Saat Aku Ditanya

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – “Apa Manhajmu? Sehingga kamu berani mengajakku mengikuti Halaqoh?”

Jegleg bagai di Ketuk kepala ini secara tiba-tiba.

Dengan tenang Aku pun menjawab

“Yang ana lihat anti rajin, dari penampilan juga sepertinya anti sudah pernah ikut Halaqah. jadi ana pikir tidak ada salahnya ana mengajak anti bersama ana mengikuti Halaqah. Dan afwan, setahu ana dalam Halaqah tidak pernah ditanya manhajnya..kami menghormati semua imam. Dan tujuan kami bukan untuk membedakan tapi untuk menyatu dalam lingkar dakwah bersama-sama. Afwan kalau anti keberatan”

“……….” hanya senyum saja yang menyungging di bibir manisnya. Indah sekali senyuman itu.

” Ini nomer ana. Siapa tahu anti nanti berubah pikiran. Jazakillah. Assalamu’alaikum” Sambil melangkah pergi bibir ini komat-kamit bergumam semoga saja Zahra mau mengikutinya.

“Wa’alaikumsalam” Jawabnya

Sampai di sana pertemuan kami. Sebenarnya Aku sudah lama menunggu perjumpaan dengannya, hampir sepekan. Aku yang terpesona dengan penampilanya, mencolok di antara yang lainya, dia berbeda, tapi dia sepertiku. Ucap syukur berkali-kali karena menemukan kawan seperjuangan di sini. Siapa yang akan menyangka di tempat seperti ini dengan mayoritas penghuninya anak muda gaul akan kujumpai seorang akhwat berpenampilan tertutup. Bahkan aku sempat minder ketika pertama kali masuk area kerja ini, ramai orang melihatku. Ya pakaian seperti ini yang sudah kuanggap biasa di negeri seberang, Malaysia ternyata menjadi sesuatu yang baru di tempat ini.

Ah hampir saja aku menangis mengingat kawan-kawan seperjuangan dakwahku di sana. Rindu sungguh.. Satu tahun berkecimpung di dunia Tarbiyah bersama mereka membuatku kesepian di sini, bukan karena tidak ada teman, banyak sekali teman, tapi teman seperjuangan seperti mereka yang ada di negeri seberang sana belum kujumpai lagi.

Kembali ke akhwat tadi. Namanya Zahra, cantik seperti paras mukanya, itupun baru kuketahui setelah dua kali kami berjumpa di surau tempat kami bekerja. Yang kutahu dia baru saja menyelesaikan sekolahnya di jenjang SMA, jadi tak heran kalau tingkah lakunya masih agak polos, sekaligus membuatku terkejut dengan pertanyaanya itu. Siapa yang mengira dia akan mengajukan pertanyaan sperti itu. Dia seolah ingin mengetahui apakah aku sepaham dengannya atau tidak. Tentu saja tidak serta-merta kujawab apalagi itu masalah keyakinan, bagiku itu tak begitu penting karena yang paling penting itu bagaimana ketakwaan kita terhadap Yang Maha pemberi Hidup.

Lambat tapi pasti mulai kudekati Zahra, mulai dari pesan singkat sampai inbox di Facebook, sepertinya dia mulai tertarik dengan ajakanku. Bismillah semoga saja Zahra mau bergabung bersama dalam halaqoh nanti.

Ketika hati ini merasa kering akan ilmu yang tak kunjung diisi, seperti tanaman dalam pot yang selama satu bulan tak disiram. Sudah hampir mati mungkin. Ingin sekali kembali ke tanah Melayu bersama mereka, tapi mungkin aku lupa kalau aku punya adik-adik di sini yang harus kuberi semangat, mereka para pejuang kecil, sahabat kecilku, bukan hanya satu dua tapi berpuluh-puluh jumlahnya, semangat mereka luar biasa bahkan semangatnya mengalahkanku. Ya mereka sekarang temanku, walaupun lelah kurasa, tapi setiap pulang kerja aku akan sempatkan walau sejenak singgah di Masjid menyapa mereka. Mengajak bermain, bercanda sambil menimba ilmu agama.

TPQ Al-Aslah, di sana aku mengajar mengaji, satu dusun terbilang banyak, ada sekitar 70 anak yang mengaji setiap sore sehabis ashar, dan pastinya aku akan terlambat setengah jam ketika sampai di Masjid karena Pengajian dimulai jam 4 sore. Perjalanan 20 menit mengharuskanku mempercepat menjadi 10 menit, sepanjang jalan kuiringi dengan shalawat agar ketenangan menyelimuti walau melaju dengan sepeda motor menggunakan kecepatan tinggi.

Sering kali meminta maaf karena terpaksa pulang larut dan tak bisa menyapa adik-adik di Masjid. Kasian sekali mereka,dengan jumlah yang luar biasa dan tenaga pengajar yang sama sekali tak memadai. Semoga suatu saat nanti bisa membenahi Adik-adik binaan kami ini. Dan juga bisa mengajak kawan-kawan seperjuangan melangkah bersama.

Orang kampungku terbilang masih mempercayakan anak-anak mereka di TPQ dalam hal menuntut ilmu keagamaan, setelah sekolah formal mereka di tingkat dasar. Karena mereka percaya anak mereka menjadi lebih terarah sikap dan tingkah lakunya. Hal itu bisa dipahami di zaman semodern ini. Dengan adanya TPQ maka anak-anak akan menjadi lebih mengetahui tentang Agama.

Sore hari menjelang jam pulang kerja.

Sudah kesekian kalinya aku melihat jam di pergelangan tangan kiriku. Ahh sudah jam 16.15 sore. Berpikir apa sempat pulang sbelum jam setengah lima? mungkin saja bisa.

“Mana Mr. JJ?”

Batinku kali ini mencari sambil kepala melongok-longok, aku yang sedang gelisah mencoba menenangkan diri lewat gerakan tangan mengetuk-ngetuk meja, kebiasaaan lama. Menyebabkan rekan kerjaku menatap tajam.

“Ah itu dia” Aku berdiri menyambut kedatangannya.

“Mr.Jung.. I’m Go home ya…” pamit ku pada Mr. JJ

“Ah ya..Go home” Jawabnya singkat

Sikap membungkuk tanda hormat berpamitan pun kulakukan. Lalu dibalas anggukan olehnya. Begitulah cara kami saling memberi hormat. Maklum karena dia berkewarganegaraan Korea. Tapi Mereka mengajariku untuk menghormati bukan hanya kepada orang yang lebih tua,tapi kepada mereka yang lebih muda pun demikian. Terkadang Mr. JJ yang mengetahui kalau kami muslim dia mencoba menirukan salam kami

“aaaaiiiikuuuummm”

“Morning…”

Cukup ceperti itu aku jawabnya. Toleransi yang cukup tinggi kurasa.

Baru beberapa langkah keluar dari kantor, HPku sudah berbunyi, tak buru-buru kubuka, karena biasanya dari operator atau kalau tidak dari kakakku. Aku mengejar waktu Ashar yang belum terlaksana, kewajiban sebagai seorang muslim. Ya aku belum Shalat, buru-buru aku melangkah menuju Mushalla, tapi setiba di depan pos jaga, seseorang memanggilku dengan sebutan Betty. Entahlah mungkin karna aku berkacamata. Julukan baru.

“Betty mau kemana?” Teriaknya dari pos, yang rupanya itu adalah Pak Agus

“Mau pulang Pak” Jawabku sambil berjalan tanpa menatapnya.

“Kok ke arah sana?” Karena melihatku berlawanan arah dengan jalan pulang

“Iya Pak.. Saya mau ke Mushalla dulu.. mari Pak”

Tanpa banyak jeda lagi akupun melanjutkan ritual wajib ini…alhamdulillah sejuk sudah hati ini. Lalu kulirik lagi Jam di pergelangan tangan.

“Astaghfirullah sudah jam segini aku harus cepat-cepat”

Alhamdulillah jalanan sepi jadi bisa lebih kencang melaju. Tak sampai 10 menit sudah sampai di pelataran Masjid. Terlihat beberapa anak sudah mengaji. Mereka sudah asyik bermain bersama kawan-kawannya, sedangkan bagi mereka yang belum mendapat giliran mereka masih harus mengantri di depan Ammahnya (Kakak) yang mengajar. Terlihat raut wajah anteng. Itu peraturannya, siapa yang paling anteng dia yang akan mendapat giliran mengaji terlebih dahulu. Setibanya di depan pintu Masjid aku mengucapkan salam

“Assalamu’alaikum Adik-adik…” Sapaku dengan senyum menghiasi wajah lelahku

“Wa’alaikumsalam Ammah Jannah. Ammah…mau ngajiiiii” Ada salah satu adik yang sudah akrab denganku langsung memeluk dan minta mengaji, Muthi itu panggilan adik-adik padaku.

“Iya sabar ya sayang…. duduk dulu ya. Nanti ngaji kok” ucapku smbil mengelus kepalanya yang dibalut jilbab merah jambu.

Ternyata subhanallah semangat adik-adik kecilku ini. Setiap hari ada saja yang baru.. Tingkah mereka terkadang melelahkan tapi wajar karena sebagian besar dari mereka masih terbilang dini.. Ah senangnya hati ini. Rasa lelah yang sedari tadi bersarang kini berkurang setelah melihat senyum adik-adik kecil nan ceria ini.

Ketika semangat ini mulai menurun aku akan kembali menatap gambar mereka dalam cermin HPku. Sedikit mengobati kerinduan pada Tarbiyah yang lama tertunda. Ah aku teringat lagi pada Zahra, kemana gerangan ia selama sepekan ini? Aku coba mengirim pesan ke nomernya tidak ada balasan sama sekali. Lalu kucoba membuka facebook ternyata ada sebuah pesan darinya.

“Wa’alaikumsalam ukhti.. Afwan baru membalas pesan anti. Sudah seminggu ini ana tidak bekerja karna setelah ana kerja di sana ana merasa kurang sreg. Setiap hari terpaksa pulang malam, dan Ibu ana kurang setuju ana bekerja di sana. Mengenai ajakan anti mengikuti halaqah ana mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena ana dalam waktu dekat ini akan menikah dengan seorang pria pilihan orang tua Ana.. Jazakillah untuk perhatian Anti selama ini, semoga Allah tetap menghadirkan semangat pada Anti untuk merajut di jalan dakwah-Nya. Afwan.”

­__ZahratuNissa__’

Dan akhirnya pertanyaan Zahra itu berakhir sampai di sini,, mungkin nanti akan ku balas inboxnya itu. Bukan sekarang.

………………….

“Assalamu’alaikum Ukhti Muthmainah. Insya Allah Sabtu ini Anti bisa mulai halaqah di Tempat dua hari yang lalu saya kasih tau. Insya Allah bersama Murobbi anti namanya Bu Indri.”

Alhamdulillah ternyata pesan yang sedari tadi siang aku hiraukan adalah sebuah pesan dari pusat yang mengabarkan kalau aku sudah bisa memulai lagi Tarbiyah di lingkungan sendiri.

Segera saja kubalas tanpa menunggu lagi

“Wa’alaikumsalam Bu, insya Allah datang di tempat, Jazakillah infonya”

Alhamdulillah.. serasa mendapat hujan si padang yang tandus. Allah selalu menghadirkan kesejukkan di tengah panasnya kehidupan. Sehari lagi aku akan memulai sebuah rutinitas yang sangat kurindui. Mulai kupersiapkan lagi segalanya. Termasuk agenda tarbiyah yang sudah lama kosong tak terisi materi dakwah. Aku tak sendiri. Allah saja menjanjikan surga itu luas jadi bagaimana mungkin Allah akan membiarkan hamba-Nya sendirian di dalam memperjuangkan agama-Nya. Belum seberapa memang jika dibandingkan dengan perjuangan para Sahabat dan Sahabiyah di jaman Nabi SAW. Semoga Allah meridhai jalan dakwahku ini. Aamiin

“Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan” QS. Ar-Rahman.

 

�Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya�. (QS. 91: 1-6)
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...