Obat-Obatan “Pencuri” Unsur Gizi

Sebagian besar bahan baku obat-obatan adalah barang impor (inet)

dakwatuna.com – Orang yang kerap gaul ke tempat-tempat pelayanan kesehatan, semisal Puskesmas atau Rumah Sakit, pasti pernah mendengar pertanyaan pasien pada dokter atau apoteker, ihwal obat yang didapatnya: “ini teh obat apa? gimana aturan pakenya?”.

Andai pertanyaan tersebut dalam rangka menambah wawasan atau, apalagi, supaya dapat menggunakan obat dengan tepat, tentunya perilaku itu perlu didukung. Namun adakalanya pertanyaan diajukan justru untuk menyingkirkan obat-obatan yang dipikirnya tidak penting, atau dianggap tidak ada kaitan dengan penderitaan pada tubuh yang dirasakannya.

Obat-obatan yang mengandung unsur gizi, seperti vitamin atau mineral, kerap jadi “korban” ulah ini. Sebagai contoh, dalam penggunaan isoniazid (INH) –untuk penderita TBC– yang biasanya dikombinasikan dengan pemberian vitamin B6 (piridoksin) 10 mg sehari dan vitamin B1 (tiamin) 100 mg. Bagi orang awam, hubungan antara kedua vitamin tadi dengan TBC tentunya sulit dimengerti, sebab yang berperan “menggebuk” Mycobacterium tuberculosis, penyebab TBC, adalah INH. Alhasil pemakaian dua vitamin tadi ditinggalkan.

Padahal, penggunaan INH, utamanya pada dosis yang melebihi 400 mg, bisa “mencuri” piridoksin dan tiamin, menimbulkan situasi polineuritis, yaitu radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan, serta letih dan lemah. Supaya situasi itu tidak terjadi, maka keberadaan dua vitamin tadi tidak boleh dikesampingkan.

Tujuan pemberian obat adalah untuk penyembuhan penyakit. Di sisi lain, beragam unsur gizi merupakan substrat utama untuk sejumlah enzim yang juga berperan penting dalam penyembuhan penyakit, paling tidak untuk menangkis dampak buruk gara-gara efek samping obat. Oleh sebab itu, jangan coba-coba menyepelekannya.

Beragam Cara

“Pencurian” yang dilakukan obat terhadap unsur gizi setidaknya dilakukan dengan tiga cara:

Pertama, dengan menurunkan asupan. Menurunnya sensitiftas indera pengecap (hypogeusia) merupakan salah satu sebab yang bisa mengakibatkan penurunan nafsu makan, hingga menyebabkan berkurangnya asupan unsur gizi. Situasi ini sendiri bisa terjadi gara-gara obat, misal ACE inhibitors, corticosteroids, ethambutol, dan lain-lain, meningkatkan sekresi seng (zink). Guna memperbaikinya, selain melalui peningkatan asupan makanan kaya seng, pemberian suplemen seng bisa juga dilakukan.

Namun, pada beberapa kasus, ada kalanya pengobatan perlu dihentikan secara periodik. Contohnya dalam penggunaan metilfenidat (Ritalin) yang sering digunakan pada anak yang mengalami gangguan perhatian. Di luar negeri, obat ini biasanya hanya diberikan pada saat sekolah, di mana kontrol dari gangguan tersebut sangat penting dikendalikan. Pada saat libur sekolah musim panas, pemberian obat dihentikan, hingga nafsu makan kembali membaik dan terjadi pengejaran pertumbuhan (catch up growth

).

Cara lain yaitu dengan “melawannya,” memberi obat perangsang nafsu makan. Siproheptadin (periactin) adalah perangsang nafsu makan yang paling umum dan sering digunakan untuk itu.

Kedua, dengan “mengganggu” pengabsorpsian, seperti yang dilakukan cholestyramine (obat untuk hipercholesterolemia) hingga mengurangi kadar serum folat. Situasi ini mungkin disebabkan oleh formasi yang kompleks antara obat dan folat usus.

Atau obat pencahar (laksansia) pada karotin, vitamin A, D dan K, sebab kemampuannya mengurangi jumlah lemak yang diperlukan untuk melarutkan unsur tersebut.

Neomycin pada lemak, karena ulahnya menghambat kerja kelenjar pankreas, hingga kemampuannya dalam melakukan hydrolisa trigliserida rantai panjang tak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Serta obat-obatan yang mengandung asam borat pada riboflavin. Asam yang pada konsentrasi jenuh (+ 3%) berkhasiat bakteriostatis lemah ini, dapat diabsorpsi oleh kulit yang rusak, untuk kemudian ditimbun dalam tubuh sebagai racun kumulatif, dan menghambat proses phosporilasi riboflavin menjadi riboflavin–5–phosphate, hingga menurunkan kemampuan mukosa usus untuk mengabsorpsinya dengan sempurna.

Dan Ketiga, dengan meningkatkan pengeksresian, sebagaimana yang dilakukan hidrokortison –utamanya dalam dosis tinggi– terhadap kalium.

Langkah Aman

Potensi terjadinya interaksi yang merugikan ini sudah semestinya disadari oleh pasien serta keluarganya, demi mempercepat penyembuhan, mencegah situasi lebih buruk.

Upaya yang perlu dilakukan, selain bertanya pada dokter atau apoteker ihwal obat yang diberikan, jangan lupakan juga nasehat ahli gizi, yang akan memilihkan makanan yang cocok dan bisa diandalkan untuk menanggulangi “pencurian” unsur gizi oleh obat-obatan.

Khususnya bagi pasien yang melakukan rawat jalan, kepada ahli gizi, jangan lupa pula untuk ditanyakan cara pengolahannya yang tepat. Cara pengolahan yang tidak tepat mungkin bisa membuat makanan lezat, namun tidak menjamin keberadaan unsur gizi yang dikandungnya.

Pustaka:

  • Sulistyawati, D.L. dan J. Endang Budi W. ; “Interaksi Zat Gizi Dengan Obat” ; disajikan dalam Kursus Penyegar Ilmu Gizi dan Kongres VII PERSAGI, Jakarta, 25 – 27 Nopember 1986.
  • Moore, Mary Courtney, RN, RD, PhD, CNSN, ; “Buku Pedoman Terapi Diet Dan Nutrisi” (terj); Hipokrates, Jakarta, 1997.
  • Tjay, Tan Hoan, DRS & DRS. Kirana Rahardja ; “Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya” ; PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007.
  • …………….; “Obat: Sahabat atau Musuh” ; http://www.pfizerpeduli.com/article_detail.aspx?id=28 akses tgl 03/07/08
  • Darmawan, Iyan, Dr ; “ Interaksi Obat: Apa yang Patut Anda Ketahui” ; http://www.otsuka.co.id/?content=article_detail&id=45&lang=id akses tgl 26/06/2008

 

Penulis buku "Ayat-Ayat Sehat" dan "Diet Islami"
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...