Bahagia Bukanlah Simbol

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Betapa tidak mudahnya seseorang menjadi bahagia kala diartikan sebagai sebuah simbol dengan menjadikan materi, kemewahan, pangkat golongan, status sosial sebagai simbol kebahagiaan.

Secara tidak sadar pola pikirnya sudah terbebani untuk mengejar segala jenis simbol yang sudah melekat padanya, sehingga ketika suata saat simbol-simbol itu gagal didapat ia akan menjadi kecewa bahkan putus asa seolah-olah hanya dengan meninggikan simbol saja kebahagiaan itu bisa diraihnya.

Memang ada benarnya kalau materi, kedudukan dan simbol lainnya bisa membawa seseorang menjadi bahagia, apalagi ada pepatah mengatakan apapun masalahnya dengan uang segala urusan bisa menjadi lancar, dengan kedudukan masalah bisa cepat teratasi, akan tetapi ada hal yang perlu diketahui bahwa simbol-simbol tersebut tidak melulu menjadikan seseorang lantas berbahagia, karena materi dan kedudukan seseorang di dunia sejatinya tidak akan dibawa ke alam kubur, apalah arti sebuah simbol kalau dirinya masih jauh dari Tuhan, berbeda halnya kalau simbol tersebut digunakan untuk kebaikan pada diri dan sesama.

Kebiasaan orang yang meninggikan simbol tanpa esensi biasanya akan menganggap rendah dan memandang sebelah mata kepada orang yang hidup tanpa simbol kebahagiaan, mereka hanya akan menghormati orang-orang yang berharta, berpangkat dan mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat. Padahal sebagaimana kita ketahui kemuliaan seseorang dilihat dari ketakwaan bukan pada selainnya.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS : Al Hujuraat ayat 13)

Inilah fenomena yang berkembang di masyarakat masa lalu maupun modern, banyak orang mengejar kebahagiaan dengan cara yang sulit, padahal ada yang lebih penting untuk diperhatikan yaitu esensi bahagia.

Dengan menyederhanakan pola pikir dan pola hidup niscaya seseorang tidak akan jatuh ke dalam kesalahan berpikir, karena siapa saja pada dasarnya bisa berbahagia dengan mudah. Kenapa demikian?

Karena bahagia bukan hanya milik orang-orang elit saja, melainkan mereka dari kalangan menengah dan kalangan bawahpun bisa merasakan hal yang sama,orang-orang yang tak memiliki pangkat, jabatan bahkan status sosialpun tetap bisa merasakan kebahagiaan.

Kita tentu pernah mendengar kisah seseorang yang bekerja dengan penghasilan besar setiap bulannya, akan tetapi waktu, tenaga dan pikirannya lebih menguasai dirinya. Sebagian besar waktunya habis terpakai untuk mencari materi, sedangkan sedikit sekali waktu berkumpul dengan anak dan isterinya, tiada kehangatan yang bisa dirasakan kecuali pada waktu-waktu tertentu, bahkan tak jarang sang anak seperti kehilangan kasih sayang dari para orangtua yang super sibuk dengan urusan-urusan dunia.

Waktu emas sang anak habis dengan orang lain, alhasil anakpun menjadi lebih dekat dengan pengasuh atau orang yang mengurusinya sejak kecil daripada dengan orangtuanya, fenomena ini banyak sekali terjadi di sekitar kita tentunya.

Fenomena lain adalah saat seseorang hidup dengan penghasilan besar setiap bulannya ternyata rumah tangganya tidak harmonis, Bahkan tak jarang dari mereka akhirnya harus hidup berpisah karena memilih bercerai dan menjalani hidup masing-masing. Apakah materi dan status sosial belum cukup untuk membahagiakannya!?

Lalu bagaimana dengan para pedagang kaki lima, petani, nelayan atau orang-orang pinggiran yang berpenghasilan tidak tetap, terkadang rezeki yang didapat hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Adakah mereka mendapat kebahagiaan? Jawabannya tentu ada.

Kondisi ekonomi yang kurang mengijinkan bukanlah menjadi alasan bagi seseorang untuk terhalang merasakan manisnya kehidupan, selama ia bersabar, tetap berikhtiar, menjaga dirinya dari kemaksiatan dan selalu bersyukur atas pemberian dari Tuhannya kendati sedikit maka selama itu pula Allah Ta’ala akan membimbingnya kepada kebahagiaan yang hakiki.

Bahkan tak jarang kita menemukan orang-orang menengah ke bawah yang berhati mulia, ia senantiasa memakan makanan yang halal, berkata baik kepada sesama, ringan dalam membantu orang lain yang kesulitan, membantu sesama tanpa pamrih, wajahnya penuh keceriaan setiap kali bertemu dengan lawan bicaranya walau ia sedang berada di tengah himpitan ekonomi. Keadaan yang sulit tidak serta merta menjadikannya melarat dan lupa akan Tuhannya yang selalu mengawasinya untuk terus menjaga diri dari perbuatan yang menghinakan diri.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami, Allah Ta’ala senantiasa memuji segala jerih payah dan rezeki yang didapat seorang hamba dari cara yang halal.

Sesungguhnya Allah ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal

Dalam hadits lain diterangkan tentang keutamaan jerih payah dalam mencari rezeki yang halal.

  • “Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah”. (HR. Ahmad)
  • Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri.” (HR. Bukhari)
  • “Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku)”. (HR. Asy Syihaab)
  • Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya.” (HR. Ath Thusi)
  • “Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan.” (HR. Al Bazzar dan Ahmad)
  • “Sebaik-baik mata pencaharian adalah hasil keterampilan tangan seorang buruh (pekerja) apabila dia jujur (ikhlas).” (HR. Ahmad)

Duhai jiwa yang merindukan kebahagiaan.

Berbahagialah dengan mudah, sederhanakan pola hidup dan pikir anda, usahlah anda bersusah payah untuk meninggikan simbol, yang harus anda lakukan adalah mengejar esensi bahagia karena sesungguhnya Allah Ta’ala yang memberikan rezeki kepada setiap makhluk dan rezeki-Nya amatlah luas, rezeki-Nya tidak saja sebatas materi atau uang melimpah, pangkat atau jabatan, melainkan bisa juga berupa nikmat-nikmat berharga sebagai sebuah esensi yang membuat anda begitu bahagia hidup di dunia, di antaranya :

  1. Hidayah
  2. Ketenangan hati
  3. Kelapangan dada
  4. Kesehatan jiwa dan raga
  5. Keadaan menyenangkan
  6. Waktu luang
  7. Jiwa yang kaya karena senantiasa merasa cukup
  8. Keturunan yang soleh dan solehah
  9. Lingkungan yang baik
  10. Kehidupan yang layak
  11. Menantu dan mertua yang bijak
  12. Jodoh idaman
  13. Sikap optimis
  14. Semangat menjalani kehidupan
  15. Selalu berpikir positif (husnudzan)

Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...