Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Pertama)

Sunnah dan Larangan Pada Tubuh Manusia (Bag. Pertama)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi-buku (inet)
ilustrasi-buku (inet)

dakwatuna.com – Islam adalah agama yang sempurna yang meliputi semua sisi kehidupan manusia. Kesempurnaannya itu sesuai dan sejalan fitrah manusia. Termasuk di antaranya urusan akhlak dan penampilan, Islam pun tidak melupakannya. Diatur secara rapi, seimbang, dan pantas. Inilah perbedaaanya dengan agama lain, sekaligus keistimewaanya. Namun banyak umat Islam yang melupakannya, arus globalisasi, terlebih westernisasi, yang tidak dibarengi kekuatan filter aqidah, membuat umat Islam kehilangan identitas dan semakin jauh dan terasing dari ajaran agamanya dan sunah-sunah nabinya.

Di sini, kita mencoba menghidupkan sunah-sunah tersebut, baik dalam bentuk perintah dan larangan. Bisa jadi ini bagian yang sederhana, tetapi tidak ada yang sederhana ketika kita menghidupkannya di zaman Ghurbatul Islam (keterasingan Islam). Upaya perbaikan di tengah kerusakan masyarakat adalah keistimewaan yang dipuji beberapa riwayat berikut ini.

Dari Abdurrahman bin Sannah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، ثُمَّ يَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ” قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنِ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ, “ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

Pertama kali ada, Islam di anggap terasing, kemudian akan kembali dianggap terasing sebagaimana awalnya. Rasul ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang terasing?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang mengadakan perbaikan ketika manusia melakukan kerusakan.” (HR. Ahmad No. 16690. Al-Qudha’i, Musnad Asy-Syihab No. 1055. Didhaifkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 16690)

Dalam riwayat lain tentang siapakah Al-Ghuraba, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

الَّذِينَ يُحْيُونَ سُنَّتِي وَيُعَلِّمُونَهَا عِبَادَ اللَّهِ

Orang-orang yang menghidupkan sunahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah. (HR. Al-Qudha’i, Musnad Asy-Syihab No. 1052. Ibnu Abdil Bar, Jami’ul Bayan Al-‘ilmi wa Fadhlihi, No. 1902)

Dalam riwayat lain, “An Nuzaa’ minal Qabaa-il (berselisih dengan berbagai kelompok kabilah). (HR. Al-Baghawi, Syarhus Sunnah, No.64, Al-Baghawi mengatakan: shahih)

Di antara sunah-sunah itu ternyata begitu dekat dalam diri kita. Dia ada di sekujur tubuh, dari ujung kepala ke ujung kaki. Semuanya di atur dalam syariat secara lengkap. Berikut ini rinciannya.

Pertama. Perintah dan Larangan Di Kepala dan Wajah

Berikut ini perintah dan larangan di bagian kepala dan wajah:

  1. Menutupi Rambut bagi wanita karena itu adalah salah satu aurat

Dalil-Dalil Al-Quran

Berikut ini adalah ayat-ayat yang memerintahkan kaum wanita menutup aurat:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nuur (24): 31)

Ayat ini tegas mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya, kecuali yang biasa tampak. Tegas pula disebutkan bahwa hendaknya memanjangkan jilbabnya hingga menutup dadanya. Tak satu pun kata lugas yang menyebut perintah menutup wajah. Ditambah lagi, sebelumnya Allah Ta’ala memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya. Tentunya perintah tersebut menjadi tidak relevan jika wajah wanita ditutup, mau nunduk dari apa, sementara tidak nunduk saja sudah tidak terlihat apa-apa.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An-Nur ayat 31 di atas:

بدن المرأة كله عورة يجب عليها ستره، ما عدا الوجه والكفين قال الله تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها)، أي ولا يظهرن مواضع الزينة، إلا الوجه والكفين، كما جاء ذلك صحيحا عن ابن عباس وابن عمر وعائشة

“Seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib atasnya untuk menutupnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.”, yaitu jangan menampakkan tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang diriwayatkan hal itu secara shahih dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah.” (Fiqhus Sunnah, 1/127)

Mayoritas para ulama mengatakan wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat. Sebagaimana tertera dalam tafsir Ibnu katsir berikut, ketika menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya”:

ويحتمل أن ابن عباس ومن تابعه أرادوا تفسير ما ظهر منها بالوجه والكفين، وهذا هو المشهور عند الجمهور

“Ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud “Maa zhahara minha (apa-apa yang biasa nampak darinya)” adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah yang masyhur menurut mayoritas ulama. “ Ini juga pendapat Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa’, Said bin Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang kaki. (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 6/45)

Sementara Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An Nakha’i, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirrin, Abu Al-Jauzaa, dan lain-lain, mereka menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya” adalah pakaian dan selendang. (Ibid) Dengan kata lain menurut mereka, wajah wanita adalah aurat. Namun, dalam riwayat lain dari Hasan Al-Bashri, beliau menafsirkan: wajah dan pakaian.

Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak, pewarna tangan, dan cincin. Sementara Said bin Jubeir dan Atha’ mengatakan: wajah dan kedua telapak tangan. Qatadah mengatakan: celak, gelang, dan cincin. Al-Miswar bin Mukhramah mengatakan: cincin, celak, dan gelang. Mujahid berkata: cincin, pewarna tangan, dan celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia. Al-Auza’i mengatakan: wajah dan dua telapak tangan. Adh Dhahak berkata: wajah dan dua telapak tangan. Sementara Hasan Al-Bashri mengatakan: wajah dan pakaian. Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini, beliau mengatakan:

وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.

“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.” (Jami’ul Bayan, 19/156-158)

Imam Al-Muzani Rahimahullah juga mengatakan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya” adalah wajah dan dua telapak tangan. (Imam Al-Muzani, Mukhtashar Hal. 163)

Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, imamnya para ahli tafsir, telah mengunggulkan bahwa pendapat yang benar adalah wajah dan dua telapak angan bukanlah aurat. Beliau telah menyimpulkan dari semua penafsiran, dan memberikan tarjih (mengunggulkan yang paling benar) dengan berkata:

وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.

وإنما قلنا ذلك أولى الأقوال في ذلك بالتأويل؛ لإجماع الجميع على أن على كلّ مصل أن يستر عورته في صلاته، وأن للمرأة أن تكشف وجهها وكفيها في صلاتها، وأن عليها أن تستر ما عدا ذلك من بدنها، إلا ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أباح لها أن تبديه من ذراعها إلى قدر النصف. فإذا كان ذلك من جميعهم إجماعا، كان معلوما بذلك أن لها أن تبدي من بدنهاما لم يكن عورة، كما ذلك للرجال; لأن ما لم يكن عورة فغير حرام إظهاره

“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.”

Kami katakan bahwa yang demikian mendekati kebenaran adalah dengan mentakwilkan terhadap ijma’ semua orang bahwa manusia harus menutup auratnya dalam shalat, dan bahwa bagi wanita boleh membuka wajah dan dua telapak tangannya dalam shalat dan harus menutup bagian badan yang lain. Kecuali yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibolehkannya bagi wanita menampakkan setengah hastanya. Jika yang demikian sudah ijma’ semua manusia, maka bisa dimaklumi bahwa wanita dibolehkan menampakkan badannya yang bukan aurat, sebagaimana yang berlaku bagi laki-laki, sebab yang bukan aurat tidak haram untuk menampakkannya.” (Jami’ul Bayan, 19/158-159)

Ayat lainnya:

لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلَا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلَّا مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا

“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan- perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” (Al-Ahzab (33):52)

Lihatlah ayat ini baik-baik, khususnya kalimat, “meskipun kecantikannya menarik hatimu.” Dari manakah kita mengetahui bahwa wanita itu cantik? Apakah wanita yang tertutup wajahnya bisa diketahui kecantikannya? Nah, ayat ini menunjukkan bahwa wajah wanita pada saat itu terbuka, sehingga bisa diketahui kecantikan mereka.

Oleh karena itu Imam Al-Jashash mengomentari ayat tersebut:

وَلَا يُعْجِبُهُ حُسْنُهُنَّ إلَّا بَعْدَ رُؤْيَةِ وُجُوهِهِنَّ .

 

“Tidaklah dia kagum dengan kecantikan mereka melainkan setelah melihat pada wajah-wajah mereka.” (Imam Al-Jashash, Ahkamul Quran, 8/166)

Maka tidak ragu lagi bahwa, wajah dan dua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Demikianlah pendapat pilihan mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan).

Ada pun dalam As-Sunnah, dalilnya sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata, bahwa Asma’ binti Abu bakar masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling darinya dan bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanitu itu jika dia sudah mengalami haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini, dia mengisyaratkan wajah dan telapak tangan.” Abu Daud berkata: Hadits ini mursal, karena Khalid bin Duraik belum pernah berjumpa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. (HR. Abu Daud, dia berkata hadits ini mursal, yakni perawinya bernama Khalid bin Duraik belum pernah berjumpa dengan Aisyah. Lihat Sunan Abu Daud, Kitab Al-Libas, Bab Fima Tabdi Al-Mar’ah min Zinatiha, No. 4104. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dalam As-Sunan Al-Kubra No. 3034, 13274, juga Syu’abul Iman No. 7796, Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 19115)

Sebagian ulama mendhaifkan hadits ini, karena Khalid bin Duraik belum pernah berjumpa dengan ‘Aisyah, berarti hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya), lalu dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Basyir seorang dhaif, dan Al-Walid bin Muslim seorang mudallis (perawi yang suka menggelapkan sanad atau matan). (Lihat Takhrij Azh Zhilal, Hal. 574)

Namun, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menguatkan hadits ini lantaran banyaknya syawahid (penguat) hadits ini, sehingga menurutnya derajatnya naik menjadi shahih. (Lihat dalam Shahih Sunan Abi Daud No. 4104. lihat juga tahqiqnya terhadap Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah No.24)

Banyak keterangan dalam As-Sunnah bahwa wanita pada masa nabi membuka wajahnya, namun menutup yang lainnya. Padahal ayat yang memerintahkan agar isteri-isteri nabi menggunakan hijab (penghalang) ketika berbicara dengan laki-laki lain sudah diturunkan. Namun, kenyataannya para wanita lain tetap membuka wajahnya. Ini menunjukkan menutup wajah adalah kekhususan bagi isteri-isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berikut ini adalah bukti-buktinya.

  • Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ، فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ، وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ، وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ، فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: «تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ»، فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ، فَقَالَتْ: لِمَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ»،

Saya shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau shalat dulu sebelum khutbah, tanpa azan dan iqamah. Lalu Beliau berdiri dan bersandar kepada Bilal. Beliau memerintahkan agar bertaqwa kepada Allah dan mentaatiNya, memberikan nasihat kepad amanusia dan memberikan peringatakan, lalu dia berlalu dan mendatangi jamaah kaum wanita dan menasehati mereka, “Bersedekahlah kalian, karena banyak di antara kaum wanita menjadi bahan bakar neraka. Maka berdirilah seorang wanita yang pipinya kemerah-merahan, lalu bertanya, “Kenapa Ya Rasulullah?”, Nabi menjawab: karena kalian banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan dari suami.” (HR. Muslim No. 885)

Inilah riwayat yang sangat jelas dan terang, tak mungkin diingkari kecuali, bahwa wajah wanita tersebut jelas terbuka. Tahu dari mana Jabir bin Abdullah bahwa wanita itu pipinya kemerah-merahan? Ya, karena wajahnya terbuka.

Zaid bin Aslam, dari ayahnya dia berkata:

خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى السُّوقِ، فَلَحِقَتْ عُمَرَ امْرَأَةٌ شَابَّةٌ….

“Saya pernah keluar bersama Umar bin Al-Khathab ke pasar, maka seorang wanita muda menemui Umar lalu berkata: …dst.” (HR. Bukari No. 4160)

Kisah ini juga menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajah. Sebab jika ditutup, maka tidak akan diketahui, apakah wanita itu masih muda atau sudah tua.

Kisah tenar, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan tentang Al-Fadhl bin Abbas yang berboncengan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Al-Fadhl bin Abbas adalah seorang pemuda yang tampan. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi kumpulan manusia untuk memberikan fatwa, lalu datanglah seorang wanita Khats’amiyah yang berparas cantik, dan mereka berdua saling berpandangan, lalu Rasulullah memegang dagu Al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari wanita itu. (HR. Bukhari No. 1513, 1855. Muslim No.1334)

Kisah ini juga menunjukkan bahwa wanita tersebut terbuka wajahnya, jika tertutup maka tidak akan ada saling memandang antara mereka berdua. Ini juga menunjukkan bahwa wajah wanita itu bukan aurat, jika itu aurat maka pastilah Rasulullah langsung akan memerintahkan menutupnya, bukan sekadar memalingkan wajah Al-Fadhl bin Abbas.

Imam Ibnu Hajar mengutip dari Imam Ibnu Baththal sebagai berikut:

قَالَ اِبْن بَطَّال : فِي الْحَدِيث الْأَمْر بِغَضِّ الْبَصَر خَشْيَة الْفِتْنَة ، وَمُقْتَضَاهُ أَنَّهُ إِذَا أُمِنَتْ الْفِتْنَة لَمْ يَمْتَنِع

“Berkata Ibnu Baththal: Dalam hadits ini terdapat petunjuk perintah untuk menundukkan pandangan karena dikhawatirkan fitnah dan segala akibatnya, tapi jika aman dari fitnah maka tidak dilarang memandang.”

Lalu beliau melanjutkan:

وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ نِسَاء الْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحِجَاب مَا يَلْزَم أَزْوَاج النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِذْ لَوْ لَزِمَ ذَلِكَ جَمِيع النِّسَاء لَأَمَرَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَثْعَمِيَّة بِالِاسْتِتَارِ وَلَمَا صَرَفَ وَجْه الْفَضْل ، قَالَ : وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ سَتْر الْمَرْأَة وَجْههَا لَيْسَ فَرْضًا لِإِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُبْدِي وَجْههَا فِي الصَّلَاة وَلَوْ رَآهُ الْغُرَبَاء

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa bagi wanita mukmin tidaklah diwajibkan berhijab (wajahnya) sebagaimana lazimnya isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya itu lazim bagi semua wanita, niscaya Nabi akan memerintahkan wanita Khats’amiyah itu untuk menutup wajahnya, tidak perlu memalingkan wajah Al-Fadhl. Ini juga dalil bahwa bagi wanita, menutup wajah tidaklah wajib, karena menurut kesepakatan mereka (para ulama) bahwa wanita harus menampakkan wajahnya ketika shalat, walau dilihat oleh orang asing.” (Fathul Bari, 11/10)

Atha bin Rabah berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita calon penghuni surga? “ Saya jawab, “Tentu.” Dia berkata, “Wanita yang hitam inilah ….” (HR. Bukhari No. 5652. Muslim No. 2576)

Riwayat ini, dan riwayat lain yang menceritakan sifat wanita; cantik, putih, hitam, atau kemerahan, menunjukkan bahwa hal yang biasa mereka menampakkan wajahnya. Dan, itu terjadi di luar shalat dan di hadapan non mahramnya. Walau, memang ada riwayat shahih pula yang menunjukkan tentang wanita yang memakai cadar, tetapi itu jumlahnya sedikit.

Masih banyak lagi riwayat yang senada dengan ini, tetapi kami kira dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah ini sudah lebih dari cukup menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat –termasuk rambutnya- kecuali wajah dan telapak tangan. (usb/dakwatuna)

bersambung ke bag. kedua

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Israel Cabut Larangan Masuk Turis Indonesia

Figure
Organization