itu tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, seperti ada sesuatu yang memberi isyarat yang mengingatkan tapi bodohnya aku lagi dan lagi karena merasa tidak enak hati karena aku sudah diantar sejauh ini, akhirnya akupun tetap menjalankan si Jihad mengikuti si pengendara motor.

“Kenapa pak? Mati ya?”, tanyaku melihat motor yang dikendarai si pengendara motor tiba-tiba berhenti. Namun kali ini aku benar-benar yakin ada sesuatu yang tidak beres, aku tetap berusaha tenang sambil berpura-pura menawarkan bantuan.

“Saya panggil orang saja ya pak?”, ucapku sambil memutar balik motor yang kukendarai, namun tanpa jawab ternyata ia sudah mendekat dengan sebuah gunting di genggamannya.

“Jangan macam-macam mbak, mau hidup atau mati!”, ucapnya tegas sambil menodongkan gunting ke arahku. Aku gugup, terkejut, shock, panik mendapati ancaman yang kukira hanya ada di telivisi yang sering kutonton, ngompol di atas motor, lagi-lagi seperti adegan di dalam televisi yang ketika seseorang merasa terancam dengan spontan ia akan mengompol dengan kaki gemetarnya.

“Turun!!! matikan motornya!”, kali ini dengan nada yang cukup kasar.

“Astagfirullah pak…pak…., astagfirullah…astagfirullah…” Ucapku berulang kali dengan nada yang tenang walau sebenarnya jantungku mulai memompa darah secara acakadut dan otakku pun sudah mulai kasak-kusuk mencari cara bisa bertahan dan kabur dari tempat mengerikan ini. Kucoba menarik nafas untuk menenangkan diri agar bisa berpikir dengan baik.

“Tenanglah pak, ngomong baik-baik lah pak”, ucapku langsung setelah ia menarikku secara paksa dari atas motor.

“Bapak mau motor saya, ambil. Kalau mau handphone saya, ambil”, kali ini aku berbicara dengan nada gemetaran. Namun tanpa menghiraukan tawaranku, ia pun langsung menarik jaket yang kukenakan hingga hampir saja aku tersungkur ke tanah. Merasa tawaranku tidak digubris, aku pun merasakan ada motif lain. Pada detik ini, aku masih berusaha tetap tenang dan untuk tidak panik.

“Istighfar Aqila…Istighfar, tenang ada Allah yang Maha Kuat”, aku terus menguatkan diri sambil terus beristigfar.

“Buka helm!!!”, sentaknya sambil menarik-narik jaket dengan gunting yang selalu standby diarahkan padaku. Kali ini aku benar-benar panik, tangisku pecah, aku merasa kacau, aku bingung.

Dan kutau hanya Kuasa-Nya yang bisa menyelamatkanku, pasrah dan hanya doa yang bisa kulakukan “Allahumma inni tawakkaltu alallah, la haula wala kuata illa billah, ya Allah sesungguhnya aku berserah atasMu, tidak ada upaya dan kekuatan selain kekuatanMu”, kuulang dan terus kuulang untuk meyakinkan diri betapa lemahnya orang di hadapanku ini.

Dan yang Maha Pemilik Kukuatan, aku yakin pertolongan-Nya teramat dekat. Aku menyibukkan hati dan pikiran untuk terus berdzikir. Aku mulai terus berdoa, doa apa saja yang terlintas dipiranku dan doa apa saja yang ingin kuucapkan.

Melihatku tidak menuruti perintahnya, akhirnya ia menarik paksa helm yang kukenakan hingga talinya terputus. Sambil menarik leher jaketku, ia kembali mengulangi ancamannya “mau hidup atau mati, kalau macam-macam kutusuk nanti perutmu!”

Double panic, ditusuk??? Mendengarnya benar-benar membuatku ketakutan, lemas dan semakin tak berdaya.

”Aku akan mati dengan cara yang seperti ini? Di tempat ini? Ya Allah…tegakah Engkau?”, aku membathin sambil tetap berusaha melepaskan jaketku dari genggamannya. Satu persatu bayangan keluargaku bermunculan, ibu, ayah, saudara, sahabat, apa yang akan terjadi jika aku benar-benar meninggal dengan cara seperti ini? media? sudah pasti berspekulasi dengan caranya sendiri. Otakku mulai dipenuhi dengan berbagai macam kemungkinan.

Tiba-tiba ia kembali menarikku dengan keras hingga aku terhempas ke tanah, aku mencoba bangkit namun tangannya lebih dulu menarik kembali leher jaket yang kukenakan, sepertinya ia mulai kesal dan menatapku tajam.

“Ya Allah apapun agamanya, ia tetaplah makhluk-Mu, ubahlah hatinya karena Engkaulah penggenggam setiap hati makhluk yang bernyawa”, ucapku dengan balas menatapnya. Lekat.

Tak ada yang berubah, ia kembali menarikku hingga tersungkur ke tanah. Sebelum aku sempat bangkit, ia dengan kasarnya langsung menyeretku hingga beberapa meter ke arah semak belukar. Pada detik ketika ia menyeretku aku benar-benar ingin berakhir di sini, aku hanya merasakan goresan ranting-ranting dan hanya bisa menahan seretannya dengan berpegangan mungkin pada beberapa pohon-pohon kecil, yang kurasa sampai patah karena seretannya terlalu kuat.

Kucoba kembali berpegangan mungkin juga dengan sebatang pohon kecil, kali ini dengan lebih kuat hingga akhirnya jaket dan hijab yang kukenakan terlepas akibat tarikannya.

Aku coba bangkit untuk berlari walau sedikit ragu karena tanpa hijab, tapi lagi-lagi belum sempat aku bangkit, sekarang ia menarik leher bajuku.

Hijabku terlepas dan ia yang bukan siapa-siapa berada di hadapanku. Seketika itu juga aliran darahku menyulut ke otak, kali ini aku benar-benar marah, emosiku memuncak, tenagaku bertambah, aku membathin “apapun itu mati ya matilah”. Tekadku bulat, tak ada lagi tawar menawar, aku harus melawan. Toh pada akhirnya setiap yang bernyawa juga akan mengalami kematian, walau sebenarnya aku benar-benar tidak siap untuk mati dengan amal yang sangat menyedihkan yang kupunya, bekal apa yang akan kubawa. Tapi kali ini aku benar-banar tidak memiliki pilihan lain.

“Allah…, hati seperti apa yang ada dibalik jasad yang di hadapanku ini? Apakah ia memiliki ibu? Seperti apakah hari-harinya hingga ia tega berbuat jahat? Seperti apakah masa kecilnya hingga ia tumbuh dewasa dengan seperti ini? Tidakkah ia mengenal-Mu?”, kali aku benar-benar menatapnya tajam karena kutau, aku dan dia pada dasarnya sama-sama makhluk Allah yang lemah.

Akupun melakukan perlawanan, melawan dengan sekuat tenaga dengan apa yang aku bisa. Tapi ternyata tenagaku memang tidak sebanding, jauh jika dibandingkan dengan tenaganya. Karena ia geram atas perlawananku akhirnya beberapa pukulan kuterima, mendarat tepat di pipiku, kembali kuterhempas ke tanah. Aku kembali berusaha bangkit namun leher bajuku langsung digenggamnya kuat dan ancaman itu kembali keluar dari mulutnya, “mau hidup atau mati??? kutusuk ini perutmu, lihat…lihat..!!!” kali ini dengan nada penuh amarah sambil lebih mendekatkan gunting ke perutku atau tepatnya benar-benar menusukkan gunting ke perutku.

Aku sudah tidak peduli ancamannya, aku hanya berusaha kembali melawan semampuku, hingga akhirnya aku kembali kalah dan terhempas ke tanah untuk kesekian kalinya. Kali ini tenagaku benar-benar habis, tubuhku terasa tak berdaya, tak bertenaga. Aku mulai putus asa. “Ya Allah, mana pertolangan-Mu? Dimana janji-Mu?” ucapku lirih.

Aku benar-benar kehabisan cara untuk bisa melarikan diri, aku merasakan intaian malaikat maut yang semakin dekat. Tidak bisa memikirkan cara lain lagi, akhirnya aku pura-pura pingsan sambil tetap berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang kupunya. Jika memang takdirnya harus mati seperti ini, setidaknya aku sudah berusaha semampuku. Allah, aku siap dengan takdir-Mu. Aku pasrah.

Mengira aku benar-benar pingsan, sepertinya ia lengah. Ia berdiri tepat di sampingku sambil menarik nafas mungkin karena lelah menghadapi perlawananku yang tidak seberapa. Ia benar-benar lengah, dengan perlahan ia mencoba menarik rok yang kukenakan namun secepat dan segagah burung elang, aku menghempaskan tangannya, bangkit dan mencoba merampas gunting yang ia genggam kuat sedari tadi. Tarik-tarikan gunting pun terjadi, walau lagi…, ia yang menjadi pemenang. Dan seperti biasa aku kembali terhempas kuat ke tanah akibat dorongannya.

Ia meradang, akhirnya gunting yang sedari tadi digenggamnya pun bekerja dengan maksimal, ia menusukkan gunting ke beberapa bagian di wajahku, tangan, leher dan juga dada. Aku yang memang sudah kehabisan tenaga tidak bisa banyak melawan karena ia juga duduk tepat di atas perutku.

Aku pasrah, benar-benar pasrah akan detik-detik perjumpaan dengan Malaikat Izrail, karena memang tidak ada yang bisa kuperbuat lagi kecuali Syahadatain, hanya itu yang bisa kuucap, berharap hembusan terakhir bernafaskan Asma-Nya. Kulafazkan kembali, berulang-ulang, kunikmati, kuhayati arti kata demi kata dalam syahadat yang kuucap hingga tanpa kusadari ia berhenti menusuk-nusukkan gunting kearahku, yang kutau tiba-tiba saja ia sudah berbalik meninggalkanku tergesa-gesa dengan motornya.

Aku langsung bangkit dan berdiri seolah ingin kembali melakukan perlawanan, karena janjiku pada raga ini, selama ruh masih bermukim, selama tenaga masih tersisa, aku takkan berhenti melawan, terus bergerak hingga ia tidak memiliki kesempatan sedikitpun untuk melakukan kejahatannya, namun aku baru sadar ternyata penglihatanku kabur, berkunang-kunang, gelap. Aku kembali duduk, terdiam, menenangkan diri, berpikir. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Beberapa menit kemudian penglihatanku kembali jelas, aku baru benar-benar sadar ternyata tangan, pakaian, hingga kaus kaki yang kukenakan sudah berlumuran darah, semua berubah warna. Dan darah ini, entah dari bagian wajah yang mana ia terus mengalir. Namun aku tidak merasakan sakit sama sekali hanya saja jari-jariku mulai kaku dan bahkan ada yang sama sekali tidak bisa kugerakkan.

“Aku harus cari bantuan” batinku berucap.

Spontan aku teringat perkataan Murobbiyahku dulu “kita, dengan hijab yang kita pakai ini adalah da’iyah, aktifitas dakwah yang membawa nama Islam, yang keberadaannya dan segala tingkah lakunya akan menjadi sorotan, akan menjadi perhatian, akan menjadi pembicaraan, akan dicontoh maka berhati-hatilah dalam bersikap, dalam melangkah, dalam mengambil keputusan”. Yaaaaa, dan sekarang aku adalah murobbiyah, da’iyah yang sedikit banyak, sikap dan tingkah lakuku akan dicontoh.

Cepat kucari hijab yang sempat terlepas, beruntung ia tercecer tidak jauh dariku. Kuraih tas yang ternyata juga tercecer tepat di samping hijabku, kucari ponsel untuk menghubungi mbak Nesya, setidaknya ia meliliki banyak kenalan yang bisa membantuku atau setidaknya ia pasti mengenali banyak lokasi di kota kecil ini karena ia tumbuh besar di sini walau kutau ia, seperti kebanyakan wanita dengan fitrahnya pasti panik, kalut atau histeris.

“Mbak Nesya….tolong Aqila, Aqila mau dibunuh”, ucapku pelan dengan kata yang samar-samar, gunting itu melukai tenggorokanku sehingga membuatku tidak bisa mengeluarkan suara dengan jelas.

“Qila…Qila di mana?”, aku mendengar yang di ujung telp mulai panik seperti perkiraanku.

“Hutan, Marina…”, aku mencoba menyebut nama tempat yang sempat kubaca platnya di sepanjang jalan yang sudah kulalui. Mbak Nesya semakin panik, aku masih mendengarkan teriakannya di ujung telp namun untuk berkata-kata, aku pun sudah tidak sanggup, kerongkonganku benar-benar tidak bisa mengeluarkan suara. Tuttt. Kumatikan telp.

Handphone yang kupegang seketika itu langsung bermandikan darah, tapi beruntung masih bisa berfungsi. Akhirnya kucoba kembali menghubungi salah seorang teman yang kuanggap akan lebih bisa bersikap tenang, ya…Adri, mungkin ia bisa membantu namun ternyata tenggorokanku sudah semakin sakit jika dipaksakan berbicara akhirnya aku hanya bisa mengatakan agar ia segera menghubungi mbak Nesya.

 

***

“Adri…Adri…”, isakan tangis mbak Neysa membuatnya kesulitan untuk bicara.

“Iya mbak Nesya. Aqila, apa yang terjadi dengannya?”, Adri langsung tanggap arah pembicaraan mbak Nesya.

“Aqila diculik, ia mau dibunuh..!!!”, seketika tangisnya kembali pecah.

***

Merasa keadaan mulai aman dengan berlalunya si pengendara motor, aku pun sempat terduduk mencoba kembali menenangkan diri di tengah darah segar yang terus menerus beradu untuk keluar. Selang beberapa menit, akhirnya kuputuskan untuk mencari bantuan sendiri sesegera mungkin, khawatir ‘si penunjuk jalan’ akan kembali. Mbak Nesya dan Adri, ahhh… rasanya sulit bagi mereka untuk menemukanku dengan petunjuk singkat yang kuberikan.

Akhirnya dengan sisa tenaga yang kupunya, aku berjalan menusuri jalan setapak hingga akhirnya tiba di pinggiran jalan yang cukup ramai. Aku bingung harus meminta tolong bagaimana, kalau ditanya apa yang harus kujawab? Akhirnya kuputuskan menanti, beruntung berselang beberapa menit saja beberapa siswa SMP lewat tepat di hadapanku. Melihat pakaianku yang ganjil awalnya mereka takut namun salah seorang di antara mereka memberanikan diri untuk mendekatiku, dan akhirnya mereka mengerti kalau aku benar-benar membutuhkan bantuan dan aku bukanlah seseorang yang mencoba untuk menipu ataupun melukai mereka.

Yah, aku tidak tau pasti berapa menit berlalu hingga tiba-tiba aku sudah dikerumuni beramai ramai oleh pengguna jalan, tidak dipungkiri kemacetan sempat terjadi hingga seorang Ibu langsung berinisiatif membawaku ke rumah sakit terdekat. Tidak menunggu waktu lama, beberapa sahabat terdekat sudah berada di UGD, Ami, mb Nesya, Nauri, kak Aisy, Adri, Dwi dan masih banyak lagi, aku bahkan tak bisa menghapal orang-orang yang bergantian menemaniku, memberi semangat, dan terus mendoakanku. Rasanya aku ingin sekali pingsan, melihat darah yang tak juga berhenti dengan berbagai macam alat kedokteran yang ada di depan mataku.

Tapi tidak, sama sekali aku tidak bisa pingsan, bahkan tidak merasakan sakit yang berlebihan, hanya saja tubuhku terasa tak bertenaga. Akhirnya kukuatkan hati untuk menyaksikan sendiri proses penyatuan luka-luka menganga, aku melihat sendiri tangan-tangna terlatih paramedis menggunakan jarum dan benang, kulitku bagi mereka mungkin sudah seperti kain perca.

Tidak adanya rasa sakit yang kurasa membuatku semakin khawatir kalau sebenarnya aku sudah dekat dengan kematian yang waktunya begitu misterius karena hanya Allah yang tahu. Aku terus berdzikir, tak kubiarkan setiap nafas yang diberikan terbuang sia-sia tanpa asma-Nya. Alhamdulilah, selang beberapa jam akhirnya semua luka menganga itu sudah tertutup rapi oleh tangan-tangan lihai perawat yang sedang bertugas.

“Ami, aku belum shalat magrib dan Isya, sudah adzan Isya kan?” tanyaku pelan dengan terbata-bata.

“Mb Aqila, ini sudah pukul 3 dini hari”, ucap Ami sambil tersenyum bahagia melihat keadaanku yg terlihat semakin membaik. Awalnya aku mengira masih sekitar pukul 20.00.

“Hhaaa…..? Selama itu kah aku berada di UGD ini??”, lagi-lagi aku hanya mendapatkan senyuman dari sabahat-sahabat yang kini sudah mengelilingiku. Dan ternyata di luar ruangan ini, sahabatku yang lain, teman-teman kantor, dan bahkan managerku masih setia menunggui hingga dini hari, tak ada alasan bagiku untuk bersedih atas musibah ini, bukankah Allah telah memberi cinta yang lebih besar dibandingkan lara yang kecil ini? Yah, itulah yang kurasa. Tetesan cinta-Nya yang mengalir deras memenuhi hatiku melalui cinta orang-orang di sekitarku.

Ahad, 29 Desember 2013

Bada Subuh akhirnya aku bisa tertidur walau hanya sebentar. Dan setelah itu tak ada menit yang terbuang kecuali ada sahabat yang datang silih berganti. Walau mata mulai mengantuk dan lelah badan ingin beristirahat tapi tak ingin mengecewakan mereka yang mungkin di tengah kesibukannya menyempatkan diri untuk menjengukku.

Doa-doa mereka memenuhi semangatku untuk segera pulih, dari sauadara yang ku kenal lama sampai saudara yang bahkan tidak kukenali, semua memberi semangat dan doa, maka atas dasar apa lagi aku harus bersedih?

Aku terus terjaga sepanjang hari, memperhatikan mereka berseliweran mondar-mandir bergantian keluar masuk kamar perawatan, mungkin banyak hal yang harus mereka urus, karena yang kualami bukan sekadar kecelakaan biasa, tapi kejahatan yang bahkan tak pernah terbayangkan dibenakku, kejahatan yang kukira hanya ada di layar kaca. Mungkin aku terlalu sombong dengan keyakinanku sendiri, keyakinanku akan pejagaan Allah sehingga membuatku teledor dan tidak waspada.

Senin, 30 Desember 2013     

Pagi-pagi sekali Adri sudah datang membawakan beberapa koran untukku, mb Nesya dan Nauri yang memang berjaga semalaman langsung membaca beberapa judul berita dan benar saja, kejadian sabtu sore itu menjadi berita utama di beberapa media. Tapi bukan itu yang membuatku sedih, isinya, ceritanya, pemberitaannya, tidak ada satupun yang berisikan kebenaran. Gambaran wanita rendahan itu yang kudapat dari pemberitaan media. Aku ingin menangis, tapi orang-orang ini, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, semua orang yang menyayangiku, melihat mereka rela berletih-letih menemaniku seharian, bersabar mengurusiku yang tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya berbaring di atas tempat tidur, membuatku kembali kuat dan berusaha untuk tetap bersabar. Kehadiran mereka benar-benar menghiburku.

Sementara Nesya menjadi juru bicara, menjelaskan kejadian sebenarnya hampir ke setiap pengunjung yang datang, Nauri terus menghiburku dengan membacakan pesan-pesan dari orang-orang yang namanya bahkan belum pernah kudengar.

“Mereka selalu mendoakan kakak…”, ucap Nauri sekali waktu. Aku mencoba menahan titik-titit air mata yang ingin turun berjejal-jejal. Ukhuwah ini teramat indah bagiku, aku bahkan merasa tidak pantas menerimanya. Ukhuwah yang belakangan kuragukan kedudukannya di hatiku.

Sedangkan Adri dan Dwi, mereka sibuk menghubungi media untuk melakukan klarifikasi perkara sebenarnya. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka kerjakan, tapi yang kulihat mereka sangat sibuk dengan telepon genggamnya, keluar masuk ruangan dan hingga akhirnya mereka berhasil mengumpulkan beberapa wartawan dari berbagai media untuk melakukan ‘konfrensi pers’. Namun di saat yang bersamaan tiba-tiba beberapa perawat menyuruhku untuk berganti pakaian dan aku harus memasuki ruangan operasi saat itu juga.

Selasa, 31 Desember 2013

Kondisiku berangsur pulih dengan cepat, aku bahkan sudah bisa berjalan perlahan. Suasana hari ini tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ruangan kecil ini masih disesaki sahabat-sahabatku yang bergantian menjaga. Dan pandanganku tertuju pada pojok meja yang berdampingan dengan kulkas tepat di samping jendela kaca ruangan ini, tumpukan berbagai jenis kue, roti, dan bahkan buah-buahan yang sudah tidak muat di dalam kulkas bertumpuk tidak beraturan di atas meja. Seperti mini market. Mataku kembali sembab, bukan karena sedih tapi bahagia, melihat jumlahnya yang sangat banyak pastilah dibawa oleh orang yang banyak, dan mereka datang pastilah karena mereka peduli.

Beruntung hari ini Adri membawa beberapa temannya, setidaknya tumpukan kue-kue itu berkurang drastis. Bahkan Ami dan mb Nesya membagi-bagikan kue dan roti ke beberapa perawat yang sedang berjaga. Mengurangi kepadatan kamar yang memang tidak pernah sepi.

“Gimana Aqila kondisi hari ini?, tangannya jangan digerakin dulu ya. Kalau kondisinya tetap membaik, besok kamu sudah bisa pulang”, jelas dokter sambil memeriksa dan membersihkan luka-lukaku. Aku hanya tersenyum, beberapa hari di sini ternyata membosankan, belum lagi harus mendapatkan teguran perawat jaga karena membludaknya pengunjung di kamarku.

Kembali malam ini aku tidak bisa tertidur mendengar suara letusan kembang api berkali-kali. Besok tahun yang baru akan dimulai, kutatapi satu persatu wajah-wajah kelelahan yang tidur bersempit-sempitan hanya untuk menemaniku. Lagi-lagi hanya doa yang bisa kuberi sebagai balasan kebaikan dan cinta yang kuterima.

Aku mencoba mengintropeksi diri. Kejadian ini benar-benar di luar nalarku, aku merasa benar-benar menjadi orang yang sombong, merasa orang baik-baik yang tidak mungkin mendapatkan kejahatan seperti ini. Merasa orang baik-baik yang akan selalu dijaga oleh Allah, hingga membuatku lengah, membuatku tidak waspada.

Aku merasa orang baik-baik karena masih tetap berusaha baik di tengah kelusuan iman yang kurasakan. Merasa orang baik-baik karena masih bisa merasakan ketidak-baikan dalam ibadahku hingga malas tetap kuseret untuk bergerak.

Aku merasa orang baik-baik yang masih tetap berusaha memberikan kontribusi nyata untuk dakwah di tengah letihnya raga, lelahnya jiwa. Aku masih saja merasa orang baik-baik walau tanpa kusadari ternyata ada kebathilan dalam haq yang kuperjuangkan, dan aku mencampurkan yang haq dan yang bathil.

“Astagfirullah…astagfirullah….”,. air mataku mengalir pelan. Pelan sekali dan secepat mungkin kucoba tutupi, aku tidak ingin seorangpun melihat aku menangis. Aku malu.

Masih kuingat hari itu, di hari kejadian itu terjadi. Tepat sebelum berangkat mengikuti Daurah yang dilaksanakan siang hari. Aku berdiri lama sekali, melihat diriku dari bayangan yang dipantulkan kaca tepat di depanku. Menggunakan baju longgar dan hijab yang mengurai panjang, menggunakannya selalu dengan spontan tanpa menghadirkan hati seolah hanya kebiasaan atau rutinitas biasa.

Aku mencoba menghadirkan masa-masa dulu, masa-masa penuh perjuangan hanya untuk menguraikan hijab ini, masa-masa sulit untuk tetap bisa berhijab dengan syar’i, masa-masa di mana aku benar-benar terasing dari orang-orang yang kucinta hanya karena hijab yang kubiarkan terurai panjang. Ahhhhh, masa itu ternyata menjadi masa terindah dalam sejarah hidupku, namun sedikitpun aku tidak bisa menghadirkan rasa itu kembali. Aku terdiam sedih tanpa mampu melakukan apapun.

Dan kejadian sore itu menjawab semuanya, dengan hijab yang terlepas aku berdiri di depan seseorang yang tidak kukenal, seorang asing yang menatapku tajam. Aku marah, aku merasa terhina, dihina mentah-mentah. Aku malu namun kutemukan kembali arti hijab yang kukenakan, kutemukan kembali kehangatan ketika memakainya, aku menemukannya kembali, menemukan cintaku yang hilang pada hijab yang terurai panjang.

Mungkin ini cara yang Allah tuliskan untukku. Dengan tamparan keras hingga aku benar-benar tersadar karena cubitan kecil-Nya sudah tidak terasa bagiku. Aku hanya bisa menangis dan menangisi diriku sendiri, menangisi kebodohan dan kepongahanku sendiri.

01 January 2014

Akhirnya aku benar-benar keluar dari rumah sakit ini, Adri dan Dwi sudah standby dengan mobilnya, sementara Ami, mb Nesya dan Nauri menyusul dengan mengendarai motor masing-masing.

Hari-hari selanjutnya masih seperti di rumah sakit, beberapa sahabat masih mondar-mandir di rumah kontrakan yang kutempati. Ai, Wit-wit, Alin dan beberapa sahabat lainnya membuat jadwal bergantian untuk menjagaku. Meski merasa sungkan tapi aku tidak bisa menolak bantuan mereka karena aku benar-benar tidak bisa melakukan apapun bahkan hanya untuk meminum seteguk air putih aku membutuhkan bantuan.

02 Februari 2014

“Nah kan, mereka semua mencintaimu Aqila, buktinya Qila sakit mereka yang mengurus, mereka rela berlelah-lelah, menyiapkan ini itu, mondar-mandir sana sini….”, ucap Sahara panjang lebar dari balik telpon.      .

Aku tersenyum bahagia juga malu, “ia Ra, kejadian ini mengajarkanku buanyak…buanyak…buanyak banget pelajaran. Karena ukhuwah memiliki warna yang berbeda-beda seperti pelangi. Tidak akan indah jika memiliki warna yang sama begitupun dengan ukhuwah”.

“Alaahhhh, mulai deh keluar puisi-puisinya, cukup..cukup…cukup..”, potong Sahara sambil tertawa kecil, mungkin ia sudah mulai bosan mendengar gombalan yang sering kucuap-cuapkan di hadapannnya.

“Hahahaha, baiklah. Besok Qila sudah mulai bekerja. Mau istirahat dulu. Sampai jumpa one day. Assalamualaikum. Tuttt.” , kumatikan telpon sambil cengengesan sendiri.

Aku menatap jauh, berjuta-juta detik lalu yang sudah kulewati. Menghadirkan wajah-wajah sahabat-sahabatku, ahh… tidak bisa kuhadirkan satu persatu, terlalu banyak atau bahkan ada yang belum kukenal. Terlalu banyak kebaikan yang sudah kuterima, harus dengan apa aku membalasnya.

Sakit ini, kejadian singkat ini mengajarkanku banyak hal. Menyadarkanku kembali akan makna hijab yang kukenakan, ia bukan hanya sekedar tergantung di atas kepala, tapi ia adalah perintah dari Sang Pencipta, ia adalah kewajiban. Dan ukhuwah yang kucari-cari, cinta yang kurasa hilang, ia datang kembali, banyak…berlimpah.., melebihi yang kuminta. Maka, atas dasar apa lagi aku harus bersedih?

Karena dalam duka, ada cinta yang menyirami lara dengan hiasan doa seindah pagi. Dalam shalat, kuselalu berdoa agar jiwa ini, raga ini diistiqomahkan oleh-Nya dalam barisan dakwah ini, tetap dalam kebaikan agar kelak aku bisa berkumpul dengan orang-orang shalih seperti mereka di mimbar-mimbar cahaya yang telah Allah janjikan.

“Ya Allah, istiqamahkan aku, istiqamahkan kami untuk tetap saling mendoakan dalam kebaikan, kabulkanlah doa-doa mereka, balaslah kebaikan-kebaikan mereka dengan limpahan kebaikan dari-Mu. Ya Rabb, istiqamahkan aku, istiqamahkan kami dalam barisan kebaikan agar kelak aku bisa bersua di taman-taman surga-Mu, berkenalan dengan mereka, sahabat, saudara yang bahkan namanya pun tak bisa kuingat, hanya kebaikan merekalah yang selalu kuukir di sudut hatiku”.

Hanya doa ini yang bisa kupersembahkan untuk mereka, orang-orang yang mensupportku dalam banyak hal, yang mengorbankan waktunya dalam sibuk, hartanya dalam sempit, yang memberikan perhatian dalam lelah dan yang terus mengalirkan doanya.

Yah, aku selalu merindui pertemuan itu. Dan kutemukan cintaku di sini. Dalam ukhuwah yang menyentuh bilik hati yang terluka.

Batam, Juni 2014.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Psikologi UMA. Aktivis KAMMI. Bercita-cita jadi Psikolog Anak. Pecinta dunia Traveling, photography, tulis menulis and ODOJers 63.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization