Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Sampai Akhir Penantian

Sampai Akhir Penantian

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com

“Hei kau sudah tidak mengenaliku?”tanya wanita itu

“Airin?”tanya Rey masih belum terlalu percaya

Rey tak sanggup bicara. Kenangan masa lalu yang selama ini berusaha dikuburnya namun gagal kini kembali bermain di kepalanya. Semuanya seolah baru terjadi seminggu yang lalu. Padahal peristiwa itu sudah lima tahun berlalu. Namun semuanya masih lekat dalam ingatan Rey. Sampai saat ini Rey belum bisa melupakan Airin sepenuhnya. Walaupun ia sudah berusaha untuk mencari calon pasangan hidup yang lain, namun hasilnya sia-sia. Tak ada satupun yang cocok menurut Rey. Rey juga tak tahu kenapa. Padahal ia sudah ingin sekali menikah. Baginya, calon istrinya nanti akan mampu untuk mengikis semua kenangannya bersama Airin. Tapi saat ini, entah kenapa setiap wanita yang akan dijodohkan padanya selalu hati kecilnya berkata tidak. Dan saat itulah ingatannya pada Airin semakin kuat. Dan saat itu juga ia tak bisa pungkiri kalau ada harapan kecil di dasar hatinya untuk bisa hidup bersama Airin.

Rey tak tahu pasti kenapa. Namun setiap ia dikenalkan dengan wanita selalu saja ingatannya tentang Airin kembali muncul. Kadang ia sendiri merasa alangkah bodohnya dirinya. Sudah lima tahun berlalu namun ia tak mampu melenyapkan bayangan Airin dari kepalanya. Dan saat ini bukan lagi bayangan, tapi Airin sudah muncul di depannya. Apa yang akan ia lakukan? Bukankah wanita itu sudah menikah?

Airin masih berdiri di depannya. Sesekali dilihatnya seorang anak kecil nampak tertidur lelap di dalam gendongan Airin.

“Apa kabar Rey?”tanya Airin

“Alhamdulillah sehat. Bagaimana denganmu?”

“Seperti yang kau lihat”jawab Airin

Rey kembali diam. Tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.

“Aku pikir kamu tidak mengenaliku lagi”ucap Airin. Rey tersenyum mendengarnya. Ia akui kalau tadi ia memang sempat pangling ketika melihat Airin. Tak banyak memang yang berubah dari Airin. Hanya kaca mata minus itu saja yang sekarang membuatnya sedikit berbeda. Tunggu ada lagi. Ternyata banyak yang berubah dari Airin. Kecuali kaca mata minusnya, Airin sekarang tampil dengan gaun tertutup. Nyaris menutupi seluruh tubuhnya. Tak ada lagi jeans yang dulu sering ia pakai kemana-mana. Jilbab mungilnya kini sudah berganti dengan jilbab lebar. Rey mengalihkan pandangannya ke buku-buku yang tersusun rapi di atas rak toko itu. Airin juga melihat Rey tidak seperti dulu. Rey terlihat lebih kalem sekarang. Pakaiannya yang rapi ditambah rambut klimis dan rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar dagunya membuat Rey terlihat dewasa. Tak ada lagi jeans belel yang dulu jadi kegemarannya. Pun kaos oblong yang selalu melekat di badannya yang kurus. Kini sosok kurus beberapa tahun lalu sudah sedikit lebih berisi, rapi dan wangi. Sesuai dengan profesinya sekarang, dosen. Waktu seolah berjalan lambat saat itu. Suasana begitu hening di tengah bisingnya mall. Keduanya mencoba mengalihkan kebisuan mereka dengan melihat-lihat buku.

***

       “Aku yakin kamu akan datang”kata Rey setalah lama menunggu.

Airin terdiam. Memandangi kabut yang semakin pekat. Seolah berada pada sebuah labirin yang membuatnya tak bisa kemana-mana. Sulit sekali harus memulai dari mana. Ya harus memulai darimana penolakan ayah pada Rey. Ayah punya alasan yang kuat menolak Rey.

“Apa yang bisa kau banggakan darinya?” tanya ayah dengan suara tinggi

“Kami saling mencintai ayah…”

“Bagaimana dengan pekerjaannya? Bagaimana ia akan menafkahimu?”

Pertanyaan yang menohok sampai ke hati Airin. Ya apa pekerjaannya? Apa ia harus jujur mengatakan bahwa Rey belum punya kerjaan tetap? Masih “berencana” membuka sebuah kios kecil. Ya, masih rencana. Oh tuhan…

“Ayah menolak”ucap Airin dengan nada berat

Rey terlihat kaget sekali mendengar ucapan Airin. Dilihatnya Airin yang menyembunyikan tangisnya. Sesuatu yang baginya juga sangat berat. Suasana berubah menjadi sangat dingin. Sedingin hati mereka. Hening dan kaku. Akhirnya walaupun merasa berat Airin menceritakan semuanya. Kalimat demi kalimat mengalir dari mulutnya. Sesekali terdengar tangisnya yang ditahan. Selesai menceritakan semuanya, tak ada tanggapan dari Rey. Hening kembali menyelimuti mereka.

“Jadi bagaimana?”akhirnya Rey buka suara

“Sudah tidak mungkin”jawab Airin

“Ayah itu keras Rey. Sekali ia bilang tidak maka hampir tak ada kemungkinan untuk berubah”

Airin diam. Tak sanggup dia mengatakan apa-apa pada Rey. Apalagi harus mengatakan kalau ayahnya akan memilihkan calon untuknya

“Apa kita tak bisa menunggu?”Tanya Rey

“Sampai kapan?”

Rey kembali diam. Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya. Ya, sampai kapan mereka akan terus menunggu? Sampai semuanya kembali tenang begitu? Sementara Airin saja tak tau sampai kapan, mengapa Rey begitu yakin?

“Aku bisa mencari pekerjaan yang layak Airin. Aku punya ijazah sarjana. Aku yakin aku bisa menemukan pekerjaan yang tepat”

“Kau belum mengenal ayahku Rey. Sekali dia bilang tidak, sulit untuk bisa mengubahnya. Ayahku menolakmu bukan karena kau pengangguran. Tapi ia ingin lelaki yang bisa jadi imam buat anak jadisnya. Jadi….”

“Jadi apa? jadi Imam? Aku juga bisa Airin. Walau shalatku masih berantakan tapi aku bisa kok jadi imam buat kamu. Aku akan banyak belajar lagi Airin”

Bukan sekedar omong kosong. Tapi memang kesungguhan Rey untuk menikahi gadis di depannya itu membuatnya rela melakukan apapun. Apalagi untuk sesuatu yang baik seperti itu.

“Lupakan saja, karena aku akan segera menikah”

Rey kaget. Ucapan Airin menamparnya. Hatinya hancur seketika. Tidak direstui orang tua mungkin ia bisa terima. Tapi ketika mendengar Airin akan menikah? Artinya pupus sudah harapan itu. Ditariknya nafasnya dalam-dalam.

“Suatu saat nanti kamu akan mengerti”ucap Airin

“Sekarang saja aku sudah mengerti”

“Mengerti apa?”Tanya Airin setengah membentak

“Bagaimana bisa ketika kita batal menikah, kamu sudah berpikir untuk menikah dengan orang lain”

“Mungkin dia lebih baik untukku”

Rey tak sanggup berkata-kata. Begitu cepatkah Airin bisa melupakannya? Entahlah, yang jelas semua akan berakhir. Bukan, tak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Tanpa menyisakan sesuatu kecuali luka. Dan luka itu tak bisa sembuh begitu saja, karena ternyata ia menghujam cukup dalam, dan bila pun sembuh, guratnya akan menyisakan bekas yang nyata di hati Rey.

Rey beranjak meninggalkan tempat itu. Semuanya sudah jelas. Tak ada lagi yang diharapkan. Semuanya sudah berakhir sampai di sini. Angin sore membuat luka di hati Rey semakin sakit. Teramat sakit bahkan.

***

Rey masih berdiri di situ. Di antara deretan-deretan buku yang tersusun rapi. Sementara Airin sibuk membenarkan letak anak kecil dalam gendongannya. Mereka ingin bicara. Namun tak tau harus mulai dari mana.

“Sudah punya anak berapa Rey?”Akhirnya Airin yang membuka percakapan. Namun pertanyaan itu kembali membuat Rey diam. Luka itu seolah terbuka kembali karena pertanyaan Airin. Rey tak tau harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. Apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya kalau ia masih sendiri? Dan kesendirian itu karena luka yang pernah ditorehkan Airin. Tidak, ia tidak ingin mengungkit kembali kisah yang ingin dikuburnya itu.

“Rey…kok diam?” Tanya Airin lagi

“Oh..eh…belum punya Airin. A…ku belum punya anak”jawab Rey gugup.

“Allah belum kasi rezeki”lanjut Rey

“Ini anak kamu?”Tanya Rey

“Bukan”jawab Airin sambil tersenyum. Rey menatap Airin dengan tatapan heran

“Ini anak Mbak Wi. Kebetulan aku kesini dengan Mbak Wi. Tapi Mbak Wi sedang belanja”

Rey hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam hatinya. Ia ingin saat-saat ini cepat berakhir. Namun sisi lain hatinya berkata ia masih ingin di sini. Masih banyak yang ingin ia perbicangkan. Tapi terlalu sulit baginya untuk bisa merangkai kata. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Hanya sesekali terdengar perbincangan mereka. Selebihnya hening yang menemani. Rey juga tak tau dari tadi ia ingin mencari buku apa. Hanya membolak-balik dan setelah itu meletakkan buku itu kembali. Mungkin saat itu hanya hati mereka yang bicara. Bicara tentang sesuatu yang mereka rasakan kala itu. Hingga akhirnya Mbak Wi dengan beberapa plastik kresek di tangannya datang menghampiri Airin.

“Yuk kita pulang! Mbak sudah selesai nih”

“Iya mbak”jawab Airin. Namun tak juga ia beranjak dari tempat itu. Tangannya masih asyik membolak-balik buku di depannya. Tak tahu buku apa yang ingin dibelinya.

“Ayo dong. Masa dari tadi belum ketemu juga bukunya”kata Mbak Wi

“Iya mbak…sudah ketemu kok bukunya. Buku ini buku lama. Jadi sulit nyarinya. Untung aja ketemu di sini”

“Rey…!”panggil Mbak Wi dengan rasa ragu begitu melihat Rey

“Kamu Rey kan?”Mbak Wi kembali meyakinkan.

“Iya mbak. Saya Rey”jawab Rey

“Apa kabar kamu?”

“Alhamdulillah, seperti yang mbak lihat”

Mbak Wi sekilas berpaling kea rah Airin dan kemudian tersenyum. Rey tidak tahu apa maksudnya. Sementara Airin begitu bisa membaca gelagat mbaknya itu langsung segera mengajak Mbak Wi pulang.

“Sudah mbak, ayo kita pulang”ajak Airin

“Sudah ketemu sama Rey?”Tanya Mbak Wi

“Sudah mbak….”

Mbak Wi mengemasi semua belanjaan yang tadi sempat diletakkannya di lantai. Ada sesuatu yang aneh dalam hati Rey. Ia berharap Airin tidak buru-buru pulang. Tapi..ah, sudahlah. Apa yang ingin dilakukannya. Tidak mungkin ia merusak segala sesuatunya. Airin sudah bahagia dengan pasangannya. Seharusnya ia bisa melupakan Airin dan membiarkan pertemuan ini berakhir sampai disini.

“Rey aku duluan ya”ucap Airin disertai dengan senyuman mbak Wi

“Iya, silakan”

Rey melihat kepergian mereka. Jilbab biru Airin melambai-lambai padanya. Sementara Airin juga merasakan hal yang sama. Masih banyak rasanya yang ingin disampaikannya pada Rei. Tapi…,sudahlah. Airin juga tidak ingin merusak segala sesuatunya. Rey pasti sudah bahagia dengan pasangannya. Airin teringat bagaimana ayahnya ketika itu akhirnya menyerahkan semuanya kepada Airin. Tapi semua itu sudah terlambat. Rey sudah pergi tak tahu entah kemana.

“Berhenti Rey… . Aku ingin mengatakan sesuatu. tidak ada pernikahan. Tidak ada pernikah setelah kamu pergi. Semuanya berakhir sampai waktu itu. Dan sampai saat ini aku masih sendiri. Karena ketika itu aku berharap kamu akan kembali” jerit hati Airin

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ian Hachiro adalah nama pena dari Saftian Cahyadi Hsb. Putra asli Tanjung Balai. Hachiro adalah bahasa Jepang yang berarti anak kedelapan , yang memang menunjukkan beliau adalah anak ke delapan dari sebelas bersaudara. Sementara Ian adalah nama panggilan sehari-hari. Hobby menulis sudah ditekuninya dari mulai Sekolah Dasar. Sampai kini hobby itu tetap selalu ia lakukan. Mimpi yang tak pernah lekang dari hidupnya adalah ketika ia berdiri di depan ratusan orang dengan sebuah buku di tangannya, dan pada bagian atas buku tertulis nama penulis buku itu : Ian Hachiro.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization