Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Kedua)

Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Kedua)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: animaatjes.nl)
Ilustrasi. (Foto: animaatjes.nl)

dakwatuna.com –  Islam adalah agama yang sempurna yang meliputi semua sisi kehidupan manusia. Kesempurnaannya itu sesuai dan sejalan fitrah manusia. Termasuk di antaranya urusan akhlak dan penampilan, Islam pun tidak melupakannya. Diatur secara rapi, seimbang, dan pantas. Inilah perbedaaanya dengan agama lain, sekaligus keistimewaanya. Namun banyak umat Islam yang melupakannya, arus globalisasi, terlebih westernisasi, yang tidak dibarengi kekuatan filter aqidah, membuat umat Islam kehilangan identitas dan semakin jauh dan terasing dari ajaran agamanya dan sunah-sunah nabinya.

2. Menyemir Rambut

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن اليهود والنصارى لايصبغون فخالفوهم

“Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (rambut), maka berbedalah dengan mereka.” (HR. Abu Daud No. 4203, An-Nasa’i No. 5069, Ibnu Majah No.3621. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam berbagai kitabnya)

Hadits ini menunjukkan; Pertama, anjuran berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dengan cara menyemir rambut, dan ini sunah. Kedua, secara mutlak dibolehkan menyemir rambut dengan warna apa saja, karena hadits ini tidak mengkhususkan warna tertentu.

Tetapi dalam riwayat Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya menyebut dua warna:

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على مشيخة من الأنصار بيض لحاهم فقال: يا معشر الأنصار حمروا وصفروا وخالفوا أهل الكتاب

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersama seorang tua dari Anshar yang rambutnya putih merata. Maka dia bersabda, “Wahai orang Anshar, warnailah dengan merah dan kuning, dan berbedalah dengan ahli kitab.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari 10/354)

Bahkan, dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara khusus melarang warna hitam. Ketika datang Abu Quhafah (ayah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu) pada hari Fathul Makkah, yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“غيروا هذا بشىءٍ، واجتنبوا السواد”.

“Rubahlah rambutnya ini dengan sesuatu, dan jauhilah warna hitam.” (HR. Abu Daud No. 4204, An-Nasa’i No. 5076, Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4204)

Dari hadits ini merupakan petunjuk yang jelas bolehnya menyemir rambut beruban dengan berbagai warna, tetapi haram menyemir dengan hitam sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah. Ada pun hadits sebelumnya masih bersifat umum (muthlaq), sedangkan hadits ini adalah muqayyad (spesisifik). Oleh karena itu, sesuai kaidah Hamlul Muthlaq Ilal Muqayyad, yang mutlak (umum) harus dibawa/dibatasi (taqyid) kepada yang muqayyad. Hadits ini menjadi pengecualian atas hadits sebelumnya. Ringkasnya, kita katakan: semua warna boleh kecuali hitam. Wallahu A’lam

Selanjutnya, apakah larangan ini menunjukkan makna haram –sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah dan sebagian Hambaliyah kontemporer, seperti Syaikh ‘Utsaimin?

Jika kita lihat manath (objek hukum), maka kita paham bahwa larangan warna hitam itu berlaku buat kasus Abu Quhafah saja, lantaran usianya yang sudah sangat tua, sehingga tidak pantas lagi memiliki rambut berwarna hitam. Oleh karena itu pelarangan ini lebih tepat hanya sampai makruh. Diriwayatkan bahwa sebagian sahabat dan tabi’in ada yang menyemir rambutnya dengan warna hitam.

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

ولهذا اختار النووي أن الصبغ بالسواد يكره كراهية تحريم. وعن الحليمي أن الكراهة خاصة بالرجال دون النساء فيجوز ذلك للمرأة لأجل زوجها. وقال مالك: الحناء والكتم واسع، والصبغ بغير السواد أحب إلي.

“Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh An-Nawawi adalah bahwa menyemir dengan warna hitam adalah makruh, dengan makruh tahrim (mendekati haram). Dari Al-Halimi, bahwa kemakruhannya khusus bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, hal itu boleh bagi wanita demi membahagiakan suaminya. Malik berkata: diberikan keluasan bagi Inai dan Al-Katam, dan menyemir dengan selain hitam lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 6/499. Darul Fikr)

Apa yang dikatakan oleh Al-Halimi, bahwa makruh hanya bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, tentu membutuhkan dalil, dan masih bisa didiskusikan lagi. Sebab kita tidak temukan dalil itu melainkan bahwa larangan itu bersifat umum bagi laki-laki dan wanita.

Sebagian Sahabat dan Tabi’in Ada yang Menyemir dan Ada Yang Tidak

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma menyemir rambutnya dengan inai. (HR. Muslim No. 2341)

Berkata Al-Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah:

اختلف السلف من الصحابة والتابعين في الخضاب وفي جنسه فقال بعضهم ترك الخضاب أفضل وروى حديثًا عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم في النهي عن تغيير الشيب ولأنه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لم يغير شيبه روي هذا عن عمر وعلي وأبي بكر وآخرين .

وقال آخرون الخضاب أفضل وخضب جماعة من الصحابة والتابعين ومن بعدهم للأحاديث الواردة في ذلك ثم اختلف هؤلاء فكان أكثرهم يخضب بالصفرة منهم ابن عمر وأبو هريرة وآخرون وروي ذلك عن علي .

وخضب جماعة منهم بالحناء والكتم وبعضهم بالزعفران وخضب جماعة بالسواد روي ذلك عن عثمان والحسن والحسين ابني علي وعقبة بن عامر وابن سيرين وأبي بردة وآخرين .

 

“Para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat tentang menyemir itu sendiri. Sebagian mereka mengatakan bahwa meninggalkannya adalah lebih utama. Dan diriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang larangannya merubah uban, dan lantaran Beliau juga tidak merubah ubannya. Ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Abu Bakar, dan lainnya.

Ada pun yang lainnya mengatakan, menyemir adalah lebih utama. Segolongan sahabat dan tabi’in dan orang setelah mereka telah melakukannya, lantaran adanya hadits-hadits tentang hal itu. Kemudian, mereka berbeda pula, kebanyakan mereka menyemir dengan warna kuning, diantaranya Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan lainnya, dan juga diriwayatkan Ali melakukannya.

Di antara segolongan mereka ada yang menyemir dengan inai dan Al-Katam (sejenis tumbuhan), dan sebagian lagi dengan za’faran, dan segolongan ada yang menggunakan warna hitam dan diriwayatkan hal itu dari Utsman, Al-Hasan, Al-Husein, Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abi Burdah, dan lainnya.” (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, 1/118)

Maka, apa yang dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in ini;mereka menggunakan warna hitam, lalu dikompromikan (taufiq) dengan dalil larangan menggunakan warna hitam, menunjukkan bahwa ia lebih tepat dihukum makruh.

Kesimpulan

Ada juga yang berpendapat pembolehannya mesti dilihat dulu kondisi orangnya. Imam Asy-Syaukani mengutip dari Imam Ath Thabari Rahimahullah, katanya:

الصواب أن الأحاديث الواردة عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم بتغيير الشيب وبالنهي عنه كلها صحيحة وليس فيها تناقض بل الأمر بالتغيير لمن شيبه كشيب أبي قحافة والنهي لمن له شمط فقط

“Yang benar adalah hadits-hadits yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perintah untuk merubah uban dan berupa larangannya, semuanya adalah shahih, satu sama lain tidak saling menganulir. Tetapi perintah merubah uban adalah bagi siapa yang ubannya sudah seperti Abu Qahafah dan larangannya bagi siapa yang ubannya masih bercampur.” (Nailul Authar, 1/118)

Tetapi, pembedaan yang dikatakan oleh Imam Ath Thabari ini tidak kita temukan korelasinya pada berbagai riwayat yang ada. Faktanya tidak sedikit para sahabat yang menyemir rambutnya, walau mereka belum sampai seperti Abu Qahafah. Kesimpulannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili berikut:

والصواب جواز تغيير الشيب وجواز تركه، وجواز الخضاب بأي لون كان، مع كراهة الخضاب بالسواد.

“Yang benar adalah boleh merubah uban dan boleh juga membiarkannya, dan dibolehkan menyemirnya dengan warna apa saja, namun makruh menggunakan warna hitam.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/228. Maktabah Al-Misykah)

Inilah pendapat yang lebih memadukan semua dalil yang ada. Wallahu A’lam

Catatan:

Saat ini menyemir rambut dengan berbagai warna telah dilakukan anak-anak muda ‘gaul’, mereka melakukannya untuk gaya-gayaan dan mengikuti mode tren penyanyi kafir. Maka, untuk saat ini, mewarnai rambut bagi aktivis Islam dapat membawa masalah lantaran pandangan masyarakat telah berubah, walau berniat menghidupkan sunah. Oleh karena itu dituntut kearifan dan kejelian mereka ketika berniat untuk melakukannya. (usb/dakwatuna)

bersambung…

sebelumnya….

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Israel Cabut Larangan Masuk Turis Indonesia

Figure
Organization