Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Autumn in Bristol (Bagian ke-1)

Autumn in Bristol (Bagian ke-1)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
(Ario Muhammad)
(Ario Muhammad)

Eropa, I am coming!

Pertengahan September 2014

dakwatuna.com – Jakarta masih macet seperti biasa, aku berdiri berdesak-desakan di patas AC 20 dari lebak bulus menuju halte MenKes di daerah Kuningan. Tanganku mencengkeram erat pegangan bus yang mulai terasa sempit karena banyaknya penumpang. Wajah-wajah lelah, pasrah, bosan, atau bahkan tak ada rasa sama sekali seperti mencecar perhatianku. Aku terpaku menatap lalu lintas jakarta sembari menghitung berapa lama waktu yang akan aku butuhkan untuk tiba di Kuningan City Mall.

Senin, 15 September 2014, tepat sebulan setelah pengurusan Visa akhirnya aku mendapatkan email terkait penyelesaian visaku. Rasanya lega luar biasa. Biaya visa yang menyentuh angka 7 juta Rupiah sepertinya membuatku lebih was-was jika ditolak.

90 menit perjalanan penuh sesak ini akhirnya berakhir. Aku bergegas menuju Kuningan City Mall untuk mengambil Visaku. Setelah melalui semua proses security check dan menyerahkan nomor antrian beserta struk pengambilan visa, aku kemudian menunggu dengan sabar. Lima menit pertama kuiisi dengan diskusi ringan bersama seorang PNS yang akan menuju London untuk keperluan kerja. Sepuluh menit kemudian, belum juga ada tanda-tanda bahwa visaku telah ada. Ribuan dokumen yang bertumpuk mungkin menjadi alasan kenapa mereka belum juga menemukan dokumenku. Setelah menunggu hampir 20 menit, namaku akhirnya dipanggil. Akhirnya, visa yang begitu panjang prosesnya bisa selesai dalam waktu 1 bulan.

Aku kemudian bergegas menuju DIKTI menyelesaikan persoalan lapor diri sembari melakukan pemesanan tiket menuju London. Proses yang lama dan panjang dari pukul 10 pagi hingga 7 malam akhirnya berakhir dengan manis. Di tasku sudah berisi uang 2800 USD dan beberapa ratus ribu rupiah. Ini bekal yang sangat cukup untuk mempersiapkan kehidupan awalku di Bristol. Tiket Etihad Airways juga sudah ada di tanganku. 17 September 2014, dini hari pukul 01.45 adalah waktu di mana aku akan terbang menuju London – UK. Ada kelegaan yang terasa di jiwa namun juga perasaan sedih karena sebentar lagi aku akan semakin jauh dari keluarga.

Di langit menuju Abu Dhabi

Aku bersujud dengan jiwa yang basah. Tubuhku bergetar hebat karena menangis mengingat betapa kecilnya diri ini. Pesawat yang kutumpangi seperti permadani yang terbang di udara, aku kecil dalam balutan sujud penuh khidmat kepada Allah. Kecil dan tak bisa apa-apa. Hatiku disirami rasa cinta yang membuncah kepada-Nya. Subuh di atas langit menuju Abu Dabhi seperti bius yang mencengangkan bagi jiwa. Aku tersentak karena menyadari betapa banyak nikmat yang sudah Allah beri dalam hidupku. Sungguh tanpa campur tangan-Nya, perjalanan ini takkan semudah yang kuimpikan.

Aku duduk di atas sajadah di dekat pantry sambil menengadahkan tangan memohon kepada Allah. Mengirimkan doa terbaik agar menjadikan perjalanan ini sebagai sebuah perjalanan yang mendewasakan Iman. Agar perjalanan yang melelahkan ini menjadi sebuah titik perjuangan panjang yang tak akan pernah membuatku lelah. Juga menitipkan pesan terbaik kepada Allah agar menjaga dua permata jiwaku di timur Jawa. Aku seperti larut dalam ibadah yang menggetarkan jiwa juga menyirami gersang hati karena larut dalam dunia. Allah memang selalu begitu, memberi lapang meski kita sering khilaf dan alpa.

Kuarahkan pandanganku menuju jendela pesawat menerka-nerka di mana kira-kira aku berada. Langit begitu indah karena sedang bertaburan dengan warna keemasan tanda subuh akan segera berakhir. Ada rasa syukur yang menguasai seluruh tubuhku. Aku larut dalam bahagia, larut dalam kedamaian penghambaan kepada-Nya, juga tertunduk malu karena begitu banyak nikmat yang sudah Allah berikan.

Heathrow Airport, 17 September 2014

“Welcome to England!”

Sapa seorang gadis Bristish di sebelahku.

“Hope you enjoy living here.” Lanjutnya.

Aku membalasnya dengan ucapan terima kasih. Dua perempuan di sebelahku adalah orang Inggris yang baru saja selesai berlibur di Asia Tenggara termasuk dari Indonesia. Kami sempat berdiskusi karena aku ingin tahu pendapat mereka tentang money changer. Sampai tiba di Heathrow Airport aku belum membawa 1 pound-pun karena masih memegang dollar.

***

Aku menuju imigrasi dengan tenang, melihat antrian khusus student yang biasanya sudah penuh oleh berbagai calon mahasiswa dari berbagai negara. Aku berjalan cepat menuju baris terakhir yang kini telah dipenuhi oleh mahasiswa dari Mainland China. Jika kuhitung-hitung, mungkin sekitar 95% yang antri di sini adalah orang Asia, dan lebih dari 70%-nya adalah orang China.

“Hi, are you Malaysian?” Aku seketika menengok ke arah seorang laki-laki berkacamata dengan tinggi 175 cm. Kulihat sebagian besar rombongan mahasiswa yang tadi berada di depanku telah keluar dari barisan antrian karena mereka bukan mahasiswa baru.

“No. I am Indonesia.” Balasku dengan senyum ramah.

“Kita saudara” Lanjutnya.

Kami lalu larut dalam diskusi dua bahasa, terkadang Melayu, terkadang berbahasa Inggris. Ada beberapa kata yang justru sukar untuk dipahami jika aku menggunakan bahasa Melayu. Aziat namanya, dia adalah mahasiswa University of Exeter yang baru saja tiba di UK meski telah mengunjungi negeri Ratu Elizabeth ini beberapa kali. Kakaknya juga melanjutkan kuliah di bidang kedokteran salah satu kampus di London. Sepertinya benar perkiraanku, banyak mahasiswa Malaysia yang mengambil bidang kedokteran di UK. Hubungan yang baik dengan UK karena posisi mereka sebagai bagian dari negara persemakmuran tentu menjadi nilai tambah bagi mereka. Kami lalu saling bertukar email dan berdikusi ringan tentang diri kami masing-masing.

“Are you a new student here? Which university?” Tiba-tiba kami dicecar pertanyaan yang sama oleh 3 orang di samping kami yang sudah bisa kupastikan mereka berasal dari Asia. Dua di antara mereka adalah orang China sedangkan seorang lelaki yang berbahasa Inggris sangat fasih ternyata berasal dari India. Kami lalu saling bercerita ringan, sekadar melepas ketegangan dan membagi kebahagiaan karena sama-sama baru saja menjadi mahasiswa di UK. Ada rasa yang sama di antara aku dan mereka, merasa sama-sama berasal dari benua yang sama, ASIA. Jika pengalaman di Taiwan dulu hanya berhenti pada kebersamaan satu bangsa, sepertinya di UK ada pertimbangan ras Asia yang terkadang sering menjadikan titik persamaan di antara kita untuk saling terikat. Seperti halnya ketika aku bertemu dengan seorang mahasiswi Vietnam yang dengan bangganya mengatakan,

“Asian people is really smart.” Aku hanya tersenyum mendengarnya.

Aku dan Aziat-pun berpisah. Dia kembali bersama dengan rombongan Malaysia sedangkan aku mengurus keperluanku sendiri menuju Bristol. Dengan cepat aku menuju lokasi Bus National Express yang berada tepat di depan pintu keluar. Angin summer yang sedang berganti menjadi autumn menghatamku. Meski tidak mendesau keras, namun suhu belasan derajat ini seperti mengingatkanku akan winter di Taiwan. Kenangan hidup di Taiwan lebih dari 1000 hari di Taipei tiba-tiba hadir kembali. Ini seperti dejavu dengan tempat yang berbeda.

Bus National Express, dalam perjalanan menuju Bristol

“Excuse me. Can you help me?” Dengan ragu aku menyapa seorang wanita berwajah oriental yang duduk di seberangku.

“Yes. What can I do for you?” Balasnya ramah.

“Can you help me to contact my friend in Bristol. I can’t contact him since there is no Internet here. I just can contact him using email.” Lanjutku.

“I am sorry, I am in the same state with you. I can’t contact my friend as well.” Balasnya dengan nada menyesal.

Aku hanya tersenyum kecut membayangkan Pak Tarmidi akan menungguku lama karena tidak kukabari bahwa bus yang kutumpangi akan terlambat sekitar satu jam. Kami lalu terlibat percakapa kecil.

“Where are you from?” Tanyaku

“I am from Taiwan.”

“Oh really? I have been there for 3 years. Taking my master degree in Taipei.”

“Really? Which university?”

“National Taiwan University of Science and Technology. My son was born there.”

“Wow.. That’s cool. Do you like to live there?”

“Yes of course. I love Taiwan. I have some close friends there.”

“That’s nice.”

Rupanya dia hanya mengunjungi sahabatnya di Bristol. Aksen bahasa Inggrisnya sangat bagus, sangat jelas dan enak didengar.

***

Mataku mulai terasa berat setelah 1 jam perjalanan. Kepalaku sedikit pusing setelah melakukan perjalanan lebih dari 17 jam. Aku hampir muntah namun kutahan-tahan dengan menggosok minyak kayu putih di perutku. Aku beruntung tadi sempat mengeluarkan minyak kayu putih dari koper besarku. Jika tidak, aku mungkin sudah muntah dan tidak tahu bagaimana kondisiku selama perjalanan menuju Bristol.

Langit masih mendung dengan kabutnya yang membuat udara terasa dingin. Aku memandangi wajah Inggris dari kaca jendela dengan perasaan campur aduk. Rumput hijau, daun-daun yang sudah mulai berganti warna, serta laju mobil yang lalu lalang dengan tenang selalu mengingatkanku akan perjalanan-perjalanan yang aku lakukan. Menikmati perjalanan sendiri di dalam Bus selalu membawaku kepada satu titik perenungan. Bahwa Allah begitu mudahnya memberikan kebaikan kepada kita, bahwa Allah begitu gampangnya memberikan kita jalan kebahagiaan tanpa perlu menghukum kita atas berjuta kealpaan yang sudah kita buat. Selalu damai terasa setiap kali Allah menjadi titik terakhir perenungan kita. Di situlah kita menemukan kehidupan sejati. Tanpa ada tendensi dunia maupun seisinya, hanya Allah bertahta di dalam jiwa.

(Ario Muhammad)
(Ario Muhammad)

Bristol City Center, 17 September 2014

Aku menggeret 30 Kg koperku dengan sekuat tenaga. Kontur Bristol yang berbukit menyulitkan aku dan Pak Tarmidi yang sedang berjuang membawa barang bawaanku menuju rumah beliau. Ada perasaan lega, juga fisik yang sudah terkuras habis tenaganya.

Aura magis Eropa mulai terasa dengan bangunan-bangunan kastilnya yang Indah. Taman-taman hijau, jalanan-jalanan bebatuan khas eropa serta orang dengan berbagai ras yang lalu lalang di depan kami seperti memberikan aku pesan bahwa ini Eropa. Aku tersentak, pias, dan tersadar bahwa telah kujejaki tanah ini. Tanah yang diimpikan Istriku sejak dulu. Dialah alasan Aku berada di sini. Dialah yang mendorongku sekuat tenaga agar bisa melanjutkan pendidikan di salah satu kampus terbaik di dunia. Eropa seperti membiusku dengan pesonanya. Pesona masa lalunya yang berbalut Indah dengan kulturnya yang modern.

Langit Bristol mulai gelap, sebentar lagi Maghrib akan tiba. Kami bersujud sama-sama dalam penghambaan paling sempurna sebagai seorang manusia. Apalagi jika bukan bertemu Allah dalam Ruku, Doa juga sejuta harapan yang tersimpan erat di langit Eropa.

Percayalah, mimpi selalu akan menjadi nyata selama engkau terus melangkah!

Bristol, 9.50 pm, 22 September 2014

Bradley Stoke, 69 Sepherds Walk.

Serial Autumn in Bristol adalah rangkaian cerita pengalaman pribadi penulis selama menempuh studi di Bristol University – UK

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Terlahir dengan nama Ario Muhammad tanggal 14 September 1987, di pelosok utara Halmahera. Sampai sekarang orang mengenal kecamatan tersebut sebagai salah satu lokasi awal terjadinya kerusahan SARA diawal tahun 2000-an. Malifut, sebuah kecamatan kecil di Halmahera Utara. Sudah hampir 2 tahun saya belum sempat menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiran. Ingin sejenak mengenang sungai kecil tempat men...ceburkan diri dan belajar berenang ketika masih berseragam merah putih. Ingin sejenak bercerita pada sungai-sungai jernih yang sering menemani soreku bersama para sahabat untuk menangkap udang, ikan atau sejenisnya, kemudian diperlihara secara sederhana dirumah. Meski akhirnya, selang beberapa hari, peliharaan-peliharaan itu harus mati karena tak cukup oksigen. Buatku, masa kecil hingga remaja akan sangat mempengaruhi pola hidupmu dalam tahun-tahun mendatang. Kenangan hidup didaerah pelosok adalah wangi harum bumi yang merasuk erat di dalam tubuhku. Menghabiskan hari dengan memancing ikan, meski dengan itu harus sedikit nakal karena tak menuruti perintah ayah-ibu untuk tidur, adalah kenangan-kenangan hidup yang terlalu sulit untuk sekedar kulupakan. Juga menghabiskan malam di surau kecil dengan terang lampu yang tidak sebercahaya di kota, membuatku duduk menyepi sambil menghafal ayat demi ayat di Juz Amma, kemudian melaporkan kepada Ustad-ku yang sudah siap dengan rotan bambu-nya yang cukup membuat betis pedia jika salah dalam berbuat. Sungai, bukit, hutan, mengaji, bermain sepuasnya, adalah hari-hari yang mengagumkan dan menjadi kenangan terindah dalam hidupku.

Sayangnya, alam tak mau menempatkanku berlama-lama dengannya. Tahun 1999, di akhir tahun seingatku. Semua penghuni rumah dibangunkan karena kerusuhan SARA baru saja bergolak. Memasuki fase baru dalam hidup yang jauh berbeda dengan sebelumnya, tentu membuatmu tegang. Dulu, yang biasanya kuhabiskan sore dengan memanen sayur atau tanaman di kebun luas milik kakakku, kini harus berganti dengan deruan pukulan tiang listrik, membuat bom, hingga berita-berita tentang kematian demi kematian. 2 tahun masa itu kulewati hingga rasanya sangat kebal ketika menyaksikan perang, melihat mayat, hingga termenung memandang puing-puing rumah yang terbakar.

Memasuki awal 2000, akirnya semua harta keluarga ludes, terbakar, dan hanya meninggalkan puing sejarah yang terlalu kelam untuk sekedar di kenang.

Kujejakkan kakiku di Ibu kota Provinsi Maluku Utara kala itu. Ternate namanya� Cukup prestisius dimataku. Karena setidaknya, aku bisa menyaksikan mobil yang banyak lalu lalang, menyaksikan teriakan orang-orang di pasar-pasar yang cukup ramai. Semuanya mengingatkanku dengan kebiasaan menghitung jumlah kendaraan yang lewat di depan warung kecil keluargaku. Sering sekali kuhitung berapa jumlah motor yang lalu lalang dalam 3 atau 4 jam, kemudian membayangkan, kapan kira-kira tempat kelahiranku ini menjadi ramai seperti kota-kota yang ada di tayangan televisi yang kusaksikan. Mungkin semegah Surabaya, ketika kukunjungi dalam usiaku yang ke 11. Atau seluas Bau-bau yang kecil namun berkesan bersama penjual madu yang melimpah. Itu impian sederhana dari seorang Ario kecil. Terlihat aneh jika kuingat-ingat sekarang :)

Ternate, buatku adalah awal gerbang kompetisi. Menikmati masa SMP di SMP N. 4 Ternate, kemudian menamatkan SMA di SMA N. 1 Ternate, adalah bagian dari cerita hidup yang selalu dahsyat untuk di kenang. Menghabiskan masa remaja bersama berbagai aktivitas dan banyaknya karakter menumbuhkan semangat tersendiri buat saya untuk sekedar memahami lebih dalam tentang kehidupan itu sendiri. Hingga ketika berumur 17 tahun, sebuah musibah kecil menimpa keluargaku, yang kemudian, akhirnya menyatukan kepingan-kepingan kerapuhan dalam diriku untuk mengajaknya bertahan, terus berirama dan beresonansi bersama nyanyian hidup yang mau tidak mau harus ku teruskan. Setidaknya, episode kecil itu membuatku lebih memahami siapa kekuatan Maha Dahsyat dibalik takdir yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Peristiwa kecil ini juga mempererat tali cinta antara aku bersama bidadari-bidadari-ku dalam keluarga kami. Mungkin jarang terucap, namun kami punya cara untuk sekedar saling merasa tentang keadaan kami yang masih sama-sama belajar. Mereka, saudara-saudariku, adalah sosok pemberi sejuta inspirasi, juga sosok-sosok hangat yang selalu mengerti siapa aku dan bagaimana aku dengan segala keterbatasannya. Mereka pula yang akhirnya mampu menafsirkan, bagaimana seharusnya hidup itu bertransformasi, bagaimana seharusnya sebuah hubungan darah mampu terbangun dan menjadikan istana kehidupan kita berseinergi bersama keinginan alam yang matu tidak mau harus kita hadapi. Merekalah guruku.. Merekalah inspirasi yang takkan pernah kendur, dan takkan pernah habis dimakan zaman.

Dan akhirnya, 4 tahun adalah waktu yang cukup untuk sekedar menghabiskan hariku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pilihan menjadi seorang Insinyur adalah takdir yang harus kutulis dan kujalani. Hingga dalam perjalananku, aku menemukan mereka-mereka yang menggetarkan. Meski hanya lewat ucap, lewat laku, atau bahkan hanya dari buku-buku. 4 tahun bersama Yogyakarta, membuat karakterku tumbuh dengan segala �warna� yang ada padanya. Mengenal pribadi-pribadi Al-qur�an di kota ini telah menyihir segala pemahamanku tentang hidup dan orientasi dalam menjalaninya. Mungkin saya tidak merasa, namun sejatinya, pengaruh-pengaruh mereka telah membentuk karakter dan idealisme yang baru. Semuanya kudefenisikan sebagai proses perubahan. Hidup sangat dinamis, jika karaktermu tetap sama dalam bilangan tahun yang terus terlewati, maka ada yang salah dengan ke-dinamis-anmu. Maka dinamisasi jugalah yang membuat karakter siapapun ikut berubah. Satu hal penting yang tak boleh hilang. Proses transformasi ini harus senantiasa kembali kepada-Nya, berjalan dalam jalur-Nya, dan berkembang sesuai dengan titah-Nya.

2 September 2009. Kumulai menuliskan episode baru dalam hidupku. Sebuah transformasi hidup yang juga baru akan kujalani. Di negeri formosa, akan kulukis cerita, kucatatkan pelangi pada langit-langitnya hingga nanti semua kumpulan episode ini menjadi berharga dimata-Nya. Taiwan Technology atau National Taiwan University of Science and Technology adalah tempat dimana kutitahkan semua perjalanan ini. Membuat cerita baru di tempat yang baru tentu perlu adaptasi yang keras juga membutuhkan proses dan waktu yang memadai. Semoga cerita di formosa, menjadi kenangan indah, seperti kenangan masa kecilku, remajaku, hingga menjemput tranformasi hidup di bumi Yogyakarta.

2 Tahun, akan kujalani cerita bersama tumpukan paper, tugas kuliah, dan tentunya bermacam aktivitas yang akan menemaniku untuk membentuk karakter yang lebih utuh. Anggap saja ini adalah �jalan-jalan�. cerita �jalan-jalan� untuk merebut �jalan� panjang menuju syurga-Nya, jalan sederhana yang sengaja tergariskan oleh-Nya untuk menguji apakah sosok Ario akan terlindas oleh zaman atau akan kokoh bersama waktu. Semoga proses ini menumbuhkan siapapun yang melewatinya, menumbuhkan sakura hingga bersemi, mencairkan salju hingga datang panas, dan mengeringkan suhu yang sering membuatku menggigil ketika musim dingin tiba.

Alhamdulillah, sebelum menggenapi cita-cita untuk lulus master dari Taiwan Technology, aku meminang seorang gadis Trenggalek, Ratih Nur Esti Anggraini dengan mengcuapkan mitsaqan Ghaliza pada tanggal 2 Juli 2011. Dan 17 hari kemudian, Allah memberikan hadiah indah yang lain, di hadapan Prof. Yang CC (NTOU), Dr. Wang H. (China Consultant Inc.), Prof. Chun, Tao Chen (Taiwan Tech), dan Advisor saya, Prof. Chang Ta Peng, saya berhasil mempertahankan Thesis saya dan mendapatkan gelar M.Sc.(Eng) atau MSE.

Saat ini, saya bersama Istri sedang menikmati episode baru menjadi sepasang suami-istri yang semoga dapat saling mencintai karena Allah satu sama lain.

teruslah berjuang kawan, karena episode hidup selalu akan bertransformasi mengikuti usahamu.

Lihat Juga

Malaikat Singgah di Kamarku

Figure
Organization