Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Generasi Shalahuddin

Generasi Shalahuddin

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com –Kaifa Abtasim, wal Qudsu asiir? Bagaimana aku bisa tersenyum, sedangkan Al-Quds terjajah?” (Shalahuddin Al-Ayyubi, 1137-1193 M)

***

Pemuda itu… saat itu tidak segagah namanya. Ia tak begitu besar, bahkan bisa dibilang seperti anak ingusan. Padahal ayahnya telah lama mendidiknya untuk menjadi pejuang handal yang siap menghadang satuan-satuan musuh dari barat. Ya, hari-hari itu adalah hari yang sulit bagi Muslimin, dihimpit pelbagai kesusahan dari dalamnya, dan bahaya dari 22 negeri Eropa.

Dia, dia adalah anak seorang gubernur. Lahir di Benteng Tikrit dan tumbuh besar di sana, menganyam kehidupan dan diajak berjalan melihat keadaan kaum muslimin di penjuru arab, menyaksikan banyak peristiwa yang memilukan; kaum muslimin yang hidup berpecah-pecah, ulama yang rela berfatwa salah demi nama harum di hadapan khalifah, dan pasukan Salib utusan Eropa yang mencabik-cabik kedigdayaan Al-Quds, Palestina.

Namun ia takut dengan darah, ia takut dengan perang. Ia lebih suka berdamai. Ia khawatir sebilah pisau melukai kulitnya, ia berlindung dibawah ketiak ayahnya ketika datang kabar Pasukan Salib membantai daerah muslimin. Ia dikelilingi keresahan dan kegalauan. Padahal Ia anak panglima, ia anak yang dibesarkan di bawah kewibawaan penghuni benteng raksasa Tikrit, tapi sampai beranjak masa remajanya, ia tumbuh jadi remaja yang akut, takut, dan limbung saat berhadapan dengan kata jihad dan perang.

Nama kecilnya Yusuf, ya.. Yusuf. Ia masih takut dengan darah sampai akhirnya Sang Paman, Asaduddin Syirkuh mengajaknya, lebih tepatnya, memaksanya untuk melihat langsung bagaimana situasi perang, mengajarinya memanah, berkuda, mendidiknya dengan tegas dan wibawa. Asaduddin adalah panglima besar yang semangat jihadnya menginspirasi pemuda-pemuda muslimin di era Abbasiyah untuk berdiri di garda depan, memasang kuda-kuda, menyiapkan surat wasiat seandainya esok hari mereka telah syahid di tangan pasukan Salib.

Nyali Yusuf tumbuh, ia dipaksa keluar dari ketakutaannya. Ia dipaksa beranjak dari kegelisahannya, Ia dipaksa pamannya untuk melihat realitas yang ada; bahwa ummatnya kini terguling-guling dalam ketidakpastian, bahwa sekarang mentari Al-Aqsho sedang dihijabi kabut-kabut samar yang menutupi kesucian dan terangnya semasa dulu. Semenjak 1092 M, perintah Paus Urbanus II dari Roma telah menggiring ratusan ribu pasukan beringas bersalib nan berpakaian lusuh dari 22 negeri Eropa yang kebanyakannya preman-preman dan narapidana penjara. Mereka datang dan tumpahkan darah 40 ribu jiwa muslimin tak berdosa hanya dalam waktu 4 hari 4 malam.

Ketakutan dan kata damai yang bersemayam di hatinya dahulu, senyum indah dan kenyamanan yang ia alami dahulu, berubah drastis. Kini Yusuf hidup di bawah kilatan pedang, siangnya ia habiskan di atas kudanya, matanya telah tajam melihat, meresapi makna jihad, mengulang hafalan Al-Qurannya di bawah terik matahari. Asaduddin Syirkuh, pamannya, telah berhasil mendidiknya, lalu membawa Yusuf ke sebuah tempat yang akan jadi pijakan pertamanya menyatukan muslimin, menuju Aqsha! Membebaskan Al-Quds!

Tempat kemenangan itu bermula dari; Mesir, yang tahun-tahun itu Kerajaan Syiah Fathimiyah kehilangan taringnya di sana. Berbagai cara mereka lakukan agar kekuasaannya bertahan, termasuk mengundang pasukan salib eropa untuk membantu sang raja yang terlalu rapuh untuk berkuasa. Bukannya membantu, justru pasukan salib datang dan memperkeruh suasana Mesir.

Asaduddin dan Yusuf diperintahkan oleh Khalifah dari Baghdad untuk berangkat bersama pasukan terbaiknya menuju Mesir, untuk memperbaiki suasana dan menghadang ekspansi pasukan salib yang ingin merebut bumi Islam. Di sanalah Allah anugerahkan keberanian besar, Allah anugerahkan azzam membara dan membuka mata Yusuf untuk melakukan langkah besar yang bukan sekadar mengusir pasukan salib, tapi lebih dari itu : membebaskan Quds yang 80 puluh tahun berada dalam kepiluan dan jajahan Kerajaan Salib yang dipimpin Raymond saat itu.

Kemenangan diraih, Asaduddin dan Yusuf berhasil memimpin pasukan terbaik dan menampar pasukan salib dari laut tengah, memukul mundur mereka sampai pantai-pantai eropa selatan. Rakyat Mesir mencintainya. Yusuf, ia telah merebut hati rakyat Mesir dan membuat mereka mengangkatnya jadi pemimpin sejati. Ia, Yusuf, menemukan jalannya, ia menemukan tempatnya, ia menemukan markasnya untuk membangun kekuatan besar membebaskan Al-Aqsha.

***

“Ketika Allah menganugerahkanku bumi Mesir, Aku yakin Dia juga bermaksud Palestina untukku”, begitu salah satu kalimatnya yang terjelma menyejarah hingga kini. Dengan segala upaya, pendidikan ketentaraan dan tarbiyah ruhiyah yang menggebu-gebu, Yusuf yang telah menjadi sultan di mesir menjadikan Al-Aqsho sebagai slogan-slogan kebangkitan ummat Islam. Ia berkeliling dari kerajaan dan kehilafahan muslim yang terpecah-pecah kemudian menyatukannya.

Namanya mulai mencuat sebagai singa yang mengancam keberadaan Salib di kubah-kubah Al-Quds. Angin menyebarkan namanya dan kaum muslimin menyambut panggilan jihad darinya, kuda-kuda seluruh arab disiapkan begitu sejahtera, anak-anak muda ditempa pendidikan Quran sedemikian rupa. Masjid-masjid sungguh jadi tempat para Ulama mendengungkan jihad yang menyala-nyala. Para Ibunda melepas kepergian suami dan anak lelakinya untuk berbaris bersama Yusuf, menuju satu tujuan, menuju kemulian: mengganti salib di kubah Al-Aqsho menjadi bendera tauhid yang gagah berkibar-kibar!

Hittin, lembah dekat Al-Quds itu, jadi saksi 13.000 pasukan pimpinan Yusuf melawan 60.000 pasukan salib pimpinan Reynald De Chatillon dan Guy De Lusignan. Muslimin menang, telak. Beranjak dari Hittin, pasukan Muslim berbaris lurus berkilo-kilo dengan gagah. Manjaniq dipasang bershaf, bersiap dengan batu api. Pasukan panah berjajar, busurnya ditarik dan dan anak panah diterbangkan menutupi langit. Yusuf, bersama 13.000 pasukan –ada yang mengatakan 60.000, ada yang mengatakan 240.000- muslimin telah meneguk janji kemenangan, mereka jadi saksi nyata Al-Quds kembali ke pelukan kaum muslimin pada tanggal 27 Rajab, di tahun 1187 Masehi.

Kemenangan itu menyebar di saentero arab dan membangkitkan kaum muslimin dari malunya yang sungguh tak tertahankan. Yusuf, yang saat itu telah mendirikan kerajaan Ayyubiyyah di Mesir telah mengangkat wajah umat Islam dan membuat eropa malu. Di Eropa namanya pun bekibar gagah, disegani dan dihormati karena masih sempat-sempatnya mendatangkan dokter untuk mengobati penyakit kusta Raymond, Raja Kerajaan Kristen yang bercokol di Yerusalem. Kawan, saksikanlah lelaki itu, eropa memanggilnya : Saladin The Wise. Kaum Muslimin mengenangnya : Shalahuddin Al-Ayyubi!

***

Sebenarnya dalam tulisan ini kita membahas tak sekadar biografi seorang tokoh. Memang benar kata Thomas Carlyle “Sejarah tidak lain tidak bukan adalah kumpulan biografi orang-orang besar yang menciptakannya”. Namun saya mengajak pembaca dan kawan sekalian untuk menelaah dan mendalami sebuah pertanyaan: “Bagaimana Shalahuddin tercipta? Apakah dia datang secara tiba-tiba, atau ditempa menjadi seseorang paling berharga?”

“Shalahuddin bukanlah seseorang, ia adalah sebentuk besar generasi. Ya, Generasi Shalahuddin!”, kata Ustadz Adian Husaini dalam salah satu talkshow beliau. Saya dan tentu kawan-kawan mengangguk mengamini pernyataan ini.

Saya pernah mempelajari sebuah buku tentang proses kembalinya Al-Quds menuju pelukan kaum muslimin. Dibalik kegagahan Shalahuddin dan kegemilangan Satria-Satria Hittin yang menampar kdigdayaan Salib, ada banyak elemen yang ikut andil dan punya pengaruh besar menyiapkan orang-orang sehebat itu.

Yang ada bukanlah Shalahuddin saja dan orang-orang mengikutinya, lalu bersatu dan menang. Tidak! Melainkan sebentuk generasi yang dipersiapkan berpuluh tahun, tepat sejak Al-Quds dijajah oleh Kaum Salib di tahun 1096 Masehi. Tepat setelah mendengar kabar kejatuhan Quds di tangan pasukan Salib itu, ulama-ulama mendengungkan jihad, mendidik anak-anak, memenuhi masjid-masjid. Karena para Ulama sadar, dibalik jatuhnya Quds di tahun 1096, mempunyai sebuah nilai dalam: bahwa Allah ingin ingatkan umat Islam atas kelalaian mereka dan keberpecah-belahan mereka.

Adalah deretan nama ini yang merintis pendidikan generasi Shalahuddin : Imaduddin Zanki, Nuruddin Mahmud, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dan penguasa Sholeh juga Ulama jenuis lain mempersiapkan serentak, sebuah angkatan raksasa manusia untuk dikemudian hari menjadi tentara terbaik dalam pembebasan Quds. Sebuah langkah visioner! Sebuah gerak tepat merespon kejatuhan.

Urusan Sejarawan Eropa dan Arab yang terkagum-kagum dengan kejeniusan taktik perang Shalahuddin itu nomor sekian. Di balik kejeniusan dan briliannya Salahuddin, tentulah pasukannya juga pastinya pasukan terbaik, dengan keshalihan tingkat tinggi, dengan ketakwaan yang menjadi-jadi, dengan kualitas tahajjud yang tak kenal absen di malam hari.

Itulah sebentuk besar generasi. Generasi, bukan hanya satu orang. Kita menamainya “Generasi Shalahuddin”, dan nama itu juga yang akan kita dengungkan ke penjuru bumi muslimin hari ini. Bahwasanya bukan satu orang tampil ke depan, lalu membuat takjub manusia dan kemudian mengikutinya. Tapi… “ia adalah sebentuk besar generasi. Ya, Generasi Shalahuddin!”, lagi-lagi mengamini kata Ustadz Adian Husaini.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan

Lihat Juga

Launching Asrama Tahfizh ISQ, Gerbang Menuju Generasi Qurani

Figure
Organization