Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Saat Senja Bertabur Cahaya

Saat Senja Bertabur Cahaya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (havenlegalrecruitment.com)
Ilustrasi. (havenlegalrecruitment.com)

dakwatuna.com – Sabtu sore di penghujung bulan, aku bersama suami dan anak-anak bergegas menuju halte bis M27 di Soldiner Strasse. Kami bermaksud menghadiri pengajian yang rutin diselenggarakan setiap bulan di masjid Al-Falah. Bis hampir saja melaju meninggalkan kami. Untunglah supirnya berbaik hati menanti kami yang berlari-lari kecil ditingkahi tawa riang anak-anak saat mengejarnya.

Sesampainya di halte Feldzeugmeisterstrasse di mana masjid itu berada, kami pun bergegas turun. Kulirik jam tangan, waktu menunjukkan kami telah terlambat 10 menit dari acara. Akan tetapi saat masuk ke ruangan masjid, ternyata suasana terasa masih lengang, hanya ada beberapa ibu dan pengurus masjid yang sedang mempersiapkan acara.

Setelah bertegur sapa dan menyalami beberapa ibu yang sudah hadir tadi. Kuedarkan pandang mencari posisi nyaman, lalu kusandarkan punggung pada heizung (pemanas ruangan) untuk sekadar menghangatkan tubuh setelah sebelumnya menahan udara musim dingin yang menggigit. Bersandar pada heizung yang berderet rapi di dinding merupakan tempat favorit bagi kami saat memasuki musim dingin. Tak berapa lama kemudian datang mendekat ke arahku sosok yang belakangan ini selalu membuat hatiku berdesir setiap kali melihatnya.

Langkah tubuh besar wanita itu tertatih-tatih dengan raut muka terlihat sedikit mengernyit seperti menahan sakit. Namun tak kudengar ia mengeluh dengan sakit yang dirasakan di kakinya itu. Rambutnya yang mulai dihiasi putih abu-abu terlihat di balik kerudung transparan yang dikenakannya. Kuucap salam padanya sambil membantu ia untuk dapat duduk bersandar pada heizung. Diawali saling berjabat tangan dan bertanya kabar, obrolan ringan pun mulai mengalir di antara kami.

Sebut saja namanya Bu Salma. Nama itu sudah lebih duluan akrab di telingaku, karena seorang sahabat pernah menceritakan sedikit tentang dirinya yang rutin mengaji privat pada sahabatku itu. Akan tetapi sosoknya belum lama ini kukenal, semenjak ia yang memasuki kepala 7 ini mulai sering mendatangi pengajian muslimah tiap hari Selasa di masjid.

Seperti kukatakan sebelumnya, entah mengapa setiap pandangan kami berpapasan, hatiku berdesir aneh…. Kucoba mengira-ngira apa mungkin adanya perasaan itu karena jadi teringat ibuku di tanah air? Termasuk sore itu, saat ia duduk begitu dekat denganku, desiran halus itu kembali terasa.

Tiba-tiba saja ia bercerita tentang dirinya bahwa sejak masih muda ia telah bekerja di Berlin. Kemudian menikah dengan pria Jerman, namun sampai usianya menapaki senja, Allah belum kabulkan doanya untuk mendapatkan keturunan.

Sejenak ia terdiam, perlahan bergerak meraih balitaku- Mumtaza, yang sedang asyik membolak-balik buku bacaan kesukaannya. Kurasakan ada semacam kerinduan yang sangat akan kehadiran anak dari sikapnya saat Bu Salma memeluk Mumtaza dengan penuh sayang.

“Tahukah Nak, apa yang membuat saya selalu datang kemari?” tiba-tiba saja ia bertanya. Sejenak kupandangi mata senja yang berkabut duka itu, mencoba menebak jalan pikirannya. Namun ia segera menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya itu.

“Saya ingin Allah meridhai upaya saya saat ini, saya akan terus belajar hingga saya bisa lancar membaca Al-Quran. Saya tak memiliki anak yang akan mendoakan saya bila kelak saya meninggal, saya ingin langkah kaki ini yang mesti harus selalu diseret, menjadi jalan mendapat ampunan dan rahmat Allah…”

Ia kemudian menatapku lebih lama, matanya berkaca-kaca. Tak kuasa membalas tatapannya, aku pun tertunduk mengalihkan pandangan pada karpet hijau yang terhampar di masjid. Sekuat daya menahan bulir-bulir air mata agar tidak tumpah di hadapannya.

Sepanjang menanti masjid penuh oleh jamaah, Bu Salma masih melanjutkan cerita masa lalunya. Rupanya, kesibukan pekerjaannya telah membuat Bu Salma lambat laun meninggalkan shalat dan mengaji. Hingga akhirnya ia lupa dengan semua bacaan shalat demikian pula dengan tiap huruf hijaiyyah yang terangkai menjadi ayat-ayat Alquran.

Kini kumulai memahami keadaan dirinya mengapa ia begitu bersemangat hadir mengikuti majelis pekanan khusus muslimah itu, di mana ia terlihat sangat tekun belajar membaca iqra dan serius menyimak setiap materi yang disampaikan. Bu Salma ingin menebus segala kekhilafannya di masa lampau.

Beruntungnya Bu Salma, saat usia tak muda lagi Allah menunjukinya jalan melalui perantara temannya yang memperkenalkan ia pada masjid Al-Falah. Di masjid inilah Allah pertemukan ia dengan para aktivis masjid yang selama ini membina para muslimah Indonesia yang bermukim di sana. Tak henti ia mengucap syukur mendapat kesempatan dari-Nya untuk dapat merasakan lagi nikmat yang sempat hilang dari lembar kehidupannya.

Melalui interaksi dengan para pembina yang telaten dan penuh kesabaran membimbing dirinya itulah, kini Bu Salma dapat merasakan kembali nikmatnya berwudhu, bertakbir saat memulai shalat, atau bertasbih saat ruku dan sujud (meski seringkali ia lakukan dengan isyarat sambil duduk), serta nikmatnya mendalami ilmu agama yang memperluas pengetahuannya, dan tentu saja ia merasakan lagi nikmatnya membaca Alquran. Hingga semua itu terasa mengalirkan ketentraman dalam hatinya.

Ia pun berbahagia dikelilingi indahnya persaudaraan yang ia rasakan manis dari para muslimah peserta kajian yang terbuka menerima dirinya dengan penuh kehangatan bersaudara bahkan selalu menyemangatinya untuk terus belajar.

Pada suatu kesempatan di mana kajian muslimah baru saja dimulai, sahabat yang selama ini mendapat amanah untuk membimbingnya, memintaku menggantikan tugasnya untuk sementara waktu karena kesibukannya hari itu. Segera kami menuju ruang kecil tempat para jamaah wanita menyimpan mantel. Saat belajar, Bu Salma memang suka memisahkan diri untuk memudahkannya konsentrasi .

Terbata-bata Bu Salma mulai mengeja baris demi baris rangkaian huruf hijaiyyah dari buku iqra yang digenggam di atas pangkuannya. Sementara desir jantungku terus bergemuruh memuji asma Allah melihat bara semangat dari wanita di senja usia ini.

“Nak, benar-benar ibu menyesal baru belajar Alquran di usia tua begini. Jangankan untuk menghapal surat, menghapal huruf-huruf ini saja, ibu sudah kepayahan…” tiba-tiba saja ia mengalihkan sejenak pandangan matanya padaku, melontarkan penyesalannya.

“Subhanallah.. Ibu, mari tetap kita syukuri, karena hanya dengan karunia Allah saat ini ibu bisa kembali berinteraksi dengan Alquran. Walaupun ibu merasa kesulitan membacanya, tetapi ibu tetap akan mendapatkan dua pahala.” (1) ucapku mencoba menyemangatinya.

“Dan… tahukah Ibu, siapakah sebaik-baik umat Nabi Muhammad itu? tanyaku, berharap ia semakin bersemangat.

“Siapa?” tanyanya antusias penuh rasa ingin tahu.

“Rasulullah pernah menyampaikan bahwa, sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an”(2) , lanjutku.

Rona wajahnya terlihat gembira mendengarnya. Ia kembali menekuri buku iqra dalam genggamannya. Subhanallah, haru dan bahagia melihatnya melakukan hal itu.

Adzan dzuhur berkumandang tanpa pengeras suara dari ruang utama masjid. Kami pun bergegas memenuhi panggilan-Nya. Dua shaf muslimah telah tegak, siap mendirikan shalat. Kulirik Bu Salma dalam balutan mukena putihnya, duduk di atas kursi di ujung shaf terakhir. Saat cahaya hidayah kembali menyinari hatinya, usia senja dan kelemahan fisik tidak menjadi penghalang baginya untuk meraih ridha Allah.

Alhamdulillah, kini kudapati hikmah ketika Allah menjadikan hatiku berdesir setiap bertemu dengannya. Kurasa pijar semangatnya itulah yang menghentak hatiku untuk bisa seperti dia dalam mempersiapkan bekal ke negeri abadi.

Syukur terucap seiring doa kulesatkan pada-Nya, “Ya Allah, kumohon Engkau tetap menjaganya untuk istiqamah setelah ia temukan kembali jalan cahaya itu di rumah-Mu ini, ya Allah..”

(1) “Orang yang mahir berinteraksi dengan Alqan akan bersama para malaikat yang mulia dan taat, sedangkan yang membaca Alquran dengan terbata-bata, dan ia merasa sulit, iamendapatkan dua pahala.” HR. Muslim,

(2) HR. Bukhari

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang yang belajar menuliskan catatan hati untuk memaknai hidup lebih hidup. Seorang yang berbahagia bila engkau berhasil menemukan hikmah di setiap jejak kehidupan yang dituliskan. Seorang yang berharap dengan menulis, dapat meretas satu dari sekian banyak jalan untuk menjadi bagian dari "khairunnas anfa'uhum linnas" - Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

Lihat Juga

Muhammad Jadi Nama Paling Populer di Berlin dan Sejumlah Kota di Eropa

Figure
Organization