Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Cinta, Bersabarlah…

Cinta, Bersabarlah…

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sabtu pagi. Gerimis masih menampakkan eksistensinya sedari penghujung malam tadi, berjatuhan dengan intonasi yang terarah dan indah. Sesekali semilir bayu melintas dari arah kebun pisang, menyapa dengan kelembutannya, memberi sensasi ketenangan pada hati yang meringkuk sepi. Kunikmati, dengan terus menarikan jemari di atas keyboard laptop, sesekali menatap layar hp, menunggu balasan SMS dari dhek Pipit yang merengek memintaku pulang minggu depan.

Hp-ku bergetar, 1 pesan masuk. Pikirku dari pipit, kuharap ia mau mengerti bahwa aku belum bisa pulang karena tugas kuliahku yang menumpuk setelah beberapa hari ini sibuk UTS.

Assalamu’alaykum ukhti shalihah, apa kabar? Ada ikhwan yang mau ta’aruf sama anti, bersediakah? Demikian isi sms-nya. Ternyata bukan dari Pipit, melainkan dari ukhti Desti, saudariku di LDK.

Aku diam, menghela nafas panjang.

Lama tak kubalas SMS itu, banyak pikiran yang memenuhi kepalaku. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan sebelum aku memutuskan ya atau tidak.

Ta’aruf? Serasa menjadi cerita horror bagiku. Berat … karena ini adalah kali ketiga dan dua kali sebelumnya aku dengan tegas menolak sebelum aku melihat proposal ta’aruf itu, bahkan yang pertama aku belum tau siapa ikhwan tersebut, sampai sekarang. Dan apakah aku akan mengulangi hal ini lagi? Tidakkah terlalu angkuh? Tapi sungguh hati ini masih enggan memberi ruang pada ikhwan untuk menyentuhnya, masih terlalu keras untuk dibuka, masih ingin menyimpannya rapat-rapat hingga aku menemukan jawab penantian dari-Nya tentang pengharapanku pada seseorang yang pernah menyentuh hatiku 1 tahun lalu. Ya Rabb … tunjuki aku jalan petunjukmu, jangan sampai aku salah menentukan.

Aku masih terpaku … memainkan sendi-sendi pemikiranku dalam dimensi yang abstrak, mengarak pada sudut keegoisanku dan menekankan pada satu kata “TIDAK”. Tapi aku masih saja galau, belum bisa memberikan jawaban SMS ukhti Desti. Egoiskah aku jika langsung menolak sebelum tau siapa sosok ikhwan itu? Sombongkah aku ya Rabb? Tak terasa, titik bening ini keluar dari sudut mataku, menangis oleh jerat ketakmampuanku menentukan pilihan ini. Jantungku berdegup kencang, berintonasi tak terarah, sesakkan dada. Bulir bening ini terasa kian deras mengalir di sudut mataku.

Astaghfirullahal’adzim … sejatinya apa yang membuatku menangis seperti ini ya Rabb? Bukankah ini hanya sekadar ta’aruf dan aku masih punya kesempatan untuk menolak setelah proses ini? Lantas kenapa aku sampai tersedu seperti ini?

Karena Faiz kah? Tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di bilik hatiku.

Perih … karena dia yang kuharap datang untuk menempati ruang terindah hatiku, karena dia yang kuharapkan mengikat janji suci untuk menjadi imamku dalam memenuhi separuh agamaku. Karena dia yang kunanti untuk mendidikku agar aku menjadi muslimah tangguh, karena dia … yang pertama meyentuh hatiku, meski mungkin bukan cinta suci, melainkan hanya kesemuan yang terkontaminasi oleh nafsu.

Ya Rabb … apakah aku harus menghubungi akhi Faiz untuk mendapat kepastian? Kepastian? Siapa dia? Jangan ngacau Rhen!!!! ini akan menjatuhkan izzahmu sebagai seorang akhwat!!!! bentakku pada diriku sendiri.

Gejolak-gejolak pertentangan semakin kuat dalam diriku. Dua kutub yang berseberangan saling menguatkan argument masing-masing, berbenturan dan mengeruhkan pemikiranku. Tak lama kemudian, kuputuskan untuk memberi tahu akhi Faiz. Semoga ini akan memberi titik terang meski kusadari sangat tidak akhsan.

Assalamu’alaykum. Akhi, 2 jam lalu ada saudari yg sms ana, memberi tahu kalau ada ikhwan yang ingin ta’aruf dg ana. Jika ana menerima, apa anta tidak apa-apa? Ku kirim. Dengan segala konsekuensi yang harus aku hadapi. Bukan saja jawaban yang mungkin tak sesuai dengan harapku, tapi juga menanggung malu dan bersiap menghadapi sikap tegas akhi Faiz terhadapku, karena selama ini dia memang sangat tegas dalam hal ini.

Ba’da dhuhur aku baru mendapat balasan dari akhi Faiz,

Tafadhol, its ur life n ur choice.

Tak kuasa kubaca sms itu, aku semakin terisak. Inikah isyarat bahwa aku tak boleh berharap padanya dan harus menanggalkan mimpi untuk jadi makmumnya? Berat untuk kuterima!

Selang satu jam lebih, akhirnya aku membalas SMS ukhti Desti, meski dalam hati ini belum ada kemantapan dan cenderung dipenuhi oleh emosi atas kekecewaanku terhadap jawaban SMS akhi Faiz.

Silakan hubungi Ustadzah Hani, beliau Murabbiyah ana di Rumah. Ini nomor hp-nya 081327XXXXXX.

apa itu berarti anti bersedia ukh? Balas ukhti Desti.

Biar murabbiyah ana yang mengurus. Jawabku singkat. 

***

Kusandarkan tubuhku di dekat pintu menuju teritis depan, menerawang tarian dedaunan pisang di kebun depan kost. Hambar … terbudaki oleh tatapan kosong dan pikiran tak beraturan.

“Anti sakit ukh?” Tanya ukhti Reva yang melintas disampingku.

Aku hanya membalas dengan gelengan kepala dan senyum, enggan rasanya mulut ini untuk bertutur. Aku ingin diam, menikmati rasa perihku sendiri dan belajar menerjemahnya dengan kedewasaan.

“Ukh?” Ukhti Reva yang sudah duduk disampingku kembali menegaskan pertanyaannya.

Aku diam, terpaku. Menahan isak tangis agar tak nampak oleh ukhti Reva. Tapi tak berhasil, ukhti Reva bisa membaca tempias titis air muka sedihku.

“Anti kenapa? Katakan ukh, jangan simpan sendiri jika itu membuatmu terbebani,” pinta ukhti Reva. Aku menatapnya, lekat. “ Ada yang mengajukan ta’aruf lagi ke ana ukh,” aku terisak. “Barakallahu fik yaa ukhti, tapi kenapa anti malah sedih?” “ana masih belum ingin …” jawabku singkat.

Aku semakin terisak di samping ukhti Reva, aku tak mampu lagi menyimpan ini semua. Bersama isak tangis, ku ceritakan semuanya, termasuk tentang akhi Faiz.

“Jangan gegabah mengambil keputusan ukh. Istikharah dulu, minta petunjuk sama Allah,” gumam ukh Reva dengan kelembutannya.

Aku mengangguk, menyeka bulir tangis yang tak juga berhenti. Selepas itu, aku beranjak dari dudukku, mengambil air wudhu dan tilawah, membuka sembarang ayat dan memahami terjemahnya, berharap Allah memberi ketenangan pada jiwa gundah ini.

***

Minggu pagi. Hp-ku bergetar, panggilan masuk dari ustadzah Hani. Sudah bisa kutebak, pasti akan membahas soal ta’aruf.

“Assalamu’alaykum, Umi,” aku membuka dengan salam. “Wa’alaykum salam, apa kabar Rhen?” balas ustadzah Hani dari seberang sana. “Alhamdulillah baik Mi, Umi apa kabar?” “Alhamdulillah baik juga. Begini Rhen, ada hal penting yang ingin Umi sampaikan ke Anti.” “Iya Mi, Rhen sudah bisa menebak. Soal ta’arufkan?” “Iya, semalam ada ikhwan yang telepon umi, mengutarakan niatnya untuk ta’aruf dengan anti, gimana? Anti bersedia?”

Aku diam sejenak, menghela nafas yang terasa sesak, menahan tangis yang mulai menitik.

“Rhen? Kok diam?” “Oh, afwan Mi. Kalau boleh tau, siapa ya ikhwan tersebut?” “Akhi Ikhsan dari Universitas X. Anti Sudah kenalkan?” “mmm … iya Mi, sekedar tau dan pernah diskusi dalam forum besar di FB, terbatas itu saja, belum pernah diskusi berdua.”

Ustadzah Hani mulai menjelaskan, mulai dari latar belakang Akhi Ikhsan, alasan ia mengajukan ta’aruf denganku sampai pada maisyah dan lain-lain. Cukup jelas.

“Gimana Rhen? Anti bersedia melanjutkan ta’aruf ini?” “Gimana ya Mi? hati Rhen cenderung berkata tidak. Emmm … kasih Rhena Waktu untuk Istikharah dulu,” jawabku datar. “iya … beliau kasih waktu satu minggu, dan kalau Anti bersedia, nanti Umi minta tolong murabbiyah anti di kampus agar proses lebih mudah.” “Oke deh. Afwan Mi, udah jam delapan, Rhen harus Liqo.” “iya, tetap semangat ya! Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumsalam.”

Sebenarnya ingin kusampaikan pada ustadzah Hani mengenai akhi Faiz, tapi tak sampai hati rasanya, aku takut. Tak pantas aku menceritakan kepada beliau tentang rasaku ke akh Faiz, rasaku ini sebuah kesalahan besar karena hadir sebelum waktunya.

Rabbi .. Sungguh kehadiran seseorang itu untuk ta’aruf denganku justru menghidupkan rasaku terhadap Faiz yang telah aku matikan selama hampir setahun ini. Aku kembali mengingatnya, jelas, dalam anganku yang melambung tinggi. Rasa itu menggetar dahsyat, mengaliri sudut-sudut pengharapan yang telah aku lupakan.

Aku mencintainya ya Allah, meski aku belum mampu menerjemah inikah hakikat cinta yang Engkau anugerahkan atau hanya sekadar nafsu-ku.

***

Ba’da magrib, selepas aku tilawah. Aku buka fb, iseng intip-intip profil faiz, baca postingan status dia. Innalillahi, dia sakit. Aku kembali menangis, deras … ya Allah … dia sakit karena aku kah? Oh tidak, dia bukan sakit karena mendengar ada yang mengajukan ta’aruf ke aku, tidak !!! dia bukan tipe orang seperti itu, bukan, bukan karena itu!!!! Hatiku memekik keras, berusaha meyakinkan diri.

Aku tetap tak bisa tenang mendengar Faiz sakit, aku beranikan diri sms dia, tak peduli tanggapan dia, aku harus tau kondisi dia.

Akhi, apa anta sakit gara-gara sms Rhen kemarin siang? syafakallah. Ku kirim sms itu ke nomor yang tidak pernah aku simpan di hp-ku.

Lama aku menunggu, ba’da ‘isya baru aku mendapat balasan.

Bukan, bukan karena itu. Singkat, hanya itu jawaban dari faiz.

Bukannya hatiku lega, tapi semakin tak karuan, entahlah, aku tak puas atas jawaban sms faiz, seolah bukan itu yang aku mau. Tangisku kian deras saja, aku tak mampu mengendalikan diriku.

Sms terus berlanjut, semalaman aku tak tidur, terus menarikan jemari diatas keypad untuk membalas sms Faiz, tentunya masih dengan air mata yang terus mengalir deras, sesakkan dada. Allah … benarkah ini cinta????

Hp-ku kembali bergetar, 1 pesan masuk. pukul 01.28 am.

Anti harus jadi Rhen yang kuat, yang tegar, jangan rapuh. Anti luar biasa, maka akan dapatkan yang luar biasa pula dari Allah. Maafkan saya atas sikap saya selama ini ke anti. Jika masih ada uneg-uneg sampaikan, biar nanti setelah anti menikah tak ada lagi ganjalan yang tersisa. Kelak jika anti sudah jadi istri orang kita tidak akan mungkin bertengkar seperti ini. Maafkan saya Rhen, jaga kesehatan, tetap semangat. 

Ya Allah … aku semakin tak kuat,, isakku semakin keras. aku semakin mendamba ia jadi imamku ya Allah.

Maafkan sikap rhen juga, maaf yang sering melukai. Gak ada, jaga kesehatan anta, jangan bandel, makannya yang rajin, jangan terlalu kecapean, anta gak boleh sakit lagi. Tidak, Rhen tidak akan menikah sama dia, Rhen gak mau … 

Aku terus terisak, perih. Allah, Rhen hanya mencintai Faiz, cukup dia yang pertama dan terakhir, biarkan dia yang jadi imam untukku menuju jannah-Mu. Salahkah aku ya Rabb? Mengingkari takdirkah itu? Sungguh, aku begitu mendambanya.

Perlahan kuseka bulir air mata yang terus mengalir sampai lengan piama putih-ku basah kuyup, aku bangun dari pembaringan, mengambil air wudhu, dingin, mengaliri muka dan tangan yang terasa begitu panas.

Dalam sujud panjang istikharahku, aku terisak. Lirih, membisik di antara rasa ngilu yang mulai memenuhi ruang kepalaku. Pada-Nya ku bertutur, tentang segala resah atas rasa ini. Memohon penuh harap agar dipilihkan jalan yang terbaik untukku tempuh. Lemah … aku mengadu, meminta secercah kekuatan. Lama aku tersungkur di atas sajadah biru, menahan rasa ngilu di kepalaku yang kian menjadi.

Hp-ku kembali bergetar, 1 pesan masuk. Pukul 04.05 am.

Maafkan saya yang sampai saat ini belum bisa menentukan sikap, tapi 1 hal yang harus anti tau saya menyayangi anti.

Seketika tubuh ini lemas, bulir air mata yang sempat mereda kini kembali mengalir deras. Ya Allah inikah jawab atas istikharahku selama 2 hari ini? Inikah petunjukmu atas pilihan yang harus kutempuh?

Lama tak ku balas itu sms, jemari ini masih terasa lemas untuk menari di atas keypad, otak ini masih belum mampu bekerja, terperangkap dalam ketakpercayaan atas sms yang baru saja aku baca. Tapi setidaknya hati ini lega. Aku menemukan kemantapan atas pilihanku. Aku yakin untuk menolak tawaran ta’aruf itu.

:’(. Hanya ekspresi itu yang aku kirim ke Faiz. Tapi bukan lagi tangis pilu seperti malam tadi.

Lama aku tunggu, sampai subuh Faiz tak lagi membalas sms-ku. Selesai shalat subuh aku langsung sms ustadzah Hani, tanpa basa-basi.

Assalamu’alaykum ummi. Bismillah, dengan segala pertimbangan Rhen mantap menolak tawaran ta’aruf itu. Hanya itu yang aku sampaikan ke Ustadzah Hani. Tak lama kemudian hp-ku bergetar, satu panggilan masuk, dari ustadzah Hani.

“Assalamu’alaykum umi,” sapaku lirih. “Wa’alaykumsalam, kok lemes Rhen? Sakit?” tanya ustadzah Hani. “Enggak kok,” jawabku. “anti yakin atas keputusan anti? Benar-benar sudah dipertimbangkan?” tanya ustadzah Hani. “insyaAllah umi, Rhen mantap.” “baiklah, nanti ummi sampaikan ke beliau.” “terimakasih ummi, sudah ya, rhen mau istirahat, Assalamu’alaykum.” “wa’alaykumsalam warahmatullah”.

Aku letakkan hp di lantai, dan merebahkan tubuh. Ada seberkas bayang yang belum mampu memudar, tergores sangat jelas dalam dinding hatiku. Ya … Faiz!!! Ingin rasanya kusampaikan kalau aku ingin menunggunya.

Akhi … kembali ku kirim sms ke faiz. Ada apa? Saya mau siap-siap balik. Jawab sms Faiz

Aku menghela nafas, mengurungkan niatku. Kuletakkan hp, memejamkan mata. Jaga ia dalam perjalanannya ke medan juang ya Allah. Bisikku lirih.

Ya Allah | Dalam diamku | Ijinkan aku untuk menunggu | Biarkan aku menanti | Hingga tiba masa untuk jalani | Jaga hatiku agar sanggup bertahan dalam penantian ini | Dan kuatkan, jika memang engkau takdirkan untuk tak bersama.

Pertemukan kami dalam jannah-Mu ya Allah ….

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Sosok biasa yang terus belajar untuk menjadi luar biasa, karena-Nya ...

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization