Topic
Home / Pemuda / Essay / Untuk Engkau si Perenda Peradaban

Untuk Engkau si Perenda Peradaban

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

sumpah pemudadakwatuna.com – Dini hari ini, baru saja aku terbangun dari mimpi, nafasku masih tersenggal-senggal, dan seluruh tubuh tuaku menjadi dingin beku, mimpi itu masih seperti nyata di pelupuk mata, kupukulkan tangan pada dua pipi agar tersadar bahwa semuanya hanya sebuah mimpi.

Pemuda, beberapa menit lalu dalam mimpiku, aku bertemu dengan dua pemuda pembesar, Shalahuddin Al-Ayyubi dan Imaduddin Zanky dalam kecamuk perang dunia yang begitu dahsyat, di sana aku seperti pengecut yang begitu takut, hatiku kalut dan jantungku semakin kencang berdegup, aku tak sanggup dg keadaan yg tiba-tiba begitu menggila, aku terkejut dengan semua yang ada, aku tak siap jika nyawaku melayang secepat itu karena saat ini ku merasa tubuhku kembali muda, kuingat baru tadi ba’da isya ku bercengkerama bersama keluarga, tapi kini ku dapati diriku di sini, di suatu tempat yang aneh, yang hanya ada di kisah-kisah sejarah yang pernah kubaca, dua pemuda itu mendekatiku dan mengulurkan tangannya kepadaku, tubuhku tiba-tiba menggigil.

“Tidaaaak, tidaaak, aku tidak akan ikut bersama kalian, pergilah bersama tentara-tentara kalian, aku akan mengikutinya dari belakang, berjaga-jaga kalau saja tentara nashrani itu menyusup dari belakang”. Aku berusaha mengelak mencari alasan dan mencari sisi aman.

“Pemuda, kemenangan akan kita raih, jangan pernah takut, karena kita berperang membela yang benar”

Aku kembali mengelak “tidak, tidak, biar kalian saja” tubuhku mundur dengan ketakutan yang semakin memuncak.

“Baiklah jika itu pilihanmu, posisimu di barisan depan atau belakang tidak akan mengubah kemenangan kami dalam barperang. Hanya saja, ketika kau berada di barisan terdepan, kau akan tergabung bersama para pemimpin-pemimpin dan tentara pilihan, sedang ketika kau memilih di belakang, kau akan berkumpul bersama orang-orang pengecut yang akan lari ketika panah melecut. Kami hargai pilihanmu, tapi jangan salahkan kami ketika kau menyesal dan melihat kemenangan, sedang kau tidak berbuat banyak dalam kemenangan itu, kami akan menikmati pengorbanan kami, dan kau? Apa yang akan kau nikmati sedang tak ada pengorbanan kau di dalamnya. Baiklah, kami akan pergiā€¦”

Dua pemuda itu berlalu dari hadapanku, berlari membopong senjata menuju barisan terdepan, dan aku di sini bersama orang-orang yang tak kukenal. Perang membuatku semakin kalut, sedang hari semakin menyingsing, hingga senjapun tiba dan aku mendengar takbir yang begitu membahana, “Allahu akbar! Allahu Akbar!” aku tak sadar karena barisan kami adalah barisan teraman, kami bertanya-tanya, kenapa, ada apa? seperti orang yg baru saja bangkit dari tidur, takbir membahana itu kami kira seruan untuk mundur, dengan ketakutan yang begitu kuat barisan kami pergi berlari mencari perlindungan, ketika barisan kami terpencar, kami lihat dari kejauhan wajah-wajah cerah dengan tubuh bersimbah darah, pedang-pedang mereka acungkan, dan bendera Islam terlihat berkibar, kami semakin bingung, menangkah?? pada waktu kapan? mengapa kami tidak sadar? semua bertanya-tanya, dan benar, kemenangan telah digenggam, tapi tidak kami rasakan, semua dalam barisan kami bertanya-tanya, kami tidak sadar dan belum satupun pedang kami terayuhkan untuk memenggal leher-musuh musuh itu, ada rasa iri dalam diri kami ketika mereka bahagia dengan kemenangan yang ada, sedang kami? Tak ada rasa kecuali sesal yang tak pernah menjeda. Ya, kami ikut perang dan kemenangan sudah tergenggam, akan tetapi tak ada lelah dan tak ada darah, hingga kami merasa seperti orang-orang yang terkubur dalam sejarah…

Mereka mencetak sejarah, sedang kami diinjak oleh sejarah…

Pemuda, di kekalutan itu aku terbangun, melihat di sekelilingku yang sepi dan tersadar semuanya hanya sebuah mimpi… kubangkit menuju cermin, benar, memang benar-benar mimpi, karena yang kudapat tubuhku telah ringkuk termakan waktu, bukan lagi pemuda yang kurasakan dalam mimpi.

Pemuda, aku hanya ingin berpesan, ketika kau berada dalam tanggungan amanah, perlakukanlah amanah itu dengan indah, agar kau rasakan, pengorbanan yang begitu lelah akan terbayar dengan senyum merekah, jangan kau abaikan hingga membuat jiwamu lelah…

Pemuda, kuberikan pesanku untuk pemuda-pemuda yang tidak sadar ketika perjuangan mereka lengahkan…

Untuk aku, kamu dan kita…

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi aktif di sekolah tinggi agama islam Al-Qudwah Depok, anggota FLP Jakarta angkatan 16 dan anggota PPMU WAMY Indonesia angkatan pertama, sehari-hari penulis menjadi pengajar di TKIT Baitul Hikmah Elnusa Cilandak. Aktif di yayasan KAHATAIN dan pernah aktif di KAMMI komisariat LIPIA, LDK Al-fatih LIPIA dan komunitas MAPI (majlis pecinta ilmu) untuk para pemulung.

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization