Medan Karya dalam Ketaatan pada-Nya

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Hidup ini adalah arena kompetisi, memberi yang terbaik dengan apa yang dimiliki. Setiap peserta kehidupan memiliki potensi yang berbeda-beda, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seperti sabda Rasulullah, “…Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” yang tertulis dalam HR. Thabrani dan Daruquthni. Maka nilai seseorang akan terletak pada kadar manfaatnya, bagi mereka yang sadar bahwa hidup adalah tentang medan kompetisi, tergeraklah jiwa dan raga untuk memberi dengan karya yang terbaik dalam langkah ketaatan pada-Nya.

Allah Ta’ala telah menghamparkan seisi bumi sebagai sarana untuk beramal, menggunakan dalam ketaatan pada-Nya serta bermanfaat untuk umat. Bagi seorang muslim, dalam beramal tak asal-asalan. Ada ilmu dan adab yang harus dijalani disetiap gerak amal. “Sesungguhnya Allah tidak ridha,” demikian Syaikh Mutawalli Sya’rawi menulis, “jika diibadahi dengan kebodohan. Maka Dia mewajibkan ilmu atas kita; dalam mengenal-Nya, menyembah-Nya, mentaati-Nya, dan melaksanakan aturan-aturan-Nya di segenap kehidupan kita.” Memahami bahwa ilmu adalah dasar bagi segala ucapan dan perbuatan, agar amal kita tak berujung pada sia-sia atau mungkin kehinaan; tapi bermuara pada pahala nan teraih ridha-Nya. Inilah ilmu pengikat kebajikan.

Setiap manusia dilahirkan ke bumi Allah dengan diberikan dua daya, yaitu kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam diri. Di mana, kelebihan dan kekurangan yang Allah berikan kepada setiap hamba-Nya merupakan bekal untuk mengarungi samudera kehidupan. Kelebihan yang Allah berikan bisa berupa kebagusan secara fisik, talenta hidup yang mengagumkan, dan atau harta yang diwariskan. Begitu pula sebaliknya, setiap peserta kehidupan di bumi ini pun memiliki kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang Allah berikan, tidak begitu saja disematkan tanpa ada makna yang terajut, serta ada maksud atau tujuan untuk sebuah pencapaian. Ya. Setiap kelebihan dan kekurangan itu ibarat dua sisi mata uang koin yang tak terpisahkan, ataupun bagaikan bongkahan puzzle yang saling melengkapi dan menguatkan. Sehingga pada saat semua terkumpul saling melengkapi, memiliki keindahan nan berharga untuk dijaga saat semua bersatu.

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara kita mengelola kelebihan dan kekurangan yang ada, agar bermanfaat untuk umat?

Langkah awal yang harus kita tapaki adalah sadar akan kelebihan dan kekurangan yang singgah dalam diri kita. Kemudian sikap kedua yang kita harus berikan adalah menerima dengan kelapangan dada, kebeningan hati, kejernihan pikiran, serta keindahan sikap dalam hal kelebihan yang ada pada saudara kita dan menerima kekurangan yang didapati pada saudara kita. Ketiga, kita harus sadar untuk saling melengkapi. Bahwa kelebihan dan kekurangan yang didapati setiap insan manusia adalah sebuah kekuatan yang luar biasa hebat, jika disatukan untuk saling melengkapi. Berikutnya, langkah keempat adalah mengalirkan semua potensi yang luar biasa hebat setelah kita saling melengkapi, dengan sikap saling menutupi kekurangan. Karena iman setengahnya sabar dan setengahnya lagi syukur. Seorang mukmin bersyukur saat dilimpahi begitu banyak nikmat, maka itu indah baginya. Ketika keburukan mendatanginya, maka ia bersabar; maka itu baik baginya. Atas segala kelebihan dan kekurangan yang kita miliki, semoga senantiasa terbingkai rasa syukur dan sabar atas keimanan kita pada Allah Ta’ala.

“Mahasuci Allah yang menguasi (segala) kerajaan. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (Q.s Al-Mulk [67]: 1-2)

Segala puji bagi Allah yang telah begitu banyak berikan nikmat-Nya, mari alirkan pada jalan ketaatan pada-Nya; sebagai tanda syukur seorang hamba. Mari ber-fastabiqul khairat. Semangat berkontribusi yang terus mengalir deras dalam diri, menghayutkan rasa malas untuk berdiam diri tak memberi, menghantam rasa sungkan dalam bergerak mencegah dan menghentikan kemungkaran. Semangat memberi yang bertumbuh dalam diri, menjadi kekuatan yang tak terhingga untuk berpartisipasi dalam pentas peradaban sejarah manusia. Peserta kehidupan yang memiliki semangat kontribusi, ia selalu mengasah kemampuannya untuk menjadi pribadi yang bisa lebih bermanfaat untuk umat.

“…Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.s At Taubah [9]: 105)

Kita harus rindu pada pentas partisipasi lalu memberi, sebagai tanda peduli akan masalah yang tersaji di hadapan umat. Maka beramalah! dengan segala daya yang kita miliki. Mengalirkan sekuat tenaga karunia dan nikmat-Nya dalam jalan ketaatan nan bermanfaat.

Mahasiswa Fak. Pertanian Unsoed.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...