Kemaksiatan Biang Kehancuran Peradaban

Ilustrasi. (ilusihatihafsah.blogspot.com)

dakwatuna.com – Siapakah orang Islam yang pertama kali berani minum khamr setelah Allah dan Rasul-Nya mengharamkan?

Siapakah orang Islam yang pertama kali memamerkan auratnya setelah Allah dan Rasulnya mengharamkan?

Siapakah orang Islam pertama yang pertama kali memasang tattoo di tubuhnya setelah Allah melalui Rasul-Nya mengharamkan?

Siapakah orang Islam yang pertama kali mempelopori pacaran dan khalwat pria dan wanita bukan muhrim setelah Allah dan Rasul-Nya mengharamkan?

Pernahkah kita membayangkan betapa masyarakat muslim dewasa ini bisa sedemikian permisif dengan perilaku yang melanggar syariat Allah.

Pernahkah kita bertanya bagaimana semua ini dapat terjadi.

Sering kita dengar dari orang tua kita betapa dulu sangat sulit melihat orang berbuat maksiat terang-terangan.

Hari ini bahkan selain melakukan maksiat terang-terangan, banyak juga orang-orang ‘well educated’ bahkan memberi dukungan atas menyebarnya kemaksiatan tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita renungkan sebuah hadits yang cukup panjang dari baginda Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasalam.

حدّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ، قَالَ: سَمِعْتُ عَامِرًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا “

Abu Nu’aim berkata kepada kami, Zakaria berkata kepada kami, ia berkata: “Aku telah mendengar ‘Amir, ia berkata: Aku telah mendengar An-Nu’man bin Basyir r.a. dari Nabi saw beliau bersabda: “Perumpamaan orang yang teguh menjaga larangan-larangan Allah SWT dan orang yang melanggar larangan-larangan-Nya seperti sekelompok orang yang berebut naik ke dalam sebuah perahu. Maka sebagian mereka dapat bagian atas kapal dan sebagian lainnya mendapat bagian bawah. Para penumpang yang berada di bagian bawah kapal jika memerlukan air harus melewati para penumpang yang berada di atas. Kemudian penumpang yang berada di bawah itu berkata: “Seandainya kami lubangi tempat duduk kami satu luang saja, maka kami tidak usah lagi mengganggu para penumpang yang berada di atas”. Apabila penumpang lainnya membiarkan mereka dengan apa yang mereka kehendaki, niscaya hancurlah seluruh penumpang kapal. Dan apabila penumpang lainnya mencegah tangan mereka dari upaya melubangi kapal, niscaya selamatlah seluruh penumpang kapal”.

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhory dalam “Asy-Syahaadaat” dari ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats dari ayahnya dari Al-A’masy dari Asy-Sya’by. Dan dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam “Al-Fitan” dari ahmad bin Mani’ dari Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy, dan ia berkata: Hadits ini Hasan Shohih.[2]

Bagi sebagian orang hadits tersebut merupakan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga setiap orang diminta untuk melaksanakannya.

Namun mari kita telaah lebih lanjut maka akan kita dapatkan bagaimana sebuah kemaksiatan menjadi sebuah penyakit sosial dan kemudian bahkan dianggap budaya. Kalimat “Seandainya kami lubangi tempat duduk kami satu luang saja, maka kami tidak usah lagi mengganggu para penumpang yang berada di atas” menggambarkan suatu kondisi awal terjadinya kemaksiatan yaitu:

  • Adanya anggapan baik terhadap suatu wacana kemaksiatan
  • Adanya pembiaran pada tahap wacana kemaksiatan di kalangan terdekat (para penumpang di bagian bawah)
  • Tidak adanya kepekaan pada kemungkinan munculnya kemaksiatan di kalangan yang terkait secara tidak langsung dengan para pelaku kemaksiatan.

Ilustrasi sederhananya sebagai berikut…

Dalam sebuah masyarakat yang taat dan patuh terhadap sebagian besar perintah dan larangan Allah, tidak mustahil muncul informasi betapa nikmatnya minum khamr. Jika informasi ini dibiarkan maka melekatlah dalam persepsi masyarakat. Kemudian seorang, ya hanya seorang pemuda merasa penasaran untuk mencoba minum khamr. Tentu saja dia tidak berani melakukannya di tengah masyarakatnya yang demikian taat dan mengharamkan khamr. Maka dia pun mencobanya di kampung yang membolehkan khamr.

Orang tua sang pemuda karena kelalaiannya tak mengetahui bahwa sang pemuda diam-diam pergi ke kampung seberang untuk mencoba khamr. Dan tatkala pemuda itu sudah dirasuki minuman memabukkan tersebut lambat laun muncul keberaniannya untuk mencoba di rumahnya.

Orang tuanya pun kemudian marah dan menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah orang tuanya dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya di rumah saja.

Kemudian berlalulah masa, pemuda yang sudah dirasuki khamr tersebut semakin berani. Ia kemudian meminumnya di halaman rumahnya. Orang tuanya pun kemudian marah dan menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah orang tuanya dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya sampai halaman rumah saja.

Kemudian berlalulah masa, pemuda yang sudah dirasuki khamr tersebut semakin berani. Ia kemudian meminumnya di tempat kumpul para pemuda. Warga pun kemudian marah dan menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah para warga dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya untuk dirinya saja.

Jika ini dibiarkan maka perilaku pemuda ini menggugah pemuda lain melakukan hal serupa, dan jika masyarakat membiarkannya maka terjadilah apa yang disebut wabah kemaksiatan.

Demikian halnya dengan merebaknya perzinaan, homoseksualisme, korupsi, tattoo, dan berbagai kemaksiatan lainnya melalui proses yang serupa.

Syekh Muhammad Quthb mengingatkan kita tentang wabah kemaksiatan yang terjadi karena tidak pedulinya masyarakat terhadap kemaksiatan yang dianggap remeh. Dan saat wabah sudah terjadi maka sesungguhnya kerugiannya tidak sekadar kerugian moral melainkan akan berimbas pada kehancuran material. Dan kehancuran peradaban hanya soal waktu.

Betapa banyak peradaban besar yang binasa dikarenakan dekadensi moral sudah menjadi budaya. Kaum Samud, kaum Aad, dan bangsa-bangsa besar lainnya yang harus rela kehilangan kejayaannya disebabkan mereka membiarkan bibit kemaksiatan tumbuh.

Oleh sebab itu, teguhlah kita dalam menjaga larangan-larangan Allah kepada anak-anak kita dan orang-orang yang dalam wewenang kita. Sebagaimana mereka ‘bersabar’ untuk mendapat izin dari kita untuk bermaksiat maka kita pun akan bersabar untuk mencegah mereka agar tidak melanggar larangan-larangan Allah tersebut.

Jika kita enggan bersabar atau tidak peduli..

Maka sesungguhnya kita sedang menggali kuburan besar. Yaitu kuburan bagi kita dan masyarakat beradab yang kita tinggali hari ini. Surat Al-Anfal ayat 25 patut menjadi bahan renungan kita selanjutnya..

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَتُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”

Lahir di Sukabumi, Menyukai membaca, menulis dan bercerita. Mengajar sebagai guru di Sekolah Penghafal Al-Quran di Lebak Bulus.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...