Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Teladanku: Orang Tuaku

Teladanku: Orang Tuaku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (123rf.com / Tjui Tjioe)
Ilustrasi (123rf.com / Tjui Tjioe)

dakwatuna.com – Bayangannya kerap kali hadir menjelma bak harapan. Sosok tua Ayah dan Ibu yang kini tak selayaknya dulu, kelak akan menjadi bagian terindah dari persembahan darah daging mereka. Ada asa terselip di setiap perjuangannya, dan aku tau sesederhana apapun akan mereka sembunyikan dariku.

Ayah dan Ibu, begitulah sapaan kedua orang tua yang namanya kerap kusebut dalam doa. Dari sanalah semangatku bermuara dan pada mereka tujuanku berujung. Hadirnya menjadi semangat yang tak kunjung putus, saat jiwa ini lelah dalam menggapai keberhasilan. Merekalah yang kujuluki berlian terindah yang pernah kumiliki.

Bak Pijar dalam Kegelapan

Tertidur pulas dengan segala beban yang nyaris tak pernah ia tunjukkan, Ayah memang begitulah adanya yang kukenal. Begitu kurus tubuhnya saat ini, ia terbaring merebahkan jiwanya yang letih. Urat nadi yang melekat di sekujur tubuhnya nampak jelas seolah tak ada kulit sebagai pelindungnya, kulitnya kusam terpapar sinar mentari sepanjang hari, matanya seperti melukiskan keletihan yang ia hadapi.

Ia terlelap seolah lelah menghadapi beratnya dunia. Namun aku salah, ia tak pernah lelah. Lelaki ini nyaris tak pernah memaknai perjuangannya sebagai bentuk kelelahan yang menerpanya. Ia bahkan bangga mengorbankan segenap tenaga demi aku dan adikku, buah hatinya. Terbangun dari tidur dengan senyum semangat, menjadi semangat pula bagi kami anak-anaknya. Ia jarang bicara terkecuali memberi nasihat. Banyak bekerja seolah tak memiliki waktu sedikitpun untuk beristirahat. Namun tak sepatah katapun ia mengeluh tentang perjuangannya mengais rezeki. Diam seolah menjadi tabiatnya.

Satu yang sering kali kupahami dalam diam, ia bertarung dengan teriknya matahari dan melawan setiap beratnya pekerjaan, membuat sosoknya bak pahlawan bagi jiwa yang lemah sepertiku. Ayah, jiwa yang begitu menyederhanakan pandangan tentang kebahagiaannya, karena baginya kebahagiaan keluarganya lah yang menjadi bahagianya.

Lelaki tersayangku ini pernah membuatku menangis kala ia mengalah demiku. Ia membiarkanku kembali ke rumah sewaktu motor yang kami tumpangi mogok di jalan, padahal aku tau tak seharusnya kubiarkan ia menerjang hujan dan dinginnya malam saat itu seorang diri. Namun ia tetap berkesi keras memintaku untuk terlebih dahulu kembali ke rumah dengan menumpangi kendaraan umum. Aku dapat membaca maksudnya, ia tak ingin putrinya sakit karena hujan, mengingat esok harinya aku sekolah dan harus lekas beristirahat. Lalu aku memahami keinginannya dan sejurus kemudian aku meninggalkan bayangannya yang dibasuh air hujan malam itu. Cukup sakit bagiku menahan batin yang bergejolak saat itu. Termenung sepanjang jalan memikirkan apa yang telah dilakukannya, mengapa ayah begitu memperdulikanku sementara mengabaikan dirinya sendiri. Perasaan bersalah berkecamuk dalam hatiku, membiarkannya sendiri di balik kekhawatiranku.

Sepanjang hidupnya ia selalu memaklumi setiap kegagalanku, lelaki yang kugagumi ini begitu cerdik menutupi kekecewaannya terhadap kesalahanku. Ia tegas memintaku untuk tidak mengulangi kesalahan dan mengajarkanku agar menjadi pribadi yang baik. Satu yang kupelajari darinya, ia begitu sederhana, dari caranya berpakaian sampai memaknai hidup, ia teramat sederhana. Tak banyak inginnya, ia hanya ingin melihatku menjalani hidup dan pendidikanku dengan baik, itulah alasannya untuk tetap bekerja, karena masih ada seoonggok daging yang ia harapkan keberhasilannya kelak.

Perempuan Paling Berarti

Kini wanita yang setia mendampingi hidup Ayah, Ibu, berbaring tepat di sisinya, mengistirahatkan sejenak segenap tenaganya. Tak kalah pula beban yang ia embani demi kami sebagai bagian dari yang paling berarti dari hidupnya, yaitu keluarga. Ibu, masih tergambar jelas raut mudanya dulu, wajah bersinar, rambut hitam dan mata yang masih nampak indah membasuh peluh sekujur tubuh ini semasa kecil. Kini hampir pudar kesempurnaan fisik yang melekat pada dirinya, beberapa kerutan menghiasi wajah cantiknya, menunjukan betapa besar waktu mengubahnya. Setiap helai rambutnya mulai memutih. Namun tak berarti memudarkan pengabdian dan perhatiannya untuk keluarga. Ada kala ia tak pernah berhenti menyerukan segenap perhatian dan kasih sayangnya, walau aku tau beban yang ia hadapi kadang membuatnya terpaksa tersenyum di balik tangisnya.

Dua puluh tahun sudah ibu mengabdi kepada keluarga, menyayangi Ayah, Aku dan Adikku dengan tanpa batas kasih sayang. Sembilan belas tahun sudah ibu membimbing kami, anaknya dalam menjalani hidup dan selama itu pula ia menampakan keikhlasan, keikhlasan hati seorang perempuan yang pernah berjuang mempertahankan nyawa dalam kandungannya, mempertahankan mutiara yang ia dambakan agar kelak menjadi yang paling dibanggakan. Tak ayal sulit rasanya membayangkan betapa berat pengorbanan seorang Ibu, seseorang yang pernah bertaruh demiku, demi melahirkan seorang buah hati yang ia nantikan kehadirannya.

Namun pilu melihatnya pernah menangis tersakiti oleh sikapku, setiap derai tetes air matanya melambangkan kekecewaan. Sering kali perilakuku membuatnya kesal dan mungkin mengutuk dalam hati. Membentak, mengabaikan perintahnya, bahkan membohonginya semasa kecil kerap kali membuatnya letih. Namun ia selalu menyuguhkan senyum ketika aku menyadari kesalahanku dan memohon maaf padanya, seolah tak pernah bosan menerima maaf dariku. Penyesalan selalu menjadi pukulan yang paling hebat bagiku, menyayangkan setiap perbuatan yang berujung kecewa.

***

Entah sampai titik mana mereka perjuangkan letih dan waktunya demiku, bahkan seringkali mengabaikan malu. Ayah dan Ibu layaknya teladan dalam hidupku, dan satu-satunya alasan untuk tetap menegakan dinding dalam pribadi ini. Merekalah yang tidak akan pernah mematahkan semangat hidupku, anaknya. Ya Rabb… jagalah nama mereka di setiap sujud dalam sembahyangku.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi tingkat dua yang sedang menjalani perkuliahan dengan program studi Penerbitan (Jurnalistik) di Politeknik Negeri Jakarta. Saat ini sedang mencoba menggeluti dunia tulis menulis di mana merupakan passionnya.

Lihat Juga

Antara Islam, Muslim dan Perilaku Islami

Figure
Organization